Indonesia melaju ke Piala Tiger (kini berubah nama menjadi Piala AFF) 2004 dengan pesimisme tinggi. Selain rekor buruk yang baru saja membayangi sang pelatih, Peter With, karena gagal total di Pra-Piala Dunia 2006 bersama bersama timnas Garuda, mereka juga tergabung di Grup A bersama dua raksasa ASEAN, Singapura dan tuan rumah Vietnam.
Dari susunan pemain yang dibawa, Peter Withe juga membuat kejutan dengan memasukkan beberapa nama baru yang kala itu masih belia seperti Boaz Solossa (18 tahun), Syamsul Bachri (21 tahun), Firman Utina (22 tahun), dan Hamka Hamzah (20 tahun). Boaz saat itu bahkan statusnya masih amatir dan tercatat sebagai pemain PON Papua.
Meski dikombinasikan dengan pemain-pemain senior macam Ellie Aiboy dan Kurniawan Dwi Yulianto, tetap saja di atas kertas materi pemain Indonesia kalah tenar dari tim unggulan lain seperti generasi emas Myanmar bersama Soe Myat Min, serta tuan rumah Malaysia, dan Vietnam yang memiliki wonderkid, Lee Cong Vinh.
Berlaga di pertandingan pembuka melawan Laos, skuat Garuda berhasil menang telak 6-0. Hasil awal yang bagus tapi bisa dibilang wajar karena Laos memang kesebelasan yang sering menjadi bulan-bulanan di kawasan ASEAN. Di matchday kedua timnas sebenarnya tampil solid dengan menahan gerbong pemain asing Singapura 0-0, namun kekhawatiran masih melanda timnas Indonesia karena harus meladeni tuan rumah Vietnam di pertandingan berikutnya.
Aura pesimis rakyat Indonesia baru benar-benar luntur di pertandingan ketiga kala tiga gol yang dicetak oleh Mauli Lessy, Boaz Solossa, dan Ilham Jayakesuma menenggelamkan kedigdayaan Vietnam di kandangnya. Sekadar trivia, di pertandingan sebelumnya Vietnam menang 9-1 lawan Kamboja.
Timnas Garuda yang saat itu dipimpin oleh Ponaryo Astaman menutup fase grup dengan sensasional, menang 8-0 atas Kamboja melalui hattrick Ilham Jayakesuma. Di klasemen akhir kedua grup, Indonesia menjadi kesebelasan tersubur dengan 17 gol tanpa sekalipun kemasukan. Fenomenal!
Kebangkitan Kurniawan Dwi Yulianto
Meskipun hanya tiga kali menjebol gawang lawan di babak penyisihan grup (itupun ke gawang tim lemah, satu saat melawan Laos dan dua ketika bertemu Kamboja), Si Kurus, Kurniawan Dwi Yulianto, memiliki andil besar dalam meloloskan Indonesia ke babak final.
Di semifinal, Indonesia bertemu dengan seteru abadi, Malaysia, dan di leg pertama, Harimau Malaya berjaya di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Gol cepat Kurniawan di menit ke-6 dibalas dua gol Liew Kit Kong. Suporter tuan rumah meradang, akses pemain Malaysia keluar stadion pun terhalang. Kabarnya, Amri Yahya dan kawan-kawan sampai terjebak berjam-jam di ruang ganti, menunggu situasi di luar stadion kondusif.
Di leg kedua, sampai turun minum tampaknya tim asuhan Bertalan Bicksei akan melenggang ke final. Hingga akhirnya Kurniawan menjadi pembeda di pertandingan malam itu.
Masuk menggantikan Ismed Sofyan di menit ke-55, penyerang jebolan PSSI Primavera itu berhasil mencuri bola dari kaki bek Malaysia dan mengakhirinya dengan sontekan jitu. Skor berubah menjadi sama kuat, satu sama. 15 menit berselang, Charis Yulianto membuat agregat sama kuat dan membalikkan momentum menjadi milik Indonesia.
Tiga menit kemudian, Kurniawan memberikan asis bagi sang top skor turnamen, Ilham Jayakesuma untuk mencetak gol ketiga Indonesia di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Pertandingan itu ditutup dengan aksi individu Boaz Solossa enam menit jelang bubaran dan hasilnya: Indonesia ke final!
Fondasi kuat bagi generasi selanjutnya
Meskipun turnamen dua tahunan ini berakhir anti klimaks bagi Indonesia, namun Peter Withe telah membangun fondasi kuat untuk modal berkompetisi di kejuaraan-kejuaraan selanjutnya. Nama-nama seperti Charis Yulianto, Hamka Hamzah, Mahyadi Panggabean, Syamsul Bachri, Ponaryo Astaman, Firman Utina, dan tentu saja Boaz Solossa sukses meneruskan perjuangan Bejo Sugiantoro, Yaris Riyadi, Gendut Donny Christiawan dan kawan-kawan.
Piala Tiger 2004 layak dikenang sebagai dongeng klasik kehebatan pemain lokal. Karena di tahun itulah terakhir kalinya Indonesia sukses melaju ke partai puncak tanpa ada satupun pemain “asing” di dalam tim, alias orisinil pemain lokal.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.