Kolom

Pertempuran Luar Dalam Tim Nasional Kosovo

Misalnya begini: Anda menyaksikan pertandingan bulutangkis antara Amerika Serikat melawan Denmark. Sebagai warga Indonesia, Anda tidak memiliki kepentingan apa-apa pada pertandingan ini. Anggaplah laju Indonesia sudah tertahan oleh tim Cina.

Anda menyaksikan pertandingan tersebut karena terdapat nama Joko, Susi, Cecep, namun mengenakan seragam Amerika Serikat. Para pemain tersebut bereksodus ke Negeri Paman Sam karena adanya perang antar-etnis yang melanda Indonesia lima tahun sebelumnya.

Ini bukan menakut-nakuti, tetapi pengandaian ini bisa saja terjadi jika perang yang mengerikan tersebut berkecamuk. Setidaknya bagi orang-orang Kosovo, penggambaran di atas adalah realita. Mereka menyaksikan banyak nama beken di dunia sepak bola, yang sejatinya bisa membela tim nasional mereka, namun berseragam Swis atau Albania.

Gelandang serang Stoke City, Xherdan Shaqiri, gelandang tengah Arsenal, Granit Xhaka, atau eks wonderkid, Adnan Januzaj, membela kesebelasan Swiss dan Belgia bukan karena mereka berbangsa asli kedua negara tersebut. Tetapi karena negara tersebut memberikan suaka bagi mereka atau orang tua mereka. Sebagai negeri yang dilanda perang saudara, banyak warga Kosovo yang terlempar jauh dari negerinya. Bukan sebuah keputusan mudah: taruhannya nyawa! Lagipula, senyaman apapun negeri seberang, tentu lebih nyaman rumah sendiri. Rumput tetangga tidak selalu lebih hijau.

Kosovo memerdekakan diri cari cengkeraman Serbia sejak Februai 2008. Baru tahun lalu statusnya diakui FIFA dan UEFA, sehingga diizinkan untuk mengikuti babak kualifikasi Piala Dunia 2018. Sebagaimana halnya kesebelasan FLN XI (Aljazair), kesebelasan “The Forbiddens” Tibet, serta Rohingya FC, sepak bola turut menjadi alat perjuangan untuk menyatakan eksistensi suatu bangsa.

Yang perlu Anda ingat, bangsa berbeda dengan negara. Di sini letak permasalahannya.

Sebagai suatu kawasan yang pecah oleh persaingan dan prasangka antar-etnis, Balkan selepas Yugoslavia runtuh dirundung berbagai konflik yang dipertajam oleh kebanggaan akan identitas kebangsaan di masing-masing wilayah. Terdapat dua etnis dominan, yaitu Serb dan Albania.

***

Dalam bab pertama bukunya yang masyhur itu, Franklin Foer (2006) menguliti bagaimana di Serbia sepak bola dimanfaatkan elite untuk memecah belah dan bahkan membantai etnis lain. Slobodan Milosevic adalah nama pertama yang terlintas. Tetapi pemimpin yang berlumuran darah ini memiliki tangan kanan bernama Zeljko Raznatovic alias Arkan dalam membantai kaum muslim etnis Albania di Serbia. Tebak siapa gerombolan yang direkrut Arkan? Ultras Delije, pendukung garis keras Red Star Beograd.

Kosovo adalah menjadi titik didih perang karena wilayah ini menjadi basis lokasi para milisi separatis Albania. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan ambisi Milosevic yang ingin mendirikan Serbia Raya. Sama seperti negara-negara Uni Soviet selepas era glasnost dan perestroika, bangsa-bangsa dalam cakupan Yugoslavia merasa berhak untuk mendirikan negara merdeka.

Albania sebagai negara telah merdeka sebelum Perang Dunia I. Sementara Kosovo adalah wilayah yang diapit Albania dan Serbia.

Perang Kosovo akhirnya pecah pada 1998 sampai 1999, yang menurut laporan Palang Merah Internasional, menewaskan 3.368 warga sipil. Mayoritas korban jiwa adalah orang-orang Albania. Membutuhkan intervensi dari NATO sampai akhirnya perang ini mereda.

Nah, jika sudah ada negara merdeka yang mewakili etnis atau bangsa mereka (Albania), mengapa orang-orang di Kosovo berkehendak untuk memerdekakan diri? Bukankah secara identitas kebangsaan mereka telah diakomodasi Albania?

Jawabannya ada pada bagaimana sikap Serbia nantinya, yang tentu diikuti pula oleh sekutu besar mereka, Rusia. 111 anggota PBB menyetujui kemerdekaan Kosovo, tetapi Serbia menolaknya. Sampai detik ini mereka masih menganggap Kosovo sebagai wilayah otonomi khusus yang berada di kekuasaan mereka. Jika bergabung dengan Albania, maka akan rentan mengorek luka lama atau bahkan kembali mengobarkan api perang.

Selain itu, ada pula indikasi bahwa negeri kecil ini dikuasai para mafia dan elite-elite lokal, yang tidak berkenan menyerahkan wilayahnya ke kedua pihak, baik Serbia maupun Albania.

Kembali ke sepak bola, Kosovo resmi menjadi anggota FIFA dan UEFA pada bulan Mei 2016. Baru satu tahun saja usia mereka, tetapi bakat-bakat Kosovo telah menyebar dan merias blantika sepak bola Eropa. Laga pertama yang mereka jalankan setelah menjadi anggota adalah melawan Kepulauan Faroe, yang berakhir dengan skor 2-0 untuk Kosovo. Penyerang klub 2.Bundesliga, FC Erzgebirge Aue, Albert Bunjaku, mencatatkan diri sebagai pencetak gol perdana timnas Kosovo.

Pemain depan berusia 33 tahun tersebut sebelumnya membela timnas Swis, sama seperti Xhaka atau Shaqiri. Ia sempat tampil di Piala Dunia 2010 selama 13 menit di pertandingan kontra Chile. Tidak seperti dirinya, Xhaka atau Shaqiri tentu mengalami konflik batin, tidak bisa serta-merta berpindah kewarganegaraan.

Mereka adalah anak-anak korban perang, yang tidak mengenal kampung halaman mereka. Lahir atau besar di negara baru, mereka bersusah payah untuk beradaptasi, sambil melupakan tragedi yang terjadi di negerinya. Mereka terlanjur merasa berakar dengan negara baru, menjadi pemain sepak bola jempolan.

Kesaksian pedih datang dari pelatih mereka, Albert Bunjaki. Dikutip dari tulisan panjang James Montague di Bleacherreport (4/10/2016), pria berusia 45 tahun itu minggat dari Kosovo karena pemerintah Yugoslavia mewajibkannya untuk turun berperang. Saat itu usianya baru 20 tahun. Swedia menjadi negara yang menyediakan suaka baginya.

“Jika saya menghitung seluruh [korban tewas] keluarga saya, jumlahnya 36 yang terbunuh. Setiap orang memiliki kenalan yang tewas di perang tersebut.”

Semangat untuk bangkit, mungkin itu yang tertanam di jiwa Bunjaki. Ia melatih timnas sejak 2009, jauh sebelum status mereka diakui FIFA atau UEFA. Bersama Kosovo, ia kini berada di grup I babak kualifikasi Piala Dunia 2018 dan berada di posisi buncit dengan poin 1.

***

Perjuangan semakin berat karena mereka tak mendapat dukungan dari warga negaranya sendiri. Atau setidaknya belum, untuk saat ini. Orang-orang Kosovo lebih memilih mendukung timnas Albania, karena di negara itulah identitas mereka mengakar.

Mereka lebih bersimpati pada ide persatuan etnis Albania, dengan bendera elang hitamnya, yang mayoritas menghuni Makedonia, Kosovo, bagian selatan Serbia serta Montenegro.

Ketika Kosovo menjalani laga perdana babak kualifikasi Piala Dunia 2018 kontra Finlandia, di Lapangan Bunda Theresa (terletak di kota Pristina) tersedia dua layar raksasa yang menyiarkan dua pertandingan sepak bola. Selain Finlandia kontra Kosovo, layar yang lain menyiarkan laga Albania melawan Makedonia.

Kosovo sangat tidak mungkin untuk bisa lolos ke gelaran Piala Dunia tahun depan. Tetapi ini adalah langkah awal untuk membangun fondasi. Barangkali sepak bola bisa membuat mereka bangkit (saat ini mereka bisa bertahan karena bantuan asing). Bukankah bakat-bakat Kosovo telah menyebar seantero Eropa?

Sepak bola memang alat ampuh untuk menggaungkan identitas etnis maupun nasionalisme. Sampai kini, masih banyak orang Indonesia yang menganggap Timor Leste “lepas” dari wilayah negara. Padahal sejatinya mereka memerdekakan diri dan Indonesia mengikuti polah Belanda, menjadi penjajah dan penjahat di negara tersebut.

Dengan keberadaan tim-tim seperti Kosovo, Tibet, atau Timor Leste, tentu yang kita harapkan bukanlah terawatnya dendam dari masa silam, tetapi bagaimana sportivitas sepak bola bisa bertuah, menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com