Kolom

Yoann Gourcuff, Suksesor Zinedine Zidane yang Mengecewakan

Paolo Maldini pernah mengkritiknya karena gagal beradaptasi di kota Milan. Carlo Ancelotti pernah mencibirnya sebagai pemain yang egosentris, dan eks pelatih timnas Prancis, Raymond Domenech, dalam autobiografinya yang berjudul Tout Seul pernah tersulut emosinya dan ingin menampar Gourcuff karena tampil sangat mengecewakan di Piala Dunia 2010.

Sangat sangat mengecewakan. Saya sengaja dua kali memakai kata ‘sangat’ karena Yoann Gourcuff benar-benar gagal memenuhi ekspektasinya sebagai suksesor Zinedine Zidane. Di laga pembuka kontra Uruguay yang berakhir imbang tanpa gol, gelandang setinggi 186 sentimeter ini tak bermain penuh, diganti di babak kedua karena kontribusinya sangat minim.

Legenda Prancis, Just Fontaine, sempat berujar bahwa di pertandingan itu Gourcuff seperti hilang ditelan bumi. Beberapa saat kemudian tersiar kabar bahwa saat melawan Uruguay, Franck Ribéry dan Nicolas Anelka memang sengaja mengisolir Gourcuff karena iri padanya. Meski mendapat “pembelaan”, nyatanya Gourcuff kembali tampil mengecewakan di laga pemungkas penyisihan grup.

Melawan tuan rumah Afrika Selatan, di bawah puluhan ribu pasang mata dan riuhnya suara vuvuzela, pemain yang sempat berstatus tanpa klub pada Agustus 2015 ini melayangkan sikutnya ke wajah pemain Bafana Bafana, julukan timnas Afrika Selatan. Kartu merah keluar dari kantong wasit dan Prancis pun ikut keluar dari turnamen yang digagas oleh warga negara mereka sendiri, Jules Rimet.

Banyak yang iri

Hidup Gourcuff, ironisnya, termasuk berat, padahal ia terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan. Ayahnya, Christian Gourcuff, juga seorang pesepak bola yang sempat bermain di beberapa klub ternama di Prancis, Swiss dan Kanada. Ibunya bergelar Doktor dan pernah menjadi pemain basket, sedangkan kakaknya adalah atlet renang dan pembalap sepeda profesional.

Gourcuff muda adalah seorang petenis, namun sejak usia 12 tahun mulai banting setir ke dunia sepak bola karena menurut ayahnya, ia lebih berbakat di bidang itu. Ia dibesarkan di wilayah Brittany, sebuah kawasan di Prancis yang terkenal dengan pemandangan indahnya dan menjadi daya tarik wisatawan. Dengan potongan rambut rapi dan wajah rupawan, bisa dibilang Gourcuff termasuk dalam golongan keluarga borjuis.

Hal ini berbanding terbalik dengan mayoritas pemain timnas Prancis yang menghabiskan masa kecilnya di wilayah miskin. Éric Abidal tumbuh di daerah terpencil Lyon, Franck Ribéry dibesarkan di kawasan Boulogne-sur-Mer yang memiliki angka kemiskinan dan pengangguran tinggi, sedangkan Thierry Henry, William Gallas dan Nicolas Anelka, menghabiskan masa kecilnya di pinggiran Paris.

Ditambah sorotan media yang sering menyebut bahwa Gourcuff merupakan calon suksesor Zidane, tak pelak membuat penggawa Les Bleus banyak yang iri pada Gourcuff, bahkan tak sedikit yang ingin mempersulit kariernya, seperti winger Bayern München yang memiliki goresan di wajah dan penyerang plontos yang gemar berganti klub itu.

Kembali ke masa kecil

Talentanya memang luar biasa. Di usia 20 tahun saja, ia sudah direkrut AC Milan yang masih berstatus raksasa Italia. Sekadar mengingatkan saja, Milan saat itu masih diperkuat gelandang-gelandang jempolan macam Andrea Pirlo, Gennaro Gattuso, Clarence Seedorf dan si pria ajaib, Kaká.

Di usia yang baru menginjak kepala dua, ia sudah berbagi ruang ganti dengan Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Filippo Inzaghi, Nélson Dida, Marcos Cafu dan Il Phenomenon, Ronaldo. Apa yang sudah kamu lakukan di usia 20 tahun, Tribes?

Akan tetapi, ekspektasi itu tak pernah terwujud. Di Milan ia gagal total. Saat dipinjam lalu dipermanenkan Bordeaux, lulusan akademi FC Lorient ini sempat bermain apik. 24 gol dan 27 asis ia catatkan dari total 95 penampilan bersama Les Girondins. Harga pasarnya pun melonjak ke angka 22,5 juta euro dan ia mendapat panggilan untuk tampil di Piala Dunia 2010.

Berkat performa impresifnya bersama Bordeaux, Olympique Lyon kemudian membelinya dengan harga 500 ribu euro lebih murah dari nilai pasarnya. Sekilas, kariernya akan semakin membaik karena telah bergabung di klub besar, tapi sekali lagi saya ulangi, bahwa potensinya sebagai suksesor Zidane tak pernah tercapai.

Musim pertamanya di Lyon tak berjalan mulus. Ia merasa sangat kecewa dan frustrasi dengan dirinya sendiri. “Sangat jelas bahwa kontribusiku dalam menyerang tidak cukup baik”, ujarnya pada Reuters.

Di kemudian hari, kontribusinya tak kunjung membaik. Berbagai hantaman cedera menghampirinya dan membuat ia absen dalam 90 pertandingan Lyon secara keseluruhan. Hal itu pula yang membuatnya kesulitan menemukan klub baru sejak dilepas Lyon pada bulan Juli 2015.

Sebulan berstatus pengangguran, tawaran kemudian datang dari Stade Rennais, klub masa kecilnya sebelum bergabung dengan Milan. Sepertinya takdir memang membawa Gourcuff ke klub yang bermarkas di Roazhon Park itu karena setahun kemudian, sang ayah ditunjuk sebagai pelatih anyar Les Rouges et Noirs, julukan Rennais. Christian Gourcuff telah membesarkan sang anak menjadi pesepak bola ternama dan sekarang kembali mengasuhnya ketika sudah dewasa.

Kini, di usia 31 tahun, tak banyak yang bisa kita harapkan dari Yoann Miguel Gourcuff. Dalam tiga sampai lima tahun lagi, ia mungkin akan pensiun dan perpisahannya tak akan segemerlap laga terakhir para legenda besar Prancis lain.

Akan tetapi, setidaknya ada satu hal yang bisa ia lakukan di pengujung kariernya yang semakin jauh dari gemerlap liga-liga elite Eropa ini. Jangan lagi bermain mengecewakan dan jagalah kondisi badan biar nggak gampang sakit, karena kami para penikmat Liga 1 Indonesia akan selalu siap menyambutmu jika suatu saat nanti engkau singgah di negeri kami sebagai marquee player.

Joyeux anniversaire, Yoann!

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.