Eropa Italia

Kasus Gabigol dan Bobroknya Manajemen Inter Milan

Senin dinihari (22/5), Interisti beroleh kabar gembira seusai klub kesayangan mereka, Internazionale Milano, memenangi laga atas Lazio dengan skor 3-1 dalam lanjutan Liga Italia Serie A pekan ke-37. Catatan positif tersebut mengakhiri periode kelam tanpa kemenangan Inter di delapan laga sebelumnya.

Celakanya, raihan angka penuh itu sama sekali tak menolong La Beneamata menggenggam satu tiket tersisa ke ajang Liga Europa. Pasalnya, jatah itu melayang ke sang rival sekota, AC Milan, yang di tempat lain berhasil menggebuk Bologna dengan kedudukan akhir 3-0. Hanya tampil di kompetisi domestik pada musim 2017/2018 mendatang adalah kenyataan yang harus diterima Inter dan pendukung fanatiknya.

Tak sampai di situ, masalah lain kembali muncul di tubuh klub yang berdiri pada 9 Maret 1908 ini. Adalah gestur dari Gabriel Barbosa atau akrab disapa Gabigol yang membuat sejumlah pihak bertanya-tanya. Pemain muda asal Brasil tersebut tertangkap kamera ngambek dan memilih untuk meninggalkan lapangan akibat tak dimasukkan sebagai pemain pengganti oleh caretaker, Stefano Vecchi.

https://www.youtube.com/watch?v=d9OulhmSYi0

Hal tersebut seakan jadi kulminasi dari kekecewaan figur yang disebut-sebut sebagai bocah ajaib ini lantaran mendapat kesempatan yang amat minim untuk merumput. Padahal, di musim panas kemarin, Inter menebusnya dari Santos dengan harga mahal, 30 juta euro. Berdasarkan data yang dihimpun dari Transfermarkt, di musim ini Gabigol cuma bermain selama 183 menit dari 10 pertandingan di Serie A dan Piala Italia.

Menanggapi peristiwa ini, Interisti pun terbelah dua, yakni pro Gabigol dan kontra Gabigol. Jujur saja, saya pribadi juga ada di pihak yang kontra dengan pemuda berusia 20 tahun tersebut.

Sebagai pesepak bola profesional, sikap Gabigol yang meninggalkan bangku cadangan dan ngacir ke ruang ganti merupakan hal yang memalukan. Karena bagaimanapun juga, pelatih adalah sosok tunggal yang berhak menentukan siapa yang akan dimainkannya di sebuah pertandingan, baik sebagai pemain inti maupun pemain cadangan.

Kombinasi rasa kesal dan tak sabar plus ego yang kelewat tinggi pada akhirnya merasuki Gabigol sehingga dirinya melakukan tindakan buruk itu. Uniknya, sejak La Benamata ditangani Frank de Boer (FdB), lalu Stefano Pioli hingga kini diasuh Stefano Vecchi, tak satupun dari sosok juru strategi itu yang antusias dan berminat memainkan Gabigol. Padahal, seperti yang sama-sama kita ketahui bersama, banyak sekali media yang memberitakan jika Gabigol adalah calon bintang masa depan dan sangat bertalenta.

Sikap buruk yang Gabigol pertontonkan di laga melawan Lazio tersebut seolah menjadi justifikasi bahwa dirinya sudah merasa bak seorang megabintang lapangan hijau. Tapi maaf-maaf saja, membandingkan Gabigol dengan Julio Cruz atau Mohammed Kallon pun saya rasa tak pantas. Dua nama tersebut punya tingkah laku yang jauh lebih baik dari apa yang Gabigol tunjukkan selama ini.

Saya pun teringat diskusi kecil saya dengan Rochmat Setiawan, beberapa waktu lalu, seorang analis taktik yang kini menjadi salah satu staf teknis Indra Sjafri di tim nasional Indonesia U-19. Kala itu saya sempat bertanya tentang hal-hal yang dijadikan dasar seorang pelatih dalam menentukan pemain di sebuah laga.

Tanpa basa-basi, Mas Rochmat, demikian saya biasa memanggilnya, memaparkan jika ada beberapa faktor kunci yang dijadikan pelatih dalam menentukan pemain. Antara lain kebugaran, kebutuhan taktik, dan sikap yang ditunjukkan sang pemain setiap waktu, khususnya saat berlatih.

Dengan berbagai dalih, banyak Interisti yang menanyakan kenapa Gabigol tak kunjung dimainkan Inter, baik di bawah asuhan De Boer, Pioli maupun kini bersama Vecchi. Lewat diskusi ringan itu pula saya mencoba untuk menarik kesimpulan atas situasi yang menimpa Gabigol.

Tiga hal yang disebutkan Mas Rochmat itu memiliki kaitan satu sama lain, ada satu saja yang kurang, maka kecil kemungkinan bagi seorang pemain untuk mendapat kepercayaan pelatih.

Suporter yang hanya mengetahui kabar berita timnya melalui media bisa saja menuding jika De Boer, Pioli atau Vecchi tidak becus dan hanya menyia-nyiakan bakat Gabigol. Setidaknya, Interisti berharap ketiganya berkenan untuk menurunkan Gabigol terlebih dahulu, main bagus atau jelek perkara nanti. Interisti harus ingat, jangan seratus persen yakin dengan apa yang terlihat di kanal berbagi video tentang Gabigol.

Dan seperti yang telah saya simpulkan, ada hal yang tidak kita ketahui dari keseharian Gabigol bersama rekan-rekannya di Appiano Gentile, markas latihan Inter. Apakah dirinya punya kondisi fisik yang ideal? Sesuaikah gaya main dan karakter Gabigol dengan kebutuhan strategi sang pelatih? Dan sudahkah Gabigol menunjukkan sikap dan determinasi terbaiknya di sesi latihan?

Karena bagaimanapun juga, takkan ada pelatih yang membuat analisis dan strategi sembarangan menjelang partai yang dilakoni anak asuhnya. Jika kemudian Interisti menyanggah sembari bertanya kenapa Jonathan Biabiany dimainkan sementara Gabigol tidak. Meskipun secara kualitas, Gabigol tidak kalah dari Biabiany, maka silakan kembali pada tiga hal utama tadi.

Di sisi lain, apa yang terjadi pada Gabigol merupakan episode komikal betapa tidak beresnya manajemen Inter di musim ini. Jujur saja, kalau ada pihak yang patut saya salahkan dan caci maki, maka itu semua akan mengarah kepada Zhang Jindong, Erick Thohir, Steven Zhang, Javier Zanetti, Giovanni Gardini, dan Piero Ausilio.

Bobroknya sistem manajemen yang terjadi di tubuh Inter adalah kontribusi dari ego dan ide-ide bodoh mereka. Sebagai pihak yang memegang kuasa, mereka tidak berjalan di rute yang sama. Masing-masing melangkah di jalan mereka sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi yang diusung.

Baca juga: Halo Inter Milan, Silakan Berbenah atau Bubar Saja!

Interisti wajib bertanya, mengapa di awal musim ini La Beneamata membeli Gabigol dari Santos dengan harga selangit ketika sektor depan masih dijejali oleh Biabiany, Antonio Candreva, Eder Citadin, Mauro Icardi, Stevan Jovetic (kini dipinjamkan ke Sevilla), Rodrigo Palacio, dan Ivan Perisic?

Di tengah surplus sumber daya macam itu, langkah yang dibuat manajemen Inter jelas salah. Apalagi transfer Gabigol dipengaruhi oleh bisikan konsultan bernama Kia Joorabchian yang konon jadi salah satu tangan kanan Suning Group, pemilik saham terbesar Inter asal Cina. Sebab tak ada tujuan pasti mengapa pemuda kelahiran Sao Bernardo do Campo itu ditebus. Ujung-ujungnya cuma jadi penghangat bangku cadangan, bukan?

Alangkah mulianya jika dana sebesar itu digunakan untuk memboyong pemain berposisi fullback yang selama ini dikritik jadi salah satu titik lemah Inter, tapi seperti kita tahu semua, nasi sudah menjadi bubur dan musim Inter sudah kepalang terlambat untuk diselamatkan.

Saya pun menganggap perekrutan Gabigol tak lebih dari ajang pamer manajemen kepada para pesaing bila Inter kini punya dana melimpah. Tragisnya, uang banyak takkan berarti apa-apa tanpa perencanaan yang jelas dan matang. La Benemata di tangan Suning Group tak ubahnya bocah kecil nan tajir, ambisius, ingin ini dan itu tapi lugu. Saking lugunya, bisa dengan mudah dikadali oleh “teman-temannya” seperti Kia yang mengeruk pemasukan tinggi dari proses transfer Gabigol.

Bila tak ada sinyal pembenahan nyata dari manajemen di sepanjang libur kompetisi nanti, ada baiknya Interisti tak bermimpi terlalu muluk melihat klub kesayangannya kembali tangguh. Terus terang saja, penyakit akut yang tengah mendera Inter disebabkan oleh manajemen bobrok mereka!

#ForzaInter

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional