Kolom

Korupsi Kepala Daerah dan Efeknya bagi Klub yang Bersangkutan

Kasus tangkat tangan yang dilakukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) kepada Wali Kota Cilegon, Tubagus Imam Aryadi, turut menyeret kesebelasan Liga 2 asal daerah tersebut, Cilegon United. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan KPK, bahkan ada indikasi pola korupsi baru dengan menggunakan klub sepak bola sebagai cara untuk menyembunyikan aliran dana uang haram tersebut.

Terkait kasus ini, CEO dan bendahara Cilegon United bahkan sempat diperiksa oleh KPK walau sejauh ini status keduanya tidak menjadi tersangka. Selain ditengarai sebagai modus operandi baru untuk menyembunyikan uang suap, kasus tangkap tangan oleh KPK terhadap Wali Kota Cilegon juga ditengarai mengancam kiprah klub ini di Liga 2 yang kini tengah masuk babak 16 besar.

Cilegon sendiri tergabung di Grup A bersama dua tim unggulan, PSS Sleman dan Persis Solo, serta satu tim asal Sumatera, PSPS Riau. Usai kalah di laga perdana melawan PSS, di laga kedua kontra PSPS tim yang bermarkas di Stadion Krakatau Steel ini sukses merengkuh tiga poin krusial. Munculnya kasus suap ini yang kemungkinan besar akan memengaruhi perjalanan tim ini.

Sejak diberlakukannya keputusan pemerintah bahwa klub-klub sepak bola tidak boleh lagi seenaknya menyusu kepada APBD pemerintah daerah, banyak klub-klub sepak bola di Indonesia yang gulung tikar bahkan vakum sangat lama hingga saat ini. Segelintir mampu survive dan segelintir lainnya terpaksa menjual lisensinya untuk dibeli dan diubah namanya menjadi tim baru yang lebih segar, muda, dan profesional. Apa yang kini terjadi dengan kesuksesan Bali United mungkin salah satu contohnya.

Namun, dibalik romantisme kesuksesan Bali United yang baru berumur 2 tahun, ada beberapa borok yang masih mengintai tim-tim sepak bola di Indonesia.

Rita Widyasari, Bupati Kukar. (Kredit: Kumparan)

Bupati Kutai tertangkap kasus gratifikasi, Mitra Kukar terancam?

Baru semalam (26/9), sesaat setelah heboh kasus yang menimpa Wali Kota Cilegon, Bupati Kutai, Rita Widyasari, juga ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus gratifikasi. Rita, sang Bupati modis nan anggun itu, terindikasi menerima suap dari PT. Media Bangun Bersama terkait izin tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Walau tak terlibat langsung terkait kasus korupsi yang menimpa kepala daerahnya, Mitra Kukar masih saja bisa menerima efek buruknya. Salah satu yang pasti, ada beberapa kebutuhan operasional tim berjuluk Naga Mekes yang (mungkin) masih mengandalkan sedikit sokongan dari pemerintah daerah selain dari sponsor.

Ditetapkannya Rita sebagai tersangka bisa menggoyang kenyamanan jajaran manajemen Naga Mekes yang bisa dibilang sebagai salah satu tim di Indonesia yang memiliki kekuatan finansial cukup mapan. Bahkan, kerja sama dengan pemerintah sempat membuat tim yang bermarkas di Stadion Aji Imbut ini sempat memiliki skuat dengan kualitas bintang lima di sepak bola Indonesia.

Akankah Mitra Kukar terkena imbasnya? (Kredit: LIB)

Korupsi dan sulitnya lepas dari pemerintah

Walau sudah tidak diperkenankan memakai anggaran langsung dari APBD, tetap ada beberapa celah yang bisa dimanfaatkan tim-tim tertentu di sepak bola Indonesia yang salah satunya menyasar kucuran dana dari pemerintah dengan cara yang tidak menyalahi aturan. Misalnya, memakai peran pejabat yang bercokol di posisi tertentu di pemerintahan

Dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah, tentu ini bisa mengancam kiprah tim-tim yang sebagian besar nyawanya masih bergantung kepada kekuatan finansial dari pihak atau individu tertentu yang terikat dengan pemerintah daerah. Di sini, tentu kita sedang tidak membicarakan tim seperti Persib Bandung atau Bali United yang memang sudah profesional dan mampu menghidupi diri mereka sendiri dengan mandiri. Tapi akui saja, di luar dua nama klub kaya tersebut, masih ada klub yang menggantungkan nyawa dengan kerja sama bersama pemerintah daerah dan pejabat-pejabat tertentu.

Inilah yang kemudian mengancam beberapa tim tentang keberlangsungan mereka untuk jangka waktu yang lama. Jangan dulu berbicara prestasi, karena untuk menggapai prestasi, tentu butuh profesionalitas dan kemandirian secara finansial yang mapan dan kontinu. Salah satunya, tentu menggaet sponsor, berprestasi untuk mengundang investor, dan menyambut era sepak bola industri dengan gagah berani seperti laiknya tim-tim Eropa. Pertanyaannya, sanggup tidak?

Mengutip cuitan dari kawan sekaligus senior saya, Fajar Junaedi, selama klub sepak bola di Indonesia masih dikelola pejabat pemerintah di daerah, kejayaannya tak akan berlangsung lama.

Ngelu mboten, bosqu?

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis