Eropa Lainnya

Kala Feyenoord Menahbiskan Diri sebagai Raja Dunia

Sebelum ‘direbut’ induk organisasi sepak bola dunia (FIFA) dan berganti kulita menjadi Piala Dunia Antarklub, asosiasi sepak bola Eropa (UEFA) dan federasi sepak bola Amerika Selatan (CONMEBOL) memiliki sebuah ajang yang mempertandingkan dua pemenang dari kejuaraan regional nomor wahid mereka, Liga Champions dan Copa Libertadores. Ajang ini sendiri diberi nama Piala Interkontinental.

Meski terkesan sepihak, hanya melibatkan perwakilan Eropa dan Amerika Selatan saja, tim-tim yang berhasil keluar sebagai juara Piala Interkontinental inilah yang nantinya ‘berhak’ atas status klub terbaik di dunia, raja dari semua kesebelasan profesional yang ada. Salah satu klub yang sempat mencicipi manisnya status raja dunia ini adalah klub asal Belanda, Feyenoord Rotterdam.

Pada musim 1969/1970, Feyenoord yang ketika itu diperkuat oleh nama-nama semisal Willem van Hanegem, Rinus Israël, Wim Jansen, Ola Kindvall, dan Coen Moulijn, sukses merengkuh trofi Liga Champions usai menumbangkan kesebelasan dari Skotlandia, Celtic FC di babak final dengan skor 2-1.

Pada musim yang sama, Estudiantes yang merupakan klub asal Argentina dan berisi pemain-pemain berkualitas layaknya Carlos Bilardo, Edoardo Flores, dan Juan Ramon Veron, berhasil keluar sebagai kampiun Copa Libertadores sehabis membekuk wakil Uruguay, Penarol, dengan agregat 1-0.

Catatan prestasi itu pula yang lantas mempertemukan Feyenoord dan Estudiantes di ajang Piala Interkontinental. Berdasarkan kesepakatan yang dibuat, laga perebutan trofi akan digelar dalam dua leg dengan format kandang dan tandang. Estudiantes berhak menyelenggarakan laga kandangnya di leg pertama sedangkan Feyenoord kebagian di leg kedua.

Pada 26 Agustus, Feyenoord pun menjalani partai krusial di Stadion La Bombonera, Buenos Aires. Disaksikan lebih dari 50 ribu pasang mata yang memadati stadion, secara tak terduga Feyenoord berhasil menahan imbang sang tuan rumah dengan kedudukan 2-2. Sepasang gol Estudiantes yang dibukukan oleh Juan Miguel Echecopar dan Veron mampu disamakan oleh Van Hanegem dan Kindvall.

Keadaan tersebut seolah memberi angin segar bagi De Trots van Zuid, julukan Feyenoord. Semangat mereka tatkala mendapat jatah menjamu Estudiantes di Stadion De Kuip pun melonjak-lonjak.

Sekitar dua pekan kemudian, tepatnya pada tanggal 9 September, tanggal yang sama dengan hari ini, Los Pincharratas, nickname Estudiantes, datang ke kota Rotterdam buat melakoni laga kedua. Meski bermain di depan publik sendiri, pertandingan yang dijalani Feyenoord tidak berlangsung mudah. Pertahanan Estudiantes amat sulit dibongkar.

Menyadari ada deadlock yang sedang terjadi, pelatih Feyenoord kala itu, Ernst Happel, memasukkan Joep van Daele, seorang penyerang, guna menggantikan Moelijn, pemain yang berposisi sebagai winger di menit ke-60.

Pergantian pemain itu sendiri membuahkan hasil yang diharapkan Happel. Van Daele sukses menceploskan gol ke gawang Estudiantes yang dikawal Oscar Pezzano hanya lima menit usai dirinya menginjakkan kaki di lapangan.

Gol yang berhasil disarangkan Van Daele itu pada akhirnya menjadi satu-satunya gol yang tercipta di leg kedua perebutan gelar Piala Interkontinental. Ketika Alberto Tejada Noriega, wasit asal Peru yang memimpin jalannya laga, meniup peluit panjang, para pemain Feyenoord langsung berkerumun dan berpelukan merayakan kejayaan. Situasi serupa juga terlihat di bench pemain dan pelatih serta tribun yang penuh sesak oleh suporter De Trots van Zuid.

Baca juga: Dongeng Mbah Budi tentang Feyenoord Rotterdam

Malam itu, Feyenoord berhasil menahbiskan diri sebagai klub terbaik di dunia berkat titel Piala Interkontinental yang sukses mereka genggam.

Gefeliciteerd, Feyenoord!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional