Nasional Bola

Pesan Persatuan dari Serdadu Tridatu

Hanya beberapa hari sebelum memasuki Ramadan, Jakarta dilanda teror bom yang terjadi di Kampung Melayu pada Rabu, 24 Mei 2017. Perbuatan pengecut yang menargetkan anggota kepolisian itu menegaskan bahwa perdebatan soal agama bisa menjurus ke tragedi kemanusiaan. Sudah dalam dua tahun terakhir Jakarta terbelah oleh politik identitas

Bali pernah terpuruk dan yang mereka alami lebih mengenaskan ketimbang yang terjadi di Kampung Melayu. Pulau Dewata pernah dihantam bom bunuh diri sebanyak dua kali, pada 2002 dan 2005. Tercatat 225 nyawa melayang dan ratusan lainnya luka-luka.

Praktis, ekonomi Bali tersungkur. Aksi-aksi bom bunuh diri tersebut menargetkan turis asing sebagai korban. Banyak negara memberikan larangan berkunjung, padahal ekonomi Pulau Bali begitu bersandar pada pariwisata.

Satu dasawarsa setelah Bom Bali II, sebuah klub berdiri di Bali dengan nama Bali United. Hanya dua tahun sejak kemunculannya di kancah sepak bola, Serdadu Tridatu tampil dengan kekompakan suporter, solidnya manajemen, serta permainan trengginas dari skuat belia.

Bermodalkan tiga hal tersebut, Bali United menjalankan kiprahnya dengan cukup baik. Mereka sanggup mencapai babak perempat-final Piala Presiden 2015. Setahun berselang, mereka menduduki peringkat keempat di turnamen Piala Bhayangkara.

Sempat loyo di awal GT Liga 1 2017/2018, Bali United membuktikan diri dan kini tengah bertengger di posisi ke-4 klasemen sementara. Di empat pertandingan terakhir, mereka tidak pernah kalah dan hanya kebobolan sebiji gol.

Di pertandingan melawan Perseru Serui, anak-anak asuhan Widodo Cahyono Putro tidak hanya dibicarakan hanya karena kemenangan 3-1 yang mereka raih. Bali United menjadi perhatian khalayak bola berkat selebrasi yang dilakukan tiga pemainnya.

A.A. Ngurah Wahyu, Yabes Roni, serta Miftahul Hamdi melakukan selebrasi, bersyukur kepada Tuhan mereka masing-masing. Wahyu yang Hindu, Yabes yang Kristen, dan Hamdi yang Muslim, tidak hanya menyampaikan pesan simpatik kepada Semeton Dewata yang hadir di stadion, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.

Inilah yang beberapa waktu lalu saya sebut sebagai kekuatan sepak bola di ruang publik. Selebrasi yang dilakukan ketiga pemain Bali United, berkat popularitas sepak bola, akan lebih efektif menghunjam kesadaran ketimbang khotbah-khotbah para politisi atau pemuka agama.

Jika kita bisa menerima perbedaan di atas lapangan hijau, bersukacita atas gol yang diciptakan, misalnya, oleh pemain beragama Kristen, mengapa hal itu tidak terjadi di kehidupan nyata? Sebagian besar dari kita beragama A karena orang tua kita mengimani agama A. Ini menjadi hal yang hampir tidak bisa kita pilih. Salat yang Anda kerjakan, Rosario yang Anda genggam, atau sesaji yang Anda sembahkan di pura, bukanlah alasan untuk merasa jemawa kepada mereka yang berlainan iman.

Lebih-lebih yang terkait dengan warna kulit atau etnisitas. Memangnya Tuhan mengizinkan Anda untuk memilih menjadi manusia seperti apa ketika lahir ke dunia? Tentu tidak. Tiba-tiba Anda hadir, dengan warna kulit atau jenis kelamin yang tidak bisa Anda rundingkan dengan Sang Pencipta.

Para pendukung Persib Bandung pernah memuja Nova Irianto, dan kini mengelu-elukan nama Kim Jeffry Kurniawan. Begitu pun dengan The Jak yang mengidolai Sutanto Tan. Kita tak memedulikan warna kulit mereka ketika mereka membela panji kesebelasan yang kita puja. Mengapa hal tersebut tidak bisa kita perbuat di kehidupan nyata?

Sebelumnya, selebrasi seperti ini juga mereka lakukan pada 14 Mei 2017, kala mereka menaklukkan Borneo FC dengan skor 3-0. Pun demikian dengan masyarakat Bali secara menyeluruh. Lewat gerakan “Bali Tolak Reklamasi”, terbukti kita bisa berjalan beriringan dalam melawan ketidakadilan.

Memang, ada unsur kesamaan suku dan agama dalam gerakan tersebut, sehingga bisa menjadi suatu resistensi yang bergemuruh. Namun jika terus menyalahkan keberagaman masyarakat (seperti di Jakarta) maka penindasan akan terus terjadi. Kita baru menyesal ketika tanah kita dirampok, hak-hak kita sebagai warga negara dirampas.

Percayalah, segala kekacauan yang terjadi adalah berkat konflik ekonomi-politik. Agama atau identitas rasial hanyalah pernak-pernik yang sayangnya menjadi perhatian utama.

Sepak bola bisa menang melawan teror. Menyimak apa yang dilakukan Irfan Bachdim dan kawan-kawan, tiada kata yang patut diucap selain: Terima kasih atas inspirasinya!

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com