
Saksi hidup gol legendaris Zinedine Zidane
Bayer Leverkusen musim 2001/2002 merupakan salah satu skuat terbaik yang pernah mereka miliki hingga saat ini. Selain Ballack yang menjadi jenderal lapangan, ada pula Hans-Jörg Butt di bawah mistar gawang yang jago mengeksekusi penalti, Jens Nowotny dan Lúcio yang menjadi tembok kokoh di lini belakang, Oliver Neuville si juru gedor andalan, serta wonderkid bernama Dimitar Berbatov yang masih berusia 21 tahun.
Di kubu lawan, materi pemain Real Madrid juga tak kalah mentereng. Skuat musim 2001/2002 adalah embrio dari skuat Galacticos jilid pertama Real Madrid. Selain Iker Casillas yang saat itu masih jadi pelapis, El Real juga masih diperkuat nama-nama legendaris seperti Fernando Hierro, Iván Helguera, Míchel Salgado, Roberto Carlos, sang maestro Luís Figo dan Zinedine Zidane, pangeran ibu kota bernama Raúl Gonzalez, serta sang gelandang yang kemudian terbuang, Claude Makélélé.
Ini merupakan final Liga Champions pertama Leverkusen sepanjang sejarah. Maka dari itu, wajar apabila para fans sangat antusias, sedangkan para pemain diliputi rasa was-was. Petaka pun langsung datang bagi Leverkusen di menit ke-8. Lemparan jauh Roberto Carlos membelah pertahanan Leverkusen dan Raúl dengan dingin mencetak gol ke gawang Butt. 1-0 anak asuh Vicente del Bosque memimpin.
Lima menit berselang, giliran pemain Leverkusen yang berselebrasi. Umpan silang dari tendangan bebas Bernd Schneider ditanduk oleh Lúcio untuk menyamakan kedudukan. Akan tetapi, gol tersebut hanya menunda pesta El Real sekaligus awal dari momen legendaris yang akan dikenang sepanjang masa.
Roberto Carlos mengukir asis keduanya malam itu. Umpan silangnya disantap oleh Zidane dengan tendangan voli. Ballack yang berdiri tepat di belakang Zidane hanya bisa mengeluh, kecewa, sekaligus bersedih karena kegagalan menjadi juara untuk ketiga kalinya secara beruntun sudah tampak di depan mata,
https://www.youtube.com/watch?v=kSJHYLgWjVM
Prasangka akan kegagalan itupun berbuah kenyataan. Ballack harus menerima kenyataan pahit, menjadi runner-up tiga kali hanya dalam tempo dua minggu. Namun, saat itu tak ada pikiran sama sekali di kepalanya bahwa dalam sembilan tahun ke depan, beragam medali peraknya akan turut mengisi lemari trofinya menemani medali juara yang didapatnya.
Secara berturut-turut, Ballack bersama timnya kembali menempati peringkat kedua di Piala Dunia 2002, Liga Primer Inggris 2006/2007 dan 2007/2008, Piala Carling 2007/2008, Piala Eropa 2008, Liga Champions 2007/2008, dan Bundesliga 2010/2011. Dari torehan individu, Ballack juga harus puas di peringkat kedua dalam ajang pemilihan Pemain Terbaik Jerman 2008.