Shot power 95, shot accuracy 85, balance 91, dan header 94. Itulah kemampuan unggulan Michael Ballack yang dapat kalian temui di gim Pro Evolution Soccer maupun Winning Eleven di masa kejayaan pemain setinggi 188 sentimeter ini. Dari nilai kemampuan individu tersebut, bisa disimpulkan bahwa Ballack adalah pemain dengan tendangan galak.
Ketika Ballack menguasai bola, satu sentuhan halus pada tombol kotak akan membuat bola melesat kencang bagaikan peluru-peluru yang beterbangan di film Kingsman. Hebatnya lagi, meskipun memiliki tendangan geledek yang dapat membuat Bung Valen berteriak jebret tiada henti, akurasi tendangan Ballack terhitung sangat baik, tidak seperti Djibril Cissé.
Spesialis runner-up
Lahir di Görlitz, Jerman Timur, tepat pada hari ini 41 tahun yang lalu, Ballack merupakan anak tunggal dari seorang ayah yang dulunya seorang pesepak bola amatir dan kini menjadi insiyur, sedangkan ibunya bekerja sebagai sekretaris. Kepindahannya ke kota Chemnitz-lah yang membuat Ballack berkenalan dengan si kulit bundar sejak usia tujuh tahun.
Semasa aktif sebagai pemain, Ballack merupakan salah satu bakat terbaik yang pernah dihasilkan Jerman. Ia bahkan mendapat julukan Little Kaiser karena gaya bermainnya yang mirip dengan Der Kaiser, Franz Beckenbauer. Total 11 titel mayor ia raih di level klub. Cukup banyak memang, tapi medali perak yang ia dapat juga tak kalah banyak dari medali emas yang terpajang di lemari trofinya.
Apesnya nasib Ballack bisa dibilang hampir sama dengan nasib timnas Indonesia. Berulang kali menjadi kandidat juara dan sukses melaju ke partai puncak, tapi di akhir pertandingan hanya mampu memandangi para pemain lawan yang berselebrasi di atas podium. Dengan kata lain, Ballack adalah spesialis runner-up.
“Kutukan” ini ia dapat sejak bermain di Bayer Leverkusen pada musim 2001/2002. Leverkusen saat itu berpeluang besar meraih treble winners, karena memuncaki klasemen sementara Bundesliga, dan menembus final Liga Champions serta DFB-Pokal.
Kesialan pertama terjadi di Bundesliga. Leverkusen yang saat itu sepertinya tinggal menunggu waktu untuk merengkuh trofi justru mengalami penurunan performa jelang akhir musim. Mereka berulang kali menyumbangkan tiga poin ke para lawannya, dan di akhir musim posisi mereka disalip oleh Borussia Dortmund yang keluar sebagai kampiun dengan selisih satu poin dari Leverkusen di posisi dua.
Ballack sendiri saat itu adalah top skor klub. Ia mencetak 17 gol di Bundesliga, hanya kalah dari Márcio Amoroso (Borussia Dortmund) dan Martin Max (TSV 1860 München) yang menjadi top skor dengan torehan 18 gol. Hebatnya lagi, Ballack merupakan salah satu dari dua gelandang di lima besar pencetak gol terbanyak, bersama Marcelinho Paraíba, gelandang serang Hertha Berlin.
Usai kegagalan menjadi jawara Bundesliga, seminggu kemudian kesialan kembali menimpa kubu Leverkusen. Berhadapan dengan Schalke di partai puncak DFB-Pokal, Ballack dan kawan-kawan harus mengakui keunggulan The Royal Blues dengan skor 4-2. Kekecewaan jelas terpancar dari raut wajah para pemain Leverkusen, tapi setidaknya masih ada satu kesempatan lagi untuk meraih trofi, yakni di final Liga Champions kontra Real Madrid.