Satu dekade lalu, transfer termahal di dunia dilakukan oleh Real Madrid dengan mendatangkan Zinedine Zidane dengan biaya transfer 50 juta paun. Sekarang? Paul Pogba adalah rajanya. Ia kembali ke Manchester United dengan biaya transfer berkisar antara 89 sampai 92 juta paun. Dan ini adalah indikator bagaimana transfer sendiri sudah sangat berubah di era ini.
Menurut transferleague, ada peningkatan signifikan total transfer di Inggris yang terjadi dari 2010 hingga 2017. Pada 2010, total pengeluaran klub-klub di Inggris mencapai 672 juta paun. Sementara itu, meski baru dibuka, pada 2017 ini total pengeluaran klub-klub di Inggris sudah mencapai setengahnya, 326 juta paun.
Saya kesulitan menemukan data di liga lainnya sebagai wujud komparasi. Namun, saya kira setiap negara top Eropa memiliki kecenderungan yang sama meski tak setara dengan Liga Primer Inggris. Hal ini mengacu pada market share ataupun hadiah yang diterima tiap klub melalui liga.
Lalu mungkin kita akan bertanya, mengapa kemudian harga transfer makin lama di Liga Primer Inggris semakin tak masuk akal? Tren transfer dengan harga yang terus melonjak naik tidak bisa dipisahkan dari teori marginal produktivitas yang menggambarkan sistem pekerja di era modern.
Teori tersebut menjelaskan bahwa sebuah perusahaan (dalam kasus ini, klub) menginginkan untuk mendatangkan pekerja (pemain) agar memiliki output (menang, trofi) yang diinginkan. Tentu pemain di sini tak hanya satu-satunya input di mana ada hal-hal lainnya seperti pelatih, manajer bahkan fasilitas latihan yang bermuara pada apakah tujuan sebuah klub berhasil atau tidak.
Namun pemain adalah sosok yang ditonton saat dua tim berlaga. Penggemar suatu tim ingin menonton para individu yang terbagi dalam dua tim berlaga. Dalam praktiknya, ada pemain-pemain yang kemudian muncul untuk diidolakan. Dan dari sini, teori marginal produktivitas juga menjelaskan bahwa pemain yang paling membuat tim untung, dalam artian berhasil membuat kans kemenangan dan kans meraih gelar suatu tim meningkat, ia akan digaji tinggi. Serta ia juga memiliki kesempatan untuk dijual klub dengan biaya yang paling tinggi. Mengingat saat sebuah klub melakukan transfer sendiri, mereka sebenarnya sedang membeli persentase kemenangan dan keberhasilan mencapai target.
Aspek pemain target tim tentu tak hanya sebab mengapa harga transfer makin naik. Bernd Frick dan Rob Simmons, dalam esainya berjudul “Pay and performance of players in sports league” juga menjelaskan aspek seperti liga dan regulasi transfer juga berpengaruh terhadap harga transfer.
Dalam liga misalnya, Anda sadari atau tidak, setiap liga bersaing untuk menjadi yang terbaik (dalam artian, paling menjual). Liga terbaik, kemudian ditentukan oleh beberapa pertanyaan ini sebagai indikatornya. Pertama, apakah liga tersebut menghibur untuk ditonton atau tidak (dalam artian apakah tiap klub memiliki kemampuan berimbang atau tidak).
Kedua, apakah liga tersebut diisi oleh klub-klub yang berhasil mendominasi atau punya sejarah di turmanen terbesar (seperti Liga Champions dan kompetisi antarbenua lainnya). Ketiga, apakah liga tersebut diisi oleh pemain besar di klub-klubnya.
Hal ini yang membuat Liga Primer Inggris kemudian berani mendaku sebagai liga terbaik di dunia, mengingat Liga Primer Inggris adalah liga yang bisa menjawab indikator ini. Liga Primer Inggris memiliki jadwal yang seru (meski boxing day-nya melelahkan) dengan kekuatan tim yang tak jauh beda.
Enam tim teratas Liga Primer Inggris musim lalu misalnya, memiliki sejarahnya masing-masing yang sama-sama pantas untuk dijual ke publik di seluruh dunia. Sementara itu, jika tim papan atas kalah dari tim semenjana mungkin merupakan fenomena langka di Liga Spanyol ataupun Liga Jerman, namun tidak di Inggris.
Sehingga sebagai output-nya, bayangkan saja, klub terdegradasi seperti Sunderland bisa dapat 99,9 juta paun. Sementara Granada yang sama-sama degradasi hanya dibayar 62 juta euro, yang berarti hanya 54,5 juta paun saja. Itu baru dari tv shares, belum dari merchandising atau ticket sebagai pemasukan lainnya dari klub.
Aturan Bosman juga kemudian berpengaruh terhadap naiknya harga transfer di era sepak bola industri. Sejak aturan ini diberlakukan, banyak klub yang tak ingin lagi kehilangan pemainnya secara gratis dan dibilang merugi. Klub-klub yang tak ingin rugi seperti Liverpool yang pernah kehilangan Steve McManaman ke Real Madrid pada tahun 1999 atau Robert Lewandowski dari Borussia Dortmund ke Bayern München dahulu, buru-buru memperjuangkan untuk sesegera mungkin memperpanjang kontrak pemainnya.
Perpanjangan kontrak ini, pada perkembangannya, kemudian menghadirkan rilis klausul sebagai price-tag dari klub terhadap seorang pemain. Dan harga ini tentu tergantung terhadap kontribusi pemain di sebuah klub serta sisa kontraknya. Sialnya, tak ada aturan baku mengenai rilis klausul ini.
Tiap klub bisa mematok harga gila-gilaan untuk seorang pemain dan tidak ada yang boleh protes. RB Leipzig bisa mematok harga 70 juta paun untuk Naby Keita. Sementara Kylian Mbappe dipasang harga 130 juta paun untuk klub yang menginginkannya termasuk Arsenal atau Real Madrid
Maka, di musim-musim berikutnya, jangan heran kalau kemudian klub-klub Inggris bisa dapat memecahkan rekor transfer dengan tetap menjadi magnet dari berbagai pemain di belahan dunia. Atau menjadi selalu yang paling berisik di jendela transfer lainnya.
Mereka, tim-tim Inggris itu, tak segan mengeluarkan uang berapapun demi membeli pemain untuk menjaga ambisi dan gengsinya. Sikap konsumerisme klub-klub Inggris sepertinya akan berlangsung sangat panjang selama mereka tetap menjadi liga terpopuler di dunia, walau jelas bukan yang terbaik. Klub Inggris, seperti judul lagu Efek Rumah Kaca, sepertinya akan terus belanja sampai mati.
Author: Arif Utama (@utamaarif)