Ketika wilayah otonom Catalunya di Spanyol menggelar referendum Minggu, 1 Oktober kemarin, Madrid meradang. Sadar bahwa polisi Catalonia tidak akan mungkin bertindak seturut keinginan mereka, pemerintah pusat mengirim tenaga keamanan dari wilayah-wilayah sekitar. Bentrok akhirnya pecah di berbagai kota utama wilayah Catalunya seperti Girona, Sabadell dan tentu saja di ibu kota, Barcelona. Brutalisme aparat kepolisian membuat warga sipil yang menjadi korban karena mengalami cedera mencapai lebih dari 800 orang.
Gerad Pique dan Pep Guardiola kemudian menyuarakan protes mereka terkait sikap brutal aparat keamanan. Meski tidak secara tegas menyatakan mendukung atau menolak referendum, kedua figur terkemuka di dunia sepak bola ini menyatakan dukungannya terhadap referendum sebagai hak demokratis orang Catalan. Pique bahkan menegaskan sikap yang siap mengundurkan diri dari tim nasional Spanyol, jika sikap politiknya dianggap mengganggu keharmonisan.
Baca juga:Barcelona, Catalan, dan Referendum: Segala Hal Tentangnya yang Kamu (Mungkin) Ingin Tahu
Karena kerusuhan yang berlangsung sejak pagi hari di berbagai sudut kota, FC Barcelona kemudian mengirim permintaan resmi kepada otoritas La Liga untuk menunda pertandingan melawan Las Palmas. Pertimbangan utamanya adalah soal tidak etis jika klub melangsungkan pertandingan ketika warga kota Barcelona sedang berduka.
Sebagian dari para pendukung FC Barcelona adalah mereka yang juga dihantam pentungan hanya karena berupaya menentukan sikap secara demokratis soal nasib bangsa mereka. Permintaan ini ditolak La Liga de Futbol Profesional (LFP) disertai dengan ancaman pengurangan enam poin jika FC Barcelona bersikeras tidak bertanding.
Andres Iniesta dan kawan-kawan akhirnya memang tetap bertanding. Tapi Camp Nou ditutup dan pertandingan dilangsungkan tanpa penonton sebagai protes atas sikap abai LFP.
Pertandingan tersebut memang dimenangkan Barcelona, tapi memperdalam friksi di tingkat manajemen klub. Di dalam tubuh FC Barcelona, dua petinggi klub yaitu Wakil Presiden, Carles Vilarrubi, dan salah seorang komisioner Pusat Inovasi Barcelona, Jordi Mones, mengundurkan diri. Pengunduran ini adalah kulminasi dari ketidaksepakatan mereka atas keputusan Josep Maria Bartomeu yang tunduk pada ancaman pengurangan poin dari LFP.
Bagi Vilarrubi dan Mones, Mes Que en Club adalah sikap final yang tidak bisa ditukar dengan enam poin. Melangsungkan pertandingan ketika seluruh wilayah Catalunya berduka bukan hanya tindakan ceroboh, tapi juga menodai warisan kultural dan politis yang melekat sejak awal seiring dengan terpasangnya Senyera di bagian kanan atas logo klub. Sudah menjadi rahasia publik bahwa FC Barcelona adalah representasi sekaligus duta tidak resmi dari semangat perlawanan panjang ratusan tahun orang-orang Catalan.
Mundurnya dua figur penting klub, makin membenarkan pendapat Joan Laporta ketika bulan Juni yang lalu diwawancarai The Guardian. Mantan presiden FC Barcelona ini dengan tegas menyatakan bahwa Los Cules telah dicerabut dari identitasnya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka yang ingin mengubah dua kali peraih treble winners menjadi tak ubahnya seperti Real Madrid.
De-evolusi Barca menjadi apolitis persis seperti keinginan FIFA yang tidak ingin sepak bola menjadi ekspresi politik siapapun: pemain atau manajemen klub.
* * *
Ide tentang referendum sebuah wilayah untuk menentukan apakah ia akan tetap menjadi bagian dari suatu negara atau memisahkan diri lalu merdeka, bukan hal yang sepenuhnya baru di Indonesia. Di tahun 1999, negeri ini pernah melangsungkan jajak pendapat untuk memutuskan nasib Timor-Timur. Wilayah ini kemudian merdeka dan mengubah nama menjadi Timor Leste. Meski demikian, referendum ini dinodai dengan sengaja oleh aksi brutal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menebar teror sebelum hingga sesudah jajak pendapat dilakukan.
Referendum yang memberikan Timor Leste kemerdekaan juga membuka satu borok sejarah Indonesia yang paling sering ditutup-tutupi. Bahwa negeri ini dikuasai oleh para tentara yang begitu pengecut terhadap ide tentang kebebasan menentukan nasib sendiri.
Kekalahan kubu pro-integrasi dalam jajak pendapat juga mengukuhkan keengganan untuk mengakui bahwa represi militer dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak pernah bisa mendulang simpati, justru akan menuai resistensi. Kemerdekaan Timor Leste juga membenarkan satu hal: para tentara kita adalah kelompok paling paranoia terhadap berbagai posibilitas demokrasi.
Sikap ini kemudian disebarluaskan hingga menjadi semacam nilai bersama sebagai orang Indonesia. Yaitu menjadi bangsa yang takut dengan perbedaan ekspresi politik dan pembenaran untuk mengingkari hak-hak demokratis paling mendasar dari orang, komunitas atau bangsa lain.
Itu kenapa, membicarakan soal kemungkinan dilangsungkannya referendum di Papua menjadi semacam tabu di Indonesia. Hingga hari ini, sikap menyangkal menjadi semacam kepatuhan besama bahwa di Papua, semuanya baik-baik saja. Tidak ada anak-anak muda yang ditembak mati secara serampangan oleh tentara, tidak ada pembubaran aksi demonstrasi damai, tidak ada pelarangan jurnalis asing untuk meliput, tidak ada penangkapan ilegal yang menyalahi prosedur hukum, tidak ada diskriminasi dan tentu saja pada akhirnya tidak ada kolonialisme. Semua fakta soal ini akan dianggap sebagai propaganda asing yang memiliki kepentingan ekonomi di Papua.
Baca juga: Papua, Sepak Bola dan Rasialisme: Upaya Interuptif Revolusioner
Seperti para diplomat kita yang tanpa malu berbohong di depan publik internasional, kita menerima kebohongan-kebohongan soal Papua lalu mentransformasikannya sebagai kebenaran. Persis seperti yang dibilang oleh Joseph Goebbels, di masanya berjaya di Jerman.
Itu juga kenapa di alam bawah sadar mayoritas penggemar sepak bola di Indonesia, adalah terlarang mengasosiasikan Persipura Jayapura sebagai simbol resistensi orang Papua. Tidak akan percaya bahwa setiap kali klub ini menang melawan Persija Jakarta, yang dibayangkan di kampung-kampung di Papua adalah kemenangan simbolis mereka terhadap otoritarianisme Jakarta. Sehingga tidak mungkin membayangkan bagaimana orang Papua melihat setiap kemenangan Persipura akan dirayakan sebagai satu uppercut ke rahang penguasa.
* * *
Di Indonesia, FC Barcelona memiliki kantong pendukung dengan jumlah yang tidak sedikit. Tapi sejak masifnya industrialisasi sepak bola yang merajalela sejak dasawarsa keenam abad 20, para penggemar FC Barcelona sebagian besar tidak lebih dari kerumunan laron yang mengepung bola lampu ketika hujan sedang deras. Klub ini mendunia sebagai ikon kapitalisme dalam sepakbola tanpa nilai kultural dan politik. Menjadi sekadar komoditi recehan yang setara dengan botol Coca Cola, gerai ayam goreng cepat saji atau sajian kopi ala Starbuck.
Itu mengapa, membicarakan relevansi referendum Catalunya dengan kasus Papua tentu akan menuai resistensi. Menemukan korelasi antara apa yang sedang berlangsung di Spanyol dan Indonesia tentu saja akan dinilai sebagai upaya membanding-bandingkan antara apel dan kain pel. Kritikan tersebut tidak hanya akan datang dari kerumunan Madridistas yang berisik seperti Jendral Franco, tapi juga dari laron-laron yang melabeli diri mereka sebagai Barcelonistas.
Sebabnya cuma satu. Kita lebih senang mengenali semut di ujung lautan ketimbang melihat gajah yang berdiri mengangkang di depan wajah.
Author: Andre Barahamin
Penulis lepas dan penggemar West Ham United