Belum beranjak jauh
Lantas, bagaimana posisi sepak bola Asia Tenggara di mata dunia? Ironisnya meski punya pengusaha seperti disebutkan di atas, perkembangan si kulit bundar di ASEAN belum beranjak jauh atau tidak merata. Mayoritas orang luar kawasan ini pasti bakal geleng-geleng saat diminta menyebutkan pemain lokal dari salah satu negara, kecuali dia memang suporter penganut anti-mainstream.
Kecuali Indonesia dengan nama Hindia Belanda tahun 1938, belum ada satu pun negara di Asia Tenggara yang mampu lolos Piala Dunia. Di regional Asia, Vietnam sempat tampil jadi juara empat pada dua perhelatan awal. Namun, itu karena pesertanya hanya empat.
Tahun 1968, Myanmar yang kala itu bernama Burma, jadi runner-up di atas Israel dan Tiongkok lewat format round-robin dengan lima kontestan. Berselang empat tahun, tuan rumah Thailand dan nama lama Kamboja, Republik Khmer, sama-sama lolos ke semifinal. Sayangnya, keduanya gagal ke fase puncak pada turnamen yang diikuti enam negara tersebut.
Seiring penambahan jumlah peserta, prestasi negara Asia Tenggara perlahan sunyi senyap. Saat menjadi tuan rumah bersama tahun 2007, Vietnam jadi satu-satunya wakil ASEAN yang lolos dari fase grup Piala Asia meski akhirnya dibungkam Irak.
Bahkan ironisnya dalam dua perhelatan terakhir, tak ada wakil Asia Tenggara yang lolos ke putaran final. Sebelum disanksi FIFA, Indonesia bahkan sempat berada pada titik nadir dengan kalah 10 gol tanpa balas dari Bahrain tahun 2012. Tiga tahun berselang dengan skor serupa, Malaysia dihantam Uni Emirat Arab.
Thailand sempat jadi harapan baru dengan lolos ke fase kedua Pra-Piala Dunia 2018 usai jadi juara grup F mengalahkan Irak. Sayangnya di ronde selanjutnya, The War Elephant masih tak berdaya dan sementara menduduki posisi terakhir tanpa kemenangan sekalipun, meski sempat menahan imbang Australia 2-2 di Bangkok, November tahun lalu. Indonesia sendiri hanya jadi penonton mengingat sanksi yang kala fase pertama dilangsungkan masih belum dicabut.
Segitiga esensial
Apa yang bisa membuat sepak bola Asia Tenggara diingat tidak hanya lewat penguasa klub bukanlah sesuatu yang mudah pun tak terlalu sulit. Terdapat segitiga esensial yang bisa membawa kawasan ini maju dan tak hanya jadi bulan-bulanan negara elite dalam setiap ajang kualifikasi.
Ketiganya adalah sinergi yang dihasilkan dari pemain, liga, dan tim nasional atau representasi negara.
Dahulu, semua berbondong-bondong membawa pemainnya ke Eropa. Namun, adakah yang sukses? Mungkin segelintir, di mana sebagian besarnya adalah gagal. Perbedaan yang cukup besar antara sepak bola Asia Tenggara dan Eropa bukanlah sebuah hal yang bisa dengan mudah diatasi. Kini, paradigma mulai sedikit diubah. Para pemain yang bermimpi tampil di liga benua biru, harus mulai melewati fase yang lebih jauh, yakni liga pada negara maju di Asia.
Witthaya Laohakul, Ricky Yakobi, hingga Le Cong Vinh jadi contoh yang mengalami pencapaian lumayan dengan klub-klub J1 League Jepang. Pada fase ini, pemain dituntut memiliki fisik dan mentalitas yang prima.
Irfan Bachdim contohnya. Ketidakberuntungan menaungi pemain ulet ini saat berkarier bersama Ventforet Kofu dan Consodale Sapporo, sama halnya dengan Stefano Lilipaly, dan Nguyen Cong Phuong. Di K-League Korea, kompatriot Cong Phuong asal Vietnam, Luong Xuan Truong, juga belum sering dipercaya tampil oleh klub sebelumnya, Incheon United, dan membuatnya hijrah ke Gangwon FC.
Contoh di atas tentu jadi pembelajaran bagi Chanatip ‘Jay’ Songkrasin. Bintang muda Thailand itu bakal menjalani peminjaman selama satu setengah musim di Sapporo. Songkrasin punya modal bagus mengingat mulai kompetitifnya Thai League T1.
Liga Thailand bahkan merupakan yang terbaik di Asia Tenggara saat ini. Malaysia Super League lewat kebangkitan tim semisal Johor Darul Ta’zim (JDT) dan Felda United pantang dikesampingkan.
Keberadaan liga yang sehat dan kompetitif memang jadi syarat wajib untuk menghasilkan pemain berkualitas. Bagi para pemain Indonesia yang baru saja kembali merasakan bergulirnya liga, Go-Jek Traveloka Liga 1, atau negara lain seperti Filipina dan Myanmar, ambisi tampil di Thai League T1 merupakan salah satu cara untuk menggapai cita-cita bermain di Eropa, via Jepang atau Korea, atau bahkan Liga Super Cina.
Terakhir, imbas positifnya ada di tim nasional dan representasi negara. Hegemoni Thailand di ASEAN tak lepas dari keseriusan membangun liga yang profesional. Keseriusan juga membuat Myanmar U-19 lolos Piala Dunia U-20 berkat pengembangan usia muda yang terstruktur rapi. Dari Malaysia, JDT sukses jadi juara kompetisi Asia, AFC Cup 2015, setelah menjalani musim yang kompetitif.
Andai bisa diterapkan di masing-masing negara, ingatlah bahwa Asia Tenggara tak hanya jago memasok pengusaha yang siap jadi pemilik klub favorit Anda.
Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho