Liga Primer Inggris telah kembali, dan seperti biasa, liga domestik terpopuler sedunia ini selalu melahirkan cerita menarik setiap pekannya, tak terkecuali di pekan pertama.
Kejadian paling mengejutkan terjadi di Stamford Bridge, ketika sang kesebelasan pemilik stadion dikalahkan klub medioker, Burnley, dengan skor 2-3. Hasil ini tentu menjadi kekecewaan yang sangat besar di kubu Chelsea karena mereka adalah tim kuat dan kandidat juara, tapi sudah kehilangan tiga poin di pekan pertama.
Antonio Conte mendapat kritikan tajam karena ia tak sanggup bertindak dengan kepala dingin setelah dua pemainnya diberi kartu merah, namun itulah sisi menarik dari Liga Primer Inggris. Semua aktor lapangan hijau, tak terkecuali pelatih, memiliki corak emosi yang beragam. Beberapa ada yang sedikit lebih kalem seperti Arsène Wenger dan ada juga yang meledak-ledak di pinggir lapangan seperti Jürgen Klopp dan Conte.
Gary Cahill mendapat kartu merah karena salah memperkirakan waktu saat hendak melakukan tekel. Ia tak perlu mendapat hujatan karena hal seperti itu lazim terjadi di sepak bola, tak peduli status kebintangan yang dimiliki sang pemain. Akan tetapi, kartu kuning kedua yang didapat Cesc Fàbregas perlu mendapat perhatian Conte. Cesc sangat ceroboh dalam melakukan tekel padahal ia sudah mengantongi satu kartu kuning. Bagi pemain sekaliber dirinya, hal itu tak boleh terulang lagi.
Murkanya Conte di pertandingan itu mungkin adalah efek domino dari ketidakpuasan dirinya terhadap manajemen Chelsea. Kita semua tahu bahwa gerak Chelsea dalam bursa transfer sangat lamban dan akibat dari kekalahan ini, sepertinya Conte akan meminta tiga pemain baru.
Kekalahan di laga pertama memang begitu menyakitkan bagi sang juara bertahan, namun mereka tetap harus berpikir dengan kepala dingin dan tidak mengindahkan apapun yang dituntut oleh orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang pekerjaan mereka.
Satu poin positif yang dimiliki Chelsea dalah Álvaro Morata. Dengan satu gol dan satu asisnya pekan lalu, kemungkinan besar ia akan menggeser Michy Batshuayi di starting line-up melawan Tottenham Hotspur, meski pemain Belgia tersebut menunjukkan performa mengesankan di pramusim. Chelsea akan mengincar tiga poin dari lawatannya ke Wembley, tapi jika hanya sanggup meraih hasil imbang, itu bukan hal yang buruk menurut saya.
Bagi Spurs sendiri, meski komposisi skuat mereka sudah bagus, tapi mereka tidak memiliki “penyihir” di lapangan seperti Gareth Bale dulu. Mauricio Pochettino memang memiliki Harry Kane, Dele Alli, dan Christian Eriksen, yang telah menunjukkan kelasnya selama dua musim terakhir. Namun, mereka tidak memiliki sosok pembeda yang bisa menciptakan keajaiban seperti Alexis Sanchez, Cristiano Ronaldo, atau Lionel Messi.
Bicara tentang Gareth Bale, ia memang tengah diisukan akan kembali ke Tottenham, yang tentu akan meningkatkan kualitas lini serang mereka secara signifikan. Namun, Daniel Levy adalah pebisnis yang cerdas. Ia tidak akan mau menggelontorkan dana 80 hingga 90 juta paun hanya demi satu pemain. Saya juga memperkirakan kalau transfer ini tidak akan terjadi, meski Spurs pasti sangat ingin memulangkan pemain asal Wales itu.
Mungkin, Spurs dapat mengalihkan bidikan ke Riyad Mahrez atau Kingsley Coman. Di usia yang masih belia, mereka telah menunjukkan kualitas nomor satu dan sudah menjuarai liga domestik dengan status pemain inti. Akan tetapi, siapapun yang akan mereka beli di sisa waktu bursa transfer kali ini, Spurs tetap bukanlah kandidat juara di musim 2017/2018.
Situasi yang serupa juga terjadi di Arsenal, klub favoritku. Menjuarai Community Shield memang menyenangkan, tapi mereka merayakannya terlalu berlebihan seakan-akan telah menjuarai liga, padahal itu hanya gelar minor. Kejadian yang sangat memalukan bagi kesebelasan sekelas The Gunners.
Laga melawan Leicester City pekan lalu adalah pertandingan yang Arsenal banget. Granit Xhaka dan kawan-kawan menunjukkan semangat juang tinggi, pantang menyerah untuk mengejar ketertinggalan. Performa seperti itu seharusnya juga mereka tunjukkan di tiga bulan terakhir jelang musim berakhir.
Meski berhasil mendapat tiga poin di pekan pertama, performa lini belakang Arsenal harus diperbaiki. Sampai kapanpun, mereka takkan bisa menjuarai liga jika sistem pertahanan mereka keropos. Lihat saja statistik musim lalu. Arsenal kemasukan 44 gol dalam semusim, selisih jauh dengan Manchester United (29 gol) dan Tottenham (26 gol).
Satu poin positif yang dimiliki Arsenal, Alexandre Lacazette telah menunjukkan ketajamannya. Sangat disayangkan Wenger baru merekrutnya sekarang padahal dua musim lalu ia juga memiliki kesempatan besar untuk membelinya. Meski baru sekali bermain di Liga Primer Inggris, Lacazette telah menunjukkan bahwa ia layak menjadi tumpuan di lini depan Arsenal, setelah kepergian Thierry Henry dan Robin van Persie.
Dengan formasi 3-4-3, 4-3-3, ataupun 4-2-3-1, saya yakin Arsenal takkan kesulitan mencetak gol dengan Lacazette di lini depan. Namun permasalahannya, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, pertahanan adalah hal utama yang menjadi perhatian khusus Wenger musim ini.
Seperti halnya Lacazette, Romelu Lukaku juga bisa menjadi kartu penting bagi Manchester United musim ini yang tengah gencar mengembalikan reputasinya sebagai kandidat juara. Akan tetapi, Lukaku perlu meningkatkan ketangkasannya untuk membalikkan badan di sentuhan pertama, karena itu sangat sulit dilakukannya ketika punggungnya menghadap ke gawang.
Ketajaman serta kecepatan lari Lukaku sudah cukup baik dan ia hanya perlu memperbaiki satu hal itu. Ia dapat belajar dari cara bermain Zlatan Ibrahimović yang tetap gesit walaupun posturnya tinggi besar dan tak lagi muda.
Musim ini, Lukaku menanggung ekspektasi yang sangat besar. Dengan 25 gol yang dicetaknya musim lalu, ia diharapkan dapat mengukir setidaknya 30 gol musim ini bagi The Red Devils. Dengan dukungan lini tengah yang lebih mumpuni, saya yakin Lukaku dapat melakukannya.
Eks klub Lukaku, Everton, juga menjadi perhatian saya pekan lalu. Wayne Rooney menjadi trending topic setelah mencetak “gol debut” bagi Everton. Ia menunjukkan intelegensinya sebagai pemain kelas dunia yang sudah berumur dan harus mengganti gaya bermain. Datang dari belakang, Rooney masuk melalui sisi blind side bek lawan dan timing melompatnya sangat tepat.
Apakah Rooney kembali ke klub masa kecilnya karena Jose Mourinho sudah tidak menginginkannya di Old Trafford? Saya pikir tidak. Pelatih manapun pasti akan membutuhkan Rooney di dalam timnya. Hanya saja, Rooney ingin bermain lebih sering dan tak ada yang berhak menghalanginya, bukan?
Setelah 13 tahun lamanya meninggalkan Goodison Park, Rooney kini telah kembali. Ia akan menjadi kepingan penting dari skuat bertabur pemain muda potensial yang dimiliki The Toffees musim ini, meski usianya sudah 31 tahun.
Disclaimer: Tulisan ini disarikan dari kolom eksklusif Jay Bothroyd untuk Football Tribe dengan judul asli “Jay on EPL Part 1: Chelsea’s stumble, conservative Tottenham, unchanging Arsenal, and Lukaku’s quest”
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.