Kolom Eropa

Stevan Jovetic dan Jalan Nasibnya

Menjadi satu dari sebelas pemain utama dalam sebuah kesebelasan sepak bola adalah perkara yang bisa dikatakan cukup rumit. Karena status pemain utama adalah kata lain dari kebutuhan akan figur yang luar biasa, baik skill, sikap hingga peruntungannya.

Anda jangan tertegun begitu membaca kata peruntungan yang saya tuliskan di penghujung paragraf pertama tersebut. Sebab bagaimanapun juga, karier seorang pesepak bola juga kerap ditentukan oleh peruntungan atau nasibnya.

Dibanding skill dan sikap, peruntungan adalah hal yang paling misterius dalam karier seorang pesepak bola. Karena hal ini tak semata-mata ada di tangan sang pemain sendiri, namun juga semesta, waktu dan tentu saja, Tuhan.

Tak percaya dengan ungkapan ini? Silakan diingat-ingat berapa banyak pemain dengan skill yang baik namun tak bisa unjuk gigi akibat kurang akrab dengan nasib baik karena tak dipercaya pelatih, kalah bersaing dengan penggawa lain atau cedera, misalnya.

Nama Sebastian Deisler bisa jadi contoh kecil bagaimana seorang pemain yang punya kualitas sangat baik namun gagal berkongsi dengan peruntungannya sehingga harus pensiun dini akibat bernasib tragis dengan terpaan cedera parah.

Pun begitu dengan sosok James Rodriguez yang selama beberapa bulan terakhir bahkan dikabarkan siap angkat kaki dari stadion Santiago Bernabeu, kandang klub yang dibelanya, Real Madrid. Padahal dirinya tak diganggu oleh cedera sama sekali, namun persaingan ketat dan peruntungan yang kurang baik membuat Zinedine Zidane kerap menyimpannya di bench.

Hal ini juga yang pasti dipahami betul oleh penyerang asal Montenegro, Stevan Jovetic. Kemampuan olah bola dan sikapnya sebagai pribadi yang baik sudah diketahui oleh banyak orang. Namun soal peruntungan, lelaki berusia 27 tahun ini memang harus sering-sering berduel dengan itu di sepanjang karier sepak bolanya. Sosok yang kerap disapa dengan Jojo ini tahu betul resiko yang didapatnya jika peruntungan itu lenyap.

Pada tahun 2008 yang lalu, Jovetic direkrut klub asal Italia, Fiorentina, dengan mahar yang cukup tinggi, 8 juta euro, dari raksasa Serbia, Partizan Belgrade. Walau di momen itu Jojo masih begitu muda, namun manajemen La Viola tak merasa ragu. Mereka menyadari jika sosok belia yang mereka boyong ke Firenze adalah berlian yang siap diasah.

Jovetic pun bersinar terang akibat memperoleh kepercayaan maksimal dari pelatih-pelatih yang menukangi Fiorentina dalam rentang 2008/2009 hingga 2012/2013. Tercatat ada empat nama yang jadi nakhoda La Viola dalam periode tersebut yakni Cesare Prandelli, Sinisa Mihajlovic, Delio Rossi dan Vincenzo Montella.

Namun di musim 2010/2011, Jovetic merasa begitu menderita saat peruntungannya memburuk lantaran dihantam cedera anterior cruciate ligament (ACL) yang parah dan menyebabkan dirinya harus menepi dari lapangan semusim penuh.

Ketika memutuskan hengkang ke Inggris dan memperkuat Manchester City untuk mencicipi tantangan baru, Jovetic pun sudah merasa siap lahir dan batin. Sayangnya, karier kapten tim nasional Montenegro ini justru berjalan stagnan di tanah Britania.

Mirip dengan apa yang dialami James saat ini di kubu Los Galacticos, ketika bermain di The Citizens, Jovetic juga terlibat persaingan amat ketat dengan penyerang-penyerang kelas kakap yang juga dimiliki City seperti Sergio Aguero, Edin Dzeko sampai Wilfred Bony. Dirinya hanya mendapat kesempatan main bila Aguero dan Dzeko berhalangan atau The Citizens hanya berlaga di kompetisi-kompetisi kelas dua macam Piala FA dan Piala Liga.

Seakan belum cukup, peruntungannya juga sering diganggu cedera yang datang tanpa diundang. Alhasil, Jojo pun lebih akrab dengan meja perawatan ketimbang beraksi di atas lapangan. Berkali-kali Jovetic harus menjalani operasi guna mengatasi masalah cedera tersebut.

Situasi macam itu pada akhirnya menyulitkan upaya Jovetic untuk merebut satu tempat di lini serang The Citizens besutan Manuel Pellegrini. Hal tersebut bahkan membuat Jojo seolah-olah hilang dari peredaran.

Jojo sadar bila kondisinya terus menerus seperti itu, kariernya bisa mandek atau bahkan tamat. Maka ketika Internazionale Milano datang dan mengajaknya kembali ke Serie A jelang bergulirnya musim 2015/2016, Jojo langsung mengiyakan.

Penampilan menjanjikan Jojo berseragam La Beneamata bahkan langsung tampak di awal musim Serie A 2015/2016 yang lalu. Di dua partai perdana, Inter berhasil memetik angka penuh setelah membenamkan Atalanta via skor tipis 1-0 dan Carpi dengan skor 2-1. Tiga gol kemenangan Inter kala itu diborong semua oleh Jojo. Interisti pun mulai jatuh hati padanya dan berharap dia terus bisa tampil baik di pekan-pekan berikutnya.

Sayangnya, peruntungan Jojo kembali bermasalah usai Mauro Icardi kembali ke lapangan dan langsung jadi pilihan utama pelatih La Beneamata saat itu, Roberto Mancini. Selain itu dirinya sempat diganggu oleh cedera yang lagi-lagi kembali menghujam.

Bahkan ketika Mancini mencoba untuk mengakomodasi kemampuan dari Icardi dan Jovetic dengan memainkan keduanya secara berbarengan, hasil-hasil yang didapat Inter pun jauh dari memuaskan. Publik bahkan menilai jika keduanya memang tak bisa dimainkan bersama.

Memasuki musim 2016/2017, Inter secara resmi berpisah dengan Mancini dan sosok asal Belanda, Frank De Boer, dipilih menjadi allenatore baru. Sialnya, Jojo tidak masuk dalam rencana pelatih yang akrab dipanggil FdB tersebut. Dirinya bahkan tidak didaftarkan sebagai salah satu penggawa Inter guna bertarung di Liga Europa 2016/2017.

Hasil-hasil buruk yang diperoleh Inter di bawah asuhan FdB memang menghadiahi surat pemecatan bagi sang pelatih. Akan tetapi, peruntungan Jovetic tak jua berubah karena suksesor FdB, Stefano Pioli, juga kurang berkenan memakainya di starting eleven.

Satu-satunya laga dimana Jovetic tampil saat Pioli berdiri di tepi lapangan hanyalah saat berjumpa AC Milan pada November lalu, itupun dengan status pemain pengganti. Setelah itu, dirinya bahkan kerap tak didaftarkan sebagai pemain yang berlaga di laga-laga Inter selanjutnya.

Muramnya karier Jovetic pada akhirnya membuat dirinya memutuskan untuk menanggalkan jersey Inter di bursa transfer musim dingin kemarin. Adalah klub asal Spanyol, Sevilla, yang mengangkutnya dengan status pinjaman dengan opsi pembelian permanen.

Jovetic jelas berharap jika peruntungannya bisa berubah secara drastis, setidaknya dirinya bisa merebut satu tempat inti di tim asuhan Jorge Sampaoli. Walau dirinya pun tahu jika sektor depan Sevilla juga dihuni oleh Wissam Ben Yedder dan Luciano Vietto.

Ajaibnya, harapan itu seolah langsung terkabul. Peruntungannya tampak membaik selama berseragam putih bergaris merah khas Los Nervionenses. Sampaoli mencoba Jojo untuk kali pertama saat tim asuhannya berlaga di Piala Raja Spanyol dan bersua Real Madrid.

Tak main penuh memang, namun Jojo berhasil membuktikan jika dirinya memang punya kemampuan mumpuni. Hanya bermain 45 menit saja Jojo berhasil menyumbangkan satu gol. Sejak saat itu, pelan tapi pasti Jojo seolah mengamankan satu pos di sektor depan Sevilla.

Sejauh ini dirinya sudah bermain sebanyak delapan kali di semua ajang yang diikuti Sevilla. Fantastisnya, kontribusi Jovetic di delapan laga itu sangat-sangat apik dan berperan cukup banyak atas hasil-hasil positif yang didapat klub yang berkandang di stadion Ramon Sanchez Pizjuan ini.

Apakah ini menjadi pertanda jika peruntungan Jovetic semakin membaik?

Los Nervionenses sendiri memegang klausul tebus sebesar 14 juta euro dari Inter. Jika penampilan Jovetic bersama Sevilla hingga penghujung musim ini nanti tetap stabil, bukan tidak mungkin nominal 14 juta euro tersebut bakal ditebus tim pengoleksi empat titel Liga Europa tersebut. Dan itu harga yang sangat murah untuk pemain sekaliber Jovetic.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
 Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional