Dunia Lainnya

7 Orang “Kiri” di Sepak Bola

Sosialisme dan berbagai variannya telah tersimpan dalam arsip sejarah sebagai pihak yang kalah. Sempat menjadi pandu bagi banyak negara untuk menantang imperialisme bangsa Barat, ideologi ini rontok di akhir dekade 1980-an. Robohnya Tembok Berlin dan Peristiwa Lapangan Tiananmen secara simbolis menegaskan hal itu.

Meski begitu, demokrasi neoliberal kian hari kian dirasa begitu berperan dalam menciptakan ketimpangan sosial ekstrem. Warga dunia kini akrab dengan istilah “the one percent” yang ditujukan kepada para elite yang mencengkeram lebih dari separuh kekayaan dunia.

Sebagai ideologi, sosialisme identik dengan istilah “kiri” yang mengacu pada sekelompok orang di parlemen Prancis era revolusi. Sosiolog Amerika Serikat, Erik Olin Wright, mengatakan bahwa meski sosialisme telah sirna dari agenda historis, gagasan untuk menantang logika eksploitatif dari kapitalisme tetaplah ada (2007).

Kondisi terkini ternyata melebihi perkataan Wright lewat kemunculan Podemos di Spanyol, Jeremy Corbyn di Inggris, demam Bernie Sanders di Amerika Serikatk, juga Syriza di Yunani.

Sepak bola adalah olahraga yang erat dengan identitas negara-bangsa. Di Indonesia sendiri, sepak bola pernah menjadi wahana resistensi kultural terhadap pemerintah kolonial. Pun demikian dengan yang terjadi di skala global. Kemarin, 5 Mei, adalah hari lahir Karl Marx. Dia merupakan sosok utama yang mesti ditengok kala membicarakan ideologi kiri.

Meski di Indonesia gagasan-gagasan Marx diajarkan di tingkat universitas (terutama fakultas ilmu sosial dan ilmu politik), tragedi 1965 membuat apa-apa yang berbau kiri dipandang secara ironis. Berikut adalah para pemain atau tokoh kiri yang kebetulan bergelut di dunia sepak bola.

Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre. Kredit: Big Other
  • Jean-Paul Sartre (Prancis)

Sebelum Slavoj Zizek, sepertinya tidak ada filsuf lain yang memiliki popularitas sebesar Sartre. Ia begitu dikenal sebagai filsuf aliran eksistensialisme yang digandrungi di Eropa pada dekade 1960-an. Kekasih Simone de Beauvoir ini selain menulis teks-teks filsafat juga memroduksi karya-karya fiksi.

Meski pernah dikritik keras oleh Edward Said karena kebungkamannya terkait penderitaan rakyat Palestina, Sartre menjadi salah satu tokoh terdepan dalam mengecam penjajahan Prancis di Aljazair. Namanya besar di saat Revolusi 1968 meledak.

Fakta yang tidak banyak orang tahu, Sartre pernah menjadi pelatih sepak bola klub Stade Saint-German. Dalam Sepak Bola Seribu Tafsir (2014), Edward Kennedy menyebut dialah yang pertama kali memelopori taktik false nine lewat formasi 4-4-1-0. Sartre, yang lekat dengan rokok pipa itu, berkata:

“Ketiadaan seorang penyerang biar bagaimana pun sama efektifnya dengan keberadaannya. Ketiadaannya akan menghantui lapangan dan juga lawan tanding. Lagipula, dia tidak akan pernah terjebak offside.”

Bingung, bukan? Meski mengawali karier sebagai Marxis, eksistensialisme banyak dikritik karena mengagung-agungkan individualitas, selain juga begitu condong pada metafisika (padahal dalam karyanya, Sartre menolak metafisika). Hal ini juga tercermin kala Sartre menukangi Stade Saint-German. Ia bersikeras bahwa sepak bola sebaiknya tidak dipandang sebagai usaha kolektif.

Apapun itu, terkait sepak bola Sartre pernah menulis kata-kata yang begitu khidmat:

“Setiap orang dapat merasa sendirian di alam semesta nirmakna, tapi butuh kemampuan hakiki bagi seseorang untuk dapat sendirian di area penalti.”

Previous
Page 1 / 4