Untuk ukuran sebuah tim yang memenangkan Scudetto enam kali berturut-turut dan tampil dalam dua final Eropa dalam lima musim terakhir, tak ada yang meragukan posisi Juventus sebagai salah satu penghuni kasta elite sepak bola Eropa saat ini.
Tapi ini juga tim yang sama yang telah mengalami pasang surut drama dan konflik dalam tubuh sendiri yang kadang mengorbankan talenta-talenta terbaik di dalamnya. Antara mimpi dan ambisi Bianconeri untuk kembali ke posisi mereka sebelumnya, tersimpan peraduan-peraduan ego yang nyaris mustahil ditangani pelatih hebat atau kapten karismatik manapun. Sebuah kenang-kenangan sejarah yang terbentur dengan realisasi masa kini.
Bila Anda salah satu dari penggemar Juventus atau pengamat kasual calcio yang tak dapat memahami moral dan logika di sebalik keputusan melego bek andalan Leonardo Bonucci ke musuh bebuyutan Milan, percayalah bahwa Anda tak sendiri. Itu hanyalah puncak dari gunung es pencarian jati diri sebuah tim yang tak kurang hebat pencapaiannya di lapangan, namun tak dapat pula mengendalikan pasang-surut emosi di ruang ganti.
Perlahan-lahan, La Vecchia Signora dapat menjadi korban dari ambisi mereka sendiri.
Konflik dan drama internal yang sekali-sekali tersisip di antara raihan-raihan trofi itu tak pelak mengingatkan kita pada satu era dan sebuah tim yang hampir sama modelnya: Bayern München pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, periode yang menyematkan gelar FC Hollywood pada mereka. Juventus-lah yang paling dekat mereplikasi era dan tim itu.
Paralel yang sedia ada, sebenarnya tak begitu mengejutkan. Bahkan lebih dari satu dekade setelah keputusan kontroversial untuk memindahkastakan Alessandro Del Piero dan kawan-kawan ke Serie B akibat skandal calciopoli yang masyhur itu, Juventus tampaknya masih belum menyelesaikan pencarian jati diri mereka yang sebenarnya.
Jika boleh kita membagi sejarah modern tim kebanggaan kota Turin ini seperti kalender Masehi terbagi dua, maka yang ada adalah Juventus Sebelum Degradasi dan Juventus Setelah Degradasi.
Juventus Sebelum Degradasi adalah tim yang percaya diri akan kemampuan kaki-kaki pemain mereka, yang yakin akan status mereka terpacak kuat sebagai aristokrat sepak bola benua biru. Ini adalah tim yang diberkahi pemain-pemain macam Del Piero, Michel Platini, Fabrizio Ravanelli, Roberto Baggio, Gianluca Vialli dan Zinedine Zidane. Ini adalah pasukan yang diasuh oleh Giovanni Trappattoni dan Marcelo Lippi. Ini adalah klub yang tak pernah menengok ke belakang dan meragukan bahwa hari depan adalah milik mereka.
Tapi Juventus Setelah Degradasi adalah Juventus yang sedikit berbeda. Ini adalah tim yang sedikit demi sedikit berusaha untuk menggapai kembali kejayaan lama mereka, namun tak punya konsep yang jelas akan apa yang bakal mereka lakukan ketika kejayaan itu mendekat.
Ini adalah tim yang beringas melindas enam Scudetto dalam enam musim. Ini adalah tim-nya para penyintas, para survivor. Tak ada yang mempertanyakan loyalitas Gianluigi Buffon, Giorgio Chiellini atau Claudio Marchisio. Tapi bahkan trio legenda itu tak kuasa mengambil kendali ruang ganti yang silih berganti disinggahi bintang (dan calon bintang) berbanderol selangit: Arturo Vidal, Paul Pogba dan Alvaro Morata.
Kondisi Juventus saat ini sedikit sebanyak mengembalikan ingatan kita pada Bayern München. Setelah periode yang begitu sukses pada 1970-an, di mana mereka mengemas tiga trofi Piala Champions berturut-turut dan merajai Bundesliga tanpa kesulitan berarti, awal dekade 1980-an adalah masa-masa sulit bagi tim kebanggaan Bavaria ini.
Paul Breitner dan Karl-Heinz Rummenigge adalah dua motor utama yang menggerakkan mesin-mesin Bayern pada tahun-tahun itu. Berjuluk FC Breitnigge, kesuksesan mereka di paruh pertama 1980-an tak bersinar terang laiknya skuat yang merajai Eropa beberapa tahun sebelumnya. Dibayang-bayangi kesulitan finansial, beberapa musim berlalu tanpa kemenangan berarti, sampai duo itu pecah dengan pensiunnya Breitner.
Pada titik ini, banyak suporter Bayern yang merasa bahwa kejayaan lama mereka mustahil direplikasi. Skuat 1970-an era Franz Beckenbauer, tersukses di Jerman pascaperang dan membantu memotori Die Mannschaft kampiun Piala Dunia di kandang sendiri pada 1974, hanya bakal terjadi sekali dalam beberapa dekade.
Kenyataannya, Bayern memborong lima gelar Bundesliga berturut-turut pada akhir 1980-an, sekaligus lolos ke dua final Eropa. Tibanya Jupp Heynckes sempat memperbarui mimpi untuk kembali berjaya di Eropa, namun justru faktor di luar lapangan yang lebih mewarnai skuat Die Roten pada masa-masa itu. Para punggawa Bayern lebih acap muncul di kolom gosip daripada olahraga. Tingkah-polah mereka lebih menunjukkan sebuah grup selebritis ketimbang serikat atlet penggocek bola.
Bayern membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk melepas stigma itu dari identitas mereka. Yang mereka lakukan tak sedikit: mendatangkan kembali pelatih-pelatih berdisiplin tinggi macam Heynckes, membina dan membeli pemain-pemain berkarakter pemimpin yang tenang macam Philip Lahm dan Bastian Schweinsteiger, hingga mengubah budaya korporat mereka untuk menjadi lebih ramah dan modern. Lihatlah mereka kini: tempat begitu banyak tim sepak bola dari penjuru dunia berkiblat untuk belajar.
Kita mengenal banyak ragam tim yang tak dapat mengendalikan ambisi mereka sendiri hingga mengorbankan diri sendiri. Mimpi-mimpi boleh tinggi, tapi revolusi terpendam di ruang ganti, kursi kepelatihan yang acap berderik, hingga manajemen yang tak fasih menerjemahkan visi dapat menghambat laju tim itu sendiri. Butuh seorang pelatih yang liat, manajemen yang berdedikasi, dan rombongan pemain yang berwatak untuk membentuk sebuah tim pemenang yang tak kisruh luar-dalam.
Dan saat ini, boleh kiranya saya tuliskan bahwa Juventus sebagai FC Hollywood in the making. Rumor yang berhembus, Bonucci angkat kaki selepas hubungannya yang memburuk dengan tim, konon berpuncak pada pertengkaran dengan Dani Alves saat turun minum final Liga Champions.
Terbuktilah bahwa semakin kencang laju Paulo Dybala dan kawan-kawan untuk memanjat tangga-tangga dan mengembalikan kejayaan lama Sang Kekasih Italia ini, maka semakin rentan pula terperosok pada pertelingkahan-pertelingkahan kecil yang dapat merembet ke mana-mana.
Bagi sebuah tim yang tengah mencari cara untuk memacakkan sebuah jati diri baru sebagai elite Eropa, amat rentan Juventus terbenam ke potensi menjadi FC Hollywood versi replika. Semoga saja, demi permainan yang indah ini, hal itu tak terjadi.
Author: Ramzy Muliawan (@ramzymuliawan)
Penulis dan pembaca. Penikmat kopi hitam, punk rock dan Luca Toni.