Di sepanjang pagelaran turnamen sepak bola antarnegara kelas wahid semisal Piala Dunia, Piala Eropa dan Piala Konfederasi, negara-negara dari Benua Biru yang begitu konsisten tampil sebagai kekuatan sepak bola adalah Jerman, Italia, Prancis dan Spanyol. Maaf buat pendukung Belanda, Inggris, dan Portugal, walau ketiganya memiliki prestasi yang cukup apik namun konsistensinya jelas tak sebaik kuartet yang disebut lebih dulu.
Sampai hari ini, Jerman, Italia, Prancis, dan Spanyol telah mengoleksi 22 titel di tiga ajang prestisius tersebut. Rinciannya berupa 10 gelar Piala Dunia, 9 trofi Piala Eropa, dan 3 buah Piala Konfederasi. Bermodal performa, prestasi dan tradisi gemilang seperti itu, adalah lazim jikalau keempat negara itu seringkali menjadi kandidat juara tatkala bertempur di sebuah turnamen sepak bola.
Walau dominasi dari keempat negara itu masih begitu mencolok dalam konstelasi sepak bola dunia, khususnya di Eropa, namun situasi tersebut tak lantas menghalangi banyak negara lain untuk mengembangkan sepak bolanya agar memiliki level yang semakin dekat atau bahkan setara dengan kuartet tersebut. Bukti sahih dari hal tersebut bisa sama-sama kita lihat dalam wujud Swiss.
Merupakan salah satu dari tujuh negara (bersama Belanda, Belgia, Denmark, Prancis, Spanyol dan Swedia) yang menginisasi lahirnya Federation Internationale de Football Association alias FIFA, gereget Swiss di kancah sepak bola dunia memang tak sebaik Prancis dan Spanyol yang prestasinya mengilap.
Sepanjang keikutsertaan mereka di turnamen sekelas Piala Dunia, pencapaian terbaik Swiss hanyalah babak perempat-final seperti yang mereka torehkan di Piala Dunia 1934, 1938, dan 1954. Sementara di ajang Piala Eropa, aksi paling maksimal yang bisa ditunjukkan La Nati, julukan Swiss, adalah menembus babak perdelapan-final. Hal ini mereka pertontonkan di Piala Eropa 2016 yang lalu.
Namun bila diperhatikan secara lebih seksama, apa yang diperlihatkan Swiss dalam kurun satu dasawarsa terakhir adalah progresi brilian. Pelan-pelan, tim nasional yang pernah menggenggam medali perak di ajang Olimpiade Paris 1924 ini, sukses mengubah wajah mereka dari tim liliput menjadi kekuatan yang cukup menjanjikan. Belum setara Jerman, Italia, Prancis dan Spanyol memang, tapi Swiss benar-benar tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Bila ditelusuri lebih jauh, semakin ciamiknya performa Swiss dalam tatanan sepak bola dunia dan juga Eropa dalam kurun satu setengah dekade terakhir adalah berkat tangan dingin dua pelatih. Mereka adalah Jakob ‘Köbi’ Kuhn yang menangani timnas senior Swiss dalam rentang 2001 hingga 2008 dan Ottmar Hitzfeld, pemangku jabatan pelatih di periode 2008 sampai 2014.
Kedatangan dua pelatih ini menghadirkan sesuatu yang berbeda sekaligus baru untuk Swiss baik dalam segi taktikal maupun pembibitan, sekaligus pengembangan talenta-talenta belia dengan kualitas apik.