Manchester, Marawi, lalu Jakarta, dunia dilanda teror yang dilakukan aktor-aktor berpikiran sempit. Di Jakarta, pelaku meledakkan bom di salah satu titik keramaian yang menjadi penghubung berbagai transportasi publik, Kampung Melayu.
Jumat (26/5), atau dua hari selepas peristiwa nahas itu terjadi, ISIS merilis pernyataan bahwa mereka yang ada di balik aksi teror yang sejauh ini telah menewaskan tiga orang anggota polisi, dua pelaku, serta 11 yang lain mengalami luka-luka.
Perbuatan terkutuk ini semakin ironis karena umat Islam sedang dalam suasana menyambut bulan suci Ramadan. Siapapun pelakunya, mengatasnamakan agama apapun, terorisme adalah perbuatan pengecut.
Manchester sejak dulu terbagi dua, biru dan merah. Namun usai bom bunuh diri yang meledak di konser Ariana Grande pada Senin, 22 Mei 2017, dikotomi warna tersebut tak berlaku. Perbedaan dan rivalitas antarsuporter melebur menjadi satu: warna perdamaian dan simpati terhadap kemanusiaan.
Sehari sebelum final Liga Europa yang mempertemukan Manchester United melawan Ajax Amsterdam, akun Twitter Manchester City mengunggah sebuah gambar yang mencerminkan semangat dan solidaritas di tengah luka:
— Manchester City (@ManCity) May 24, 2017
United unggul atas Ajax dengan skor 2-0, sehingga mereka kembali merengkuh trofi Eropa setelah sembilan tahun lamanya. United, ditilik dari segi apapun, bisa bertepuk dada karena mengungguli rival sengitnya. Mungkin, selain tragedi München, inilah saat di mana suporter City mengenyahkan segala kesumat. Ada yang lebih penting ketimbang adu bal-balan di atas lapangan.
Dikutip dari Telegraph (25/5), gelandang United, Ander Herrera, mengatakan, “Saya ingin mendedikasikan kemenangan ini untuk para korban. Ini cuma sepak bola namun yang terjadi di hari Minggu adalah hal yang keji. Kami mendamba perdamaian dunia.
“Ini terjadi di Manchester tapi di manapun kita mesti bersatu untuk memperjuangkan perdamaian dan menyetop serangan-serangan [seperti ini],” kata Herrera, pemain yang di pertandingan tersebut menjadi man of the match.
Serangan yang dilakukan Salman Abedi ini menewaskan 22 nyawa dan 64 lainnya luka-luka. Ini merupakan aksi terorisme terganas sepanjang sejarah Inggris.
Kedua klub, City dan United, kompak mendonasikan sejumlah 1 juta paun kepada para korban. Dana tersebut mereka salurkan ke sebuah lembaga bernama We Love Manchester Emergency Fund.
Ajaran agama, di tengah-tengah modernisasi, tetap mampu menjadi sandaran bagi manusia dalam menjalankan hidup. Di sepak bola sendiri kita mengenal sosok seperti Kaka yang identik dengan kereligiusannya. Meminjam istilah dari Peter Berger, agama akan selalu menjadi langit suci (“sacred canopy”) bagi manusia.
Sayang, potensi tersebut kerap disalahgunakan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, sehingga agama menjadi sekadar dogma. Orang-orang pun menjadikan agama sebagai pelarian dari hidup, bukan justru untuk menghadapi hidup.
Agama sepak bola
Masyarakat dunia berkabung. Warga Manchester menjadi waspada. Bisakah sepak bola menang melawan teror? Karena berapapun uang yang digelontorkan kedua klub, nyawa yang mati tetaplah mati. Trauma yang ada akan tetap menganga. Peristiwa ini jika tidak dikelola dengan baik juga akan melestarikan prasangka terhadap Islam beserta penganutnya.
Betapa benar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa sepak bola telah menjelma seperti agama. Kita menyisihkan waktu tiap pekan di stadion ataupun depan layar televisi, sehingga menjadi sebuah ritual. Stadion telah menjadi seperti gereja atau masjid, di mana umatnya (suporter bola) melantunkan kidung-kidung nan kudus dalam wujud nyanyian klub pujaan.
Kita bahkan berdoa pada Tuhan, entah Allah entah Yesus, entah siapapun nama Tuhanmu, agar tendangan Cristiano Ronaldo tidak meleset. Saat klub pujaan merah kejayaan, kita pun bersyukur kepada Tuhan. Padahal saat agama-agama Samawi lahir belum ada permainan bernama sepak bola.
Sepak bola lantas berkelindan dengan mentalitas kita. Kita mengasosiasikan diri sebagai Madridista, Gooner, atau apapun, lalu merasa terikat dengan pendukung tim yang sama. Kedua orang suporter yang baru berkenalan bisa terlihat seperti sepasang karib, hanya karena mendukung tim yang sama.
Kita pun akhirnya merasakan suatu ikatan kuat. Di kalangan pencinta Arsenal, untuk menyebut contoh, ada sebuah kalimat yang berbunyi, “If you’re a Gooner, you’re my brother.”
Saya pernah membaca sebuah anggapan yang mengatakan bahwa di lapangan sepak bola juga terjadi perjuangan yang lain. Bukan hanya adu skill dan kecermatan taktik, ada sebuah pengupayaan terhadap sistem-sistem nilai dan norma-norma budaya. (Terkait hal tersebut, kebetulan saya pernah menulisnya di sini.)
Sepak bola adalah wahana yang bisa menjadi pemersatu banyak orang dari berbagai latar belakang. Tapi kita tak boleh lupa, ada orang-orang seperti Slobodan Milosevic atau Benito Mussolini yang memanfaatkan kekuatan sepak bola untuk menyebar teror.
Bangkit dengan semangat Ramadan
Tak bisa kita mungkiri, peristiwa Kampung Melayu akan semakin mengentalkan lagi polarisasi yang sejak Pemilu 2014 telah begitu membelah kita.
Selepas bom meledak, tak sedikit orang-orang di sekitar kita yang main tuding atau menyalahkan keyakinan seseorang. Ada pula yang dengan enteng menyebut peristiwa tersebut sebagai upaya pengalihan isu yang didalangi rezim penguasa.
Mereka seperti lupa, ada banyak keluarga yang merasakan perih karena kehilangan anggota tercinta. Ada banyak orang yang kebetulan berada di lokasi saat kejadian, sehingga mengalami trauma. Ini seharusnya menjadi titik tolak bagi kita untuk saling menguatkan.
Beberapa waktu lalu saya pernah dijadikan narasumber untuk tesis seorang kawan. Ia bertanya, nasionalisme macam apa yang dirasakan para pencinta tim nasional Indonesia. Saya dengan tegas menjawab hal itu sebagai nasionalisme semu. Di balik semangat pluralitas skuat yang didengungkan tokoh-tokoh negara, kemenangan timnas membuat kita lupa terhadap kesewenang-wenangan yang terjadi terhadap berbagai kaum minoritas. Kemenangan timnas membuat rakyat tenggelam dalam euforia sehingga menganggap negara ini dalam keadaan baik-baik saja.
Sikap pribadi tersebut harus sedikit saya ralat. Semangat sepak bola, selain meritokrasi, adalah sportifitas dan solidaritas. Tim dan suporter yang kalah harus menghormati pihak yang menang, begitu pula sebaliknya.
Menjadi pencinta sepak bola mengingatkan kita akan laku kaum Stoik di Yunani dulu: kerjakan semampumu, urusan hasil akhir, relakan saja. Anda tidak bisa mengubah sesuatu yang berada di luar kuasa Anda.
Anda mungkin merasa tim Anda sudah hebat, pelatih yang baru klub Anda rekrut memiliki reputasi brilian (seperti City dengan Pep Guardiola), tetapi Anda juga harus paham bahwa kemenangan bergantung pada banyak hal. Nilai filosofisnya: kehendak intrinsik memang kita yang punya, tetapi kehendak tersebut juga dimiliki lawan Anda.
Ini semestinya membuat kita sadar bahwa di dunia kita tak hidup sendiri. Di atas lapangan hijau, para pemain saling tekel atau bahkan adu jotos. Di dunia sehari-hari, kita juga seperti mereka, meski dalam kadar dan skala yang berbeda. Di atas lapangan ada wasit yang menjadi pengadil. Di luar lapangan, akal sehat (common sense) akan menyelaraskan semangat berkehidupan yang peduli dengan kemaslahatan bersama atau common good.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya muslim, Ramadan adalah bulan yang lekat dengan semangat mengalahkan hawa nafsu. Semoga semangat sepak bola dan Ramadan membuat kita bangkit dari peristiwa keji kemarin hari.
Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com