Kolom

Ortizan ‘Sajojo’ Solossa, Legenda yang Tak Bisa Lepas dari Sepak Bola

Sebelum Indonesia dibuat terpukau oleh kehebatan Boaz Solossa, kita lebih dulu mengenal seorang Solossa yang lain. Ia adalah Ortizan, kakak kandung Boaz.

Ortizan adalah salah satu pemain Indonesia tersukses. Ia merasakan nikmatnya tiga gelar juara Liga Indonesia, satu gelar Inter-Island Cup dan satu gelar Community Shield. Meski demikian, tak semua gelar tersebut dirasakan pria asli Papua ini bersama Persipura.

Berbeda memang dengan Boaz, adiknya, yang besar di Persipura dan mereguk semua kesuksesan di sana, Ortizan harus merantau ke banyak tempat terlebih dahulu. Sewaktu menyadari dirinya gagal bersaing dengan pemain-pemain Mutiara Hitam di akhir dekade 1990-an, pemain kelahiran 28 Oktober 1977 ini merantau ke Sulawesi.

PSM Makassar menjadi perhentiannya. Tim Juku Eja yang kala itu diperkuat pemain-pemain bintang seperti Carlos de Mello dan Kurniawan Dwi Yulianto, kebetulan membutuhkan seorang pemain yang beroperasi di posisi sayap. Jasa Ortizan benar-benar bermanfaat, karena ia bisa bermain sebagai bek maupun gelandang sayap.

Meski pada awalnya datang sebagai pemain tak dikenal, Ortizan langsung menjadi pujaan publik berkat gocekan-gocekan khasnya. Pendukung PSM langsung memberinya julukan ‘Sajojo’, mengacu pada tarian khas Papua. Di musim pertamanya bersama PSM, Sajojo langsung merasakan nikmatnya juara Liga Indonesia.

Setelah lima tahun bermain di Makassar, Sajojo lalu memutuskan dirinya butuh tantangan baru. Tawaran Persija diterimanya, dan kembali ia merasakan atmosfer final Liga Indonesia. Uniknya, final Divisi Utama Liga Indonesia 2005 mempertemukan Solossa bersaudara, yaitu Ortizan dan Boaz.

Boaz yang pada saat itu berusia 19 tahun menjadi inspirator kemenangan dramatis Persipura atas Persija. Sang kakak pun harus mengakui keunggulan tim adiknya di depan 80 ribu penonton yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Selepas berkarier bersama Persija, Sajojo sempat semusim bersama Arema Malang, sebelum akhirnya menerima panggilan dari Persipura. Pada tahun 2008, di usianya yang ke-29 tahun, Ortizan Bertilone Nusye Solossa akhirnya pulang kampung untuk merumput bersama sang adik.

Ortizan pun menjadi bagian Persipura yang lapar gelar juara. Di musim pertamanya, Ortizan dan Boaz menjadi pilar Mutiara Hitam yang merajai Liga Indonesia. Persipura menjadi kampiun liga yang mengadopsi sistem kompetisi penuh untuk pertama kali. Prestasi itu kemudian mereka ulangi lagi di tahun 2011, ketika Persipura mengungguli Arema di persaingan gelar juara liga yang pada saat itu dihantui dualisme kompetisi.

Di tim nasional, karier Ortizan memang tak sepanjang adiknya. Namun, Ortizan dan Boaz sering memperkuat skuat Garuda. Yang paling ikonik adalah bahu-membahunya mereka di Piala Tiger (sekarang Piala AFF) 2004, ketika Indonesia merebut juara dua usai dikandaskan Singapura di final.

Ketika merasa dirinya sudah tak lagi muda, Ortizan merasa dirinya perlu memberi jalan bagi pemain-pemain muda Persipura untuk mencicipi kesempatan bermain di tim utama. Maka, pada tahun 2014, ia memutuskan untuk meninggalkan Persipura setelah enam tahun mengabdi. Bagusnya, klub yang menjadi tujuannya adalah Persiram Raja Ampat. Persiram sendiri bisa dibilang klub daerah asalnya, mengingat Ortizan sendiri lahir dan besar di Sorong, Papua Barat.

Meski demikian, Persiram harus berkandang di Stadion Kanjuruhan, Malang, karena tak memiliki stadion memadai. Akhirnya, performa yang tak maksimal mengakibatkan Persiram harus finis satu strip di atas zona degradasi wilayah timur Liga Indonesia 2014/2015. Di akhir musim, Ortizan pun pamit untuk meninggalkan klub terakhirnya tersebut

Mulai tahun 2015, Ortizan akhirnya memiliki karier baru sebagai aparatur sipil negara, atau dalam kata lain, pegawai negeri sipil (PNS). Sampai sekarang, ia bertugas di Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua.

“Awalnya saya tidak berpikir untuk gantung sepatu, tapi saya harus memikirkan  kehidupan saya di masa depan. Akhirnya saya memutuskan untuk jadi PNS saja,” tutur Ortizan seperti dikutip harian Radar Sorong.

Ortizan dan Boaz memang cukup pandai merencanakan masa depan mereka. Keduanya tercatat sebagai sarjana dari Universitas Cenderawasih, dan masing-masing akan berprofesi sebagai pegawai negeri selepas pensiun nanti. Ortizan sendiri masih tak bisa lepas dari sepak bola. Saat ini, ia menjadi pelatih klub amatir setempat, Hanasco FC.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.