Eropa Inggris

Mesut Özil dan Sikap Menolak Lupa

Mengapa seorang Mesut Özil sangat mudah menjadi bahan cercaan pun kambing hitam ketika Arsenal bermain begitu buruk? Apakah enggan memperpanjang kontrak merupakan sikap tidak terpuji? Kritik sumbang kepada pemain Özil sudah membuat telinga menjadi pekak dan mengaburkan logika untuk melihat situasi.

Beberapa hari yang lalu, Martin Keown menyerang Özil begitu tajam. Mantan pemain The Gunners tersebut bahkan melabeli Özil sebagai “alat yang sudah rusak”. Keown menggambarkan, secara mental, Özil sudah tidak bersama Arsenal lagi. Rusak dan sudah tidak bisa dimaksimalkan lagi untuk kebaikan tim.

“Saya rasa, Özil menguji kesabaran Arsene Wenger lebih keras ketimbang pemain lainnya. Tiba-tiba ia cedera ketika hanya bermain selama sembilan menit ketika melawan West Bromwich Albion. Jadi, karena hanya bermain selama sembilan menit, bagaimana ia bisa cedera?”

“Menurut saya, di bagian tertentu, ia sudah merasa tak bersama Arsenal lagi. Secara psikologis, secara mental, ia sudah meninggalkan sepak bola (Arsenal). Mungkin saat ini Wenger tengah berusaha mendapatkan kompensasi terbaik dari dirinya,” tambah Keown. Secara khusus, Keown juga menegaskan bahwa Özil sudah seperti “alat yang rusak”. Sebuah serangan yang sudah berlebihan.

Sementara itu, kritik yang lebih nyaman didengar disuarakan oleh Seb Stafford-Bloor, kolumnis umaxit.com. Seb mengungkapkan bahwa para pendukung Arsenal sudah salah dalam memandang posisi mantan pemain Werder Bremen tersebut. Özil adalah salah satu dari 10 pemain terbaik dunia saat ini. Namun, dirinya tidak bisa sendirian untuk mengangkat performa tim.

Özil selalu dikelilingi pemain kelas dunia, baik kreator di lapangan tengah, maupun penyerang tajam yang bisa diandalkan. Pemain asal Jerman ini bisa menjadi pusat permainan, menjadi pengatur serangan sebuah tim. Namun, dia harus dibantu dengan performa tim yang konsisten berada di level tertinggi.

Memang, jika ditarik waktu ke belakang, ketika bersama Real Madrid, Özil ditemani pemain-pemain kaliber dunia. Cristiano Ronaldo terutama, dan Angel Di Maria, membantu performa Özil. Situasi yang sama juga terasa di timnas Jerman. Özil mendapat sokongan dari salah satu gelandang terbaik di dunia saat ini, Toni Kroos, dan salah dua penyerang paling cerdas, Miroslav Klose dan Thomas Müller.

Bagaimana dengan situsasi bersama Arsenal? Sejak tahun 2013, selepas Robin van Persie hengkang ke Manchester United, Arsene Wenger tak benar-benar bisa mengganti peran penting penyerang asal Belanda tersebut. Tak ada “penyerang dengan konsisten 30 gol” dalam satu musim yang bisa memaksimalkan kreasi Özil.

Perdebatan soal keberadaan Olivier Giroud tentu akan mengemuka. Pemain asal Prancis tersebut bukan penyerang yang buruk. Namun, Giroud bukan sosok “penyerang 30 gol”, lantaran lebih terasa seperti pemain tim yang bermain apik sebagai pemantul bola dan penyelesai peluang bersih. Giroud bukan penyerang yang bisa mencipta.

Keberadaan Alexandre Lacazette pun tentu belum bisa dimasukkan ke dalam argumen. Belum genap satu musim Özil dan Lacazette bermain bersama. Memang, sungguh sangat disayangkan, ketika Arsenal memiliki “penyerang 30 gol” dalam sosok Lacazette, situasi Özil tengah tidak menguntungkan. Suasana hati yang buruk membuat kombinasi Özil dan Lacazette tak bisa segera terwujud.

Bagaimana dengan lini tengah? Ketika Santi Cazorla berada dalam puncak performa, tidak terganggung cedera, dan dibantu gelandang bertahan yang tangguh, Özil mendapatkan “bantuan yang diharapkan” dari lini tengah. Skillset Özil sangat terbantu ketika Cazorla bisa berperan seperti Kroos: mengontrol lini tengah dan membiarkan Özil terlibat di sepertiga akhir.

Ketika Cazorla cedera, performa tim ambruk. Pun begitu juga dengan performa Özil. Sekali lagi, Özil adalah salah satu pemain terbaik dunia. Namun ia tak boleh dibiarkan berjuang sendirian. Ketika performanya terseret jatuh oleh performa buruk tim, Özil dengan mudah menjadi kambing hitam.

Ia terlihat malas, dengan bahasa tubuh yang penuh kekecewaan. Gooner tentu masih ingat ketika Per Mertesacker harus menegur Özil dengan keras ketika Arsenal dibantai Manchester City. Mertesacker menegur Özil bukan soal masalah di atas lapangan. Melainkan, Özil enggan memberi ucapan terima kasih kepada Gooner yang sudah tandang ke Etihad Stadion. Özil merasa dipermalukan.

Pun situasi yang sama juga terasa ketika Özil dipermalukan Bayern München musim lalu. Bahasa tubuh membuat Özil sangat mudah dijadikan “Sang Judas”.

Namun, saya sarankan Gooner dan pembaca sekalian melupakan bahasa tubuh Özil. Kita telusuri kembali dari mana bahasa tubuh tersebut berasal. Mengapa Özil menunjukkan bahasa tubuh negatif tersebut? Dari setiap kekalahan memalukan Arsenal, mengapa Arsenal bisa kalah sebegitu memalukan? Karena cara bermain tim. Inilah intinya.

Sebelum beralih ke skema 3-4-2-1, Wenger sangat teguh mempertahankan 4-2-3-1. Masalah bukan pada skema yang dibukan, namun eksekusi di atas lapangan. Berlandaskan imajinasi semu bernama Wenger’s Ball, Arsenal (niatnya) bermain menyerang. Namun, Arsenal melupakan satu hal fundamental, yaitu kekompakan tim, terutama ketika masuk dalam proses bertahan.

Perpaduan antara tim yang tidak solid dan banyak pemain yang bermain buruk, membuat hobi Arsenal menjadi pesakitan. Dan di tengah situasi tersebut, Özil menjadi pemain yang paling mudah diserang karena bahasa tubuhnya.

Sepak bola adalah urusan menyatukan 12 entitas yang terdiri dari 11 pemain dan satu pelatih. Jika tidak ada kesepakatan bersama untuk bermain solid, jangan harap Arsenal bisa berbicara banyak. Oleh sebab itu, sebelum dengan mudah mengarahkan jari telunjuk untuk menuding Özil sebagai biang kekalahan, jangan pernah lupa untuk melihat segala sesuatu secara tuntas.

Saya menolak lupa kenyataan bahwa Arsenal bukan tim yang solid. Ini fakta, dan Anda tidak bisa membantahnya. Saya akan tetap mengkritik Özil ketika ia bermain buruk, namun tetap tak lupa memaki tim (serta pelatih) yang tak becus ketika musuh dapat dengan mudah merusak pertahan Arsenal. Jangan pernah melupakan hal itu!

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen