Situasi yang sama juga berlaku untuk saga Neymar dan Barcelona.
Pemain asal Brasil ini dipandang hanya mementingkan uang ketika menerima pinangan Paris Saint-Germain (PSG). Publik seperti enggan mendengar suara Neymar. Ia ingin mencari tantangan baru bersama PSG. Tapi, tertutup rasa benci karena ditinggal pergi, banyak yang menutup telinganya rapat-rapat dan memilih caci maki sebagai ekspresi.
Satu hal: pun jika Neymar hengkang karena mengejar uang, Anda bisa apa?
Kembali, hasrat adalah ranah pribadi. Kita tak punya izin untuk menginjakkan kaki di halaman pribadi manusia tersebut. Mengejar uang atau materi pun salah satu tujuan Anda bekerja. Aktualisasi diri? Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan bekerja? Menimba ilmu sebanyak mungkin? Alasan-alasan yang tak ada punya cacat.
Begitu juga dengan motivasi seseorang untuk mengejar uang. Satu lagi hal yang penting: Neymar tak meminta dirinya dibanderol hingga 222 juta euro. Pasar yang melambungkan harga Neymar, juga Barcelona yang meletakkan banderol tersebut di kontrak si pemain. Ketika pemain berkualitas dibanderol tinggi, bukankah itu situasi yang sepadan?
Ketika Anda sudah bekerja keras, menjadi pegawai paling teladan, bukankah wajar apabila perusahaan menghadiahi Anda dengan kemasyhuran?
Bisa jadi, Neymar tengah membutuhkan banyak uang untuk membangun desa asalnya. Bisa jadi juga, Neymar tengah membutuhkan banyak uang untuk membantu warga di daerah konflik secara sembunyi-sembunyi.
Intinya adalah, kita tak akan tahu pasti isi hati seseorang. Ketika kita berlagak sok paham dengan isi hati seseorang, bukankah pemikiran itu menjadikanmu Tuhan? Bukankah menyamakan diri dengan Tuhan itu masih terhitung dosa?
Pada akhirnya, memandang segala hal membutuhkan pikiran yang jernih. Bahkan ketika si pelaku punya motif busuk di balik keputusannya. Siapa kita bisa menghakimi.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen