Kolom

Melacak Cinta di Dinding Hati Diego Costa

“Antonio Conte ingin aku pergi, maka aku akan pergi. Aku tak tahu alasannya. Aku harus mencari tim baru sekarang,” ungkap Diego Costa kepada goal.com.

Lewat sebuah pesan singkat, Conte ingin agar Diego segera pergi, mencari klub baru. Manajer asal Italia tersebut tak memasukkan Diego dalam rencana Chelsea musim depan. Diminta untuk pergi saja sudah menyakitkan, apalagi “diminta secara halus” lewat pesan pendek.

Segera setelah kabar tersebut tersiar, berbagai spekulasi masa depan Diego mengemuka. Agen si pemain, Jorge Mendes, bekerja cekatan. Agen super dari Portugal tersebut sudah bertemu dengan perwakilan AC Milan untuk membicarakan kemungkinan transfer. Nilai transfer sekitar 40 juta paun menjadi bahan pembicaraan.

Namun, potensi transfer tersebut agaknya sedikit sulit terwujud. Pertama, permintaan gaji Diego jauh di atas kesanggupan Il Diavolo Rosso. Penyerang Spanyol berdarah Brasil tersebut meminta setidaknya 200 ribu paun per pekan. Jauh di atas kemampuan Milan. Kedua, jika melihat sikap Diego, cinta sejatinya ada di Spanyol, tepatnya, untuk Atletico Madrid.

Baca juga: Siapa Mau Diego Costa?

Jika memilih Atletico, Diego akan menghadapi masalah. Ia tak bisa bermain selama enam bulan, tepatnya hingga Januari mendatang. Alasannya, Atletico tak bisa melakukan pembelian pemain baru setelah kalah di dalam banding perihal larangan transfer.

Diego sempat mengungkapkan bahwa dirinya cukup resah dengan situasi tersebut. Musim depan, Diego harus bermain sebanyak mungkin demi mengamankan peluang masuk ke timnas Spanyol untuk Piala Dunia 2018. Tak bermain selama enam bulan tentu tak baik di mata Julen Lopetegui, pelatih timnas Spanyol.

Namun, meski sempat resah dengan situasi tersebut, Diego tetap berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Atletico yang akan menjadi pelabuhannya. Seperti diungkapkan Marca, pemain sangar tersebut siap mengambil risiko tidak bermain selama enam bulan demi bereuni dengan Diego Simeone dan Atletico.

Dari mana cinta tersebut berasal? Dari mana tekad teguh untuk mengambil risiko? Apakah pemain seperti Diego Costa, dengan ciri kasar, punya hati sehangat itu?

Matahari terbit setelah badai pergi

Untuk memahami cara berpikir Diego Costa, kita mungkin perlu mengintip masa lalunya di Brasil. Ia lahir di Lagarto, Sergipe, daerah yang cukup “terpencil” di Brasil, tempat koloni orang-orang berdarah Spanyol. Di tempat dengan 100 ribu populasi dan jalanan yang sebagian besar belum beraspal, Diego Costa mulai mengenal sepak bola. Ewan McKenna, contributor The New York Times dan Bleacherreport sempat menemui keluarga Diego di Brasil.

Diego berasal dari keluarga sederhana. Ibunya adalah sosok ibu rumah tangga dengan tingkat kecemasan yang cukup tinggi, sedangkan bapaknya adalah petani ketela dan tembakau. Dari ibunya, Ewan McKenna menceritakan bahwa Diego yang sebenarnya, bukan “Diego si Monster” yang kerap digambarkan media-media Eropa.

“Dia anak yang penyayang. Ia biasanya mudah emosi hanya saat ada di lapangan. Di luar lapangan, Diego anak yang baik dan mudah berteman dengan siapa saja. Emosi tingginya tak pernah berlangsung lama. Jika kamu membuatnya kesal, dia akan langsung menunjukkannya kepadamu. Lima menit kemudian, ia sudah lupa. Begitulah dia. Seperti badai. Meledak, lalu dengan cepat emosinya mereda, seperti matahari terbit setelah badai,” ungkap Josileide, ibu Diego Costa.

Bagi orang yang mengenalnya secara lebih intim, Diego adalah sosok yang sederhana. Ketika mulai dikenal dunia, sikap Diego kepada kawan-kawannya tak berubah. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk, mengobrol, dan main kartu dengan kawan-kawan masa kecilnya. Diego tak pernah terlihat seperti orang kaya “pada umumnya” di Brasil.

Hampir seperti orang Amerika Latin pada umumnya, mereka akan sangat terikat dengan keluarga. Bahkan, ketika orang atau instansi tersebut bukan keluarga dari pertalian darah. Sekali sebuah hubungan yang hangat terbangun, selamanya, hubungan itu akan terus ada di dalam setiap hati orang Amerika Latin.

Dan Diego, ia adalah sosok Amerika Latin yang tulen. Meski ia kini membela Spanyol, darah Brasil tetap mengalir deras. Ia sosok yang mudah tersentuh, meski tak memperlihatkannya.

Kehangatan hati itu ia tunjukkan sebelum Piala Dunia 2014. Dalam sebuah wawancara, Diego mengungkapkan bahwa yang paling berjasa bagi karier dan hidupnya adalah Tuhan dan Flavio Augusto. Betul, setelah Tuhan, Diego menegaskan bahwa yang berjasa bukan kedua orang tuanya, tetapi Flavio.

Flavio adalah pelatih pertama bagi Diego ketika kali pertama bermain sepak bola secara serius. Dan jasa Flavio bukan hanya memberi ilmu soal sepak bola, namun memperjuangkan kehidupan Diego secara sebenar-benarnya.

Pada tahun 1984, Flavio resah dengan masa depan anak-anak muda di Lagarto. Tidak banyak pekerjaan yang tersedia pada waktu itu. Setelah merenung, Flavio sampai di sebuah kesimpulan bahwa yang bisa menyelamatkan anak-anak muda di daerahnya adalah agama kedua di Brasil, yaitu sepak bola.

Flavio memulai dari nol. Ia meminjam sebuah lapangan, membersihkannya dari pepohonan dan beberapa gubuk yang tak terurus. Di atas tanah pinjaman, sebuah sekolah sepak bola berdiri. Dari lapangan yang tidak rata dan penuh lumpur tersebut, Flavio mengenalkan sepak bola kepada Diego.

Diego tak pernah melupakan jasa Flavio. Penyerang berusia 28 tahun tersebut menghadiahkan seragam Atletico Madrid kepada Flavio dengan tanda tangan dan sebuah pesan yang ditulis di bagian pundak: “Untuk pelatihku, Flavinho. Sebuah pelukan dari muridmu. Diego.”

Flavio menceritakan seragam tersebut sambil menangis bahagia. “Ketika Anda berasal dari daerah miskin seperti ini, Anda harus berjuang keras untuk meraih impian. Jika tidak berjuang, Anda tak akan punya apa-apa. Sekolah sepak bola ini buktinya. Begitu juga dengan Diego,” kenang Flavio.

Meski tak kerasan, gairah untuk berjuang itu juga yang membuat Diego bertahan di Inggris. Menjelang musim keduanya bersama Chelsea, Diego mengungkapkan kepada ibunya bahwa ia akan menghormati kontraknya dan akan bekerja secara profesional. Ia memahami bahwa mendapatkan pekerjaan adalah berkah dari Tuhan. Diego selalu melihat masa lalunya, di mana ia hidup di tengah daerah miskin. Jiwanya untuk bertarung sudah terpatri.

Meski terlihat keras di luar, hati Diego selembut hati malaikat. Diego hampir selalu memberikan donasi kepada anak-anak di kampung halamannya.

“Ia seperti kuda liar. Tapi di balik kebrutalannya di sepak bola, ia orang yang sangat baik. Ia menunjukkannya lewat perbuatan nyata. Di sini, masih banyak keluarga yang tak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan. Setiap bulan, Diego menyumbang makanan dalam jumlah banyak, yang dimasukkan ke dalam wadah yang besar. Anak-anak yang bermain di sekolah sepak bola ini akan membawa pulang wadah berisi makanan tersebut. Sisi baik dari Diego ini tidak akan pernah Anda dengar di media,” kenang Flavio.

Diego juga membantu Flavio mengembangkan sekolah sepak bolanya. Salah satunya melalui kerja sama dengan beberapa universitas. Tujuannya, untuk memberikan pendidikan yang lebih baik kepada anak-anak di kampungnya. Pendidikan yang lebih baik diharapkan semakin berkembang seiring dengan perbaikan kehidupan di daerahnya.

Tak hanya itu, Diego memasukkan klausul tersendiri di dalam kontraknya ketika ia hijrah ke Chelsea dari Atletico. Lewat klausul tersebut, Lagarto FC berhak menerima 350 ribu dolar. Sebuah nilai yang besar apabila dikonversikan ke mata uang Brasil.

***

Kita semua akan dengan mudah mengalamatkan sumpah serapah kepada Diego Costa ketika ia bermain. Lewat framing media, kita akan mendapati sosok Diego yang brutal. Namun di balik salah paham tersebut, ada sosok Diego yang berhati penuh kasih, selalu mengingat kebaikan orang dan memaknai balas budi begitu dalam.

Setelah bergabung bersama Chelsea pun, Diego masih sempat bertemu dengan Diego Simeone. Bahkan untuk sekadar makan malam dan bertukar kabar. Foto makan malam antara Diego dan Simeone yang beredar konon membuat Antonio Conte tidak nyaman. Tapi itulah Diego, kebaikan Simeone sudah ia tanam dalam-dalam di dinding hatinya.

Simeone pula yang mematenkan posisi Diego di dalam skuat juara Atletico. Ketika Simeone dan Atletico memberi rasa nyaman dan kebaikan, mereka sudah menjadi keluarga bagi Diego Costa. Dan bukankah “rumah” akan selalu menjadi tujuan ketika lelah semakin akrab?

Jika pada akhirnya nanti Diego memang memilih tidak bermain selama enam bulan demi kembali ke Atletico, itulah wujud cinta dan sisi lembut Diego Costa.

Jika pada akhirnya ia memilih klub lain demi bermain secara rutin dan mengamankan satu posisi di timnas Spanyol, maka itulah wujud jiwa kompetitif yang ditempa oleh kehidupan serba berkekurangan di masa kecil Diego.

Pada akhirnya adalah, jangan memaki, ketika kita tak tahu pasti.

Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen