Saya rasa, awal pekan ini adalah waktu paling berat yang pernah dijalani Chelsea sepanjang musim ini. Usai bermain hebat dan hampir tanpa cela serta memimpin liga dengan dominasi taktikal Antonio Conte yang jenius, Chelsea mulai mendapat resistansi berarti dan tergopoh-gopoh.
Dua kekalahan menyapa dalam rentang dua minggu, masing-masing dari Crystal Palace dan Manchester United. Seakan belum cukup, Senin (18/4) malam waktu Indonesia, Chelsea mengumumkan bahwa long-serving captain mereka, John Terry, akan dilepas di akhir musim 2016/2017.
Usai tidak ada lagi Frank Lampard dan Didier Drogba, kepergian Terry di akhir musim adalah penanda era ikonik Chelsea yang perlahan mulai siap digantikan pemain-pemain baru yang lebih segar dan lebih ambisius. Di susunan sebelas pemain inti yang rutin diturunkan Conte musim ini, semuanya berada di usia keemasan mereka dalam karier sepak bola.
Di kaki-kaki lincah Eden Hazard, kesigapan Thibaut Courtois di bawah mistar, ketangguhan N’Golo Kante hingga kepimpinan baru di pundak Gary Cahill, The Blues memang bergerak menuju ke arah yang tidak mungkin diikuti oleh kaki-kaki letih John Terry yang mulai melambat dan rutin diterjang cedera.
22 tahun adalah angka yang terpatri untuk pengabdian yang saya rasa, tidak bisa diikuti dengan mudah oleh generasi penerusnya di tim masa depan Chelsea. Sudah di akademi Chelsea sejak usia 14 tahun pada tahun 1995, tiga tahun kemudian, bek muda ini memulai debut di tim senior pada usia belum genap 18 tahun.
Hanya dua tahun yang dibutuhkan oleh eks pemain akademi West Ham United ini untuk membuktikan kapabilitasnya sebagai salah satu bek potensial yang bisa diharapkan oleh Chelsea dan timnas Inggris.
Selepas musim 2000/2001, Terry yang kenyang pengalaman berduet dengan Marcel Desailly sejak usia muda, mulai menapaki karier cemerlangnya di bawah asuhan Claudio Ranieri. Ranieri pula yang pertama kali menghadiahinya jabatan kapten tim menggantikan Desailly yang di musim 2003/2004, mulai menurun kualitasnya dan tak lagi tampil prima di tim utama.
Bila Ranieri yang berjasa memberinya ban kapten, kedatangan The Special One, Jose Mourinho, adalah titik awal karier fenomenal suami dari Toni Poole ini. Resmi menjabat sebagai kapten utama Chelsea sejak awal musim 2004/2005, dan 13 tahun berselang, citra itu makin menguat bahwa bersama karibnya, Frank Lampard, Terry adalah legenda hidup Chelsea.
Bila Super Frank terkenal karena ketajamannya sebagai gelandang, Terry membangun reputasinya di tanah Britania sebagai salah satu bek terbaik Inggris di medio 2000-an bersama tandemnya di timnas Inggris, Rio Ferdinand.
Menghabiskan 18 tahun di tim senior Chelsea, kapten legendaris Chelsea ini sukses mengoleksi 713 penampilan dan mencetak 66 gol. Sebuah jumlah yang cukup produktif untuk ukuran pemain belakang. Dan selama itu pula, ia sukses meraih empat gelar Liga Primer, lima gelar Piala FA dan tentu saja, gelar bergengsi Liga Champions Eropa kala menjungkalkan raksasa Jerman, Bayern Munchen, di kandang mereka sendiri, Allianz Arena.
Sekilas, karier yang sempurna dari seorang kapten yang baik, namun seperti yang saya tulis di judul artikel ini, Terry meninggalkan beberapa noda di karier gemilangnya bersama klub dan timnas.
Ketidaksempurnaan John Terry
Dimulai dari kasus perselingkuhannya dengan pasangan rekan setimnya di Chelsea, Wayne Bridge, disusul dengan tindak rasisme yang dilakukannya terhadap Anton Ferdinand, yang perlahan menggiring kariernya menuju salah satu titik gelap yang menyedihkan dan mengecewakan. Noda yang ia tinggalkan dari dua kasus tersebut membuat ia tak akan sesempurna Paolo Maldini untuk AC Milan atau sesuci Iker Casillas bagi Real Madrid.
Perselingkuhan yang dilakukannya membuat kita mudah menjumpai beragam meme yang seolah mengejek bahwa pemain-pemain Chelsea perlu waspada bila Terry jarang menghabiskan waktu di atas lapangan ketika mereka meninggalkan istri atau pacar mereka di rumah sendirian.
Sedangkan rasisme yang ia lakukan terhadap adik Rio Ferdinand, Anton, membuatnya kehilangan jabatan kapten di timnas Inggris dan mengakhiri karier di timnas dengan cara yang tak terhormat seperti Lampard atau Steven Gerrard.
Di tengah gemerlap kariernya dan status sebagai kapten legendaris Chelsea, Terry mungkin bisa mengakhiri karier dengan bangga dan terhormat. Ia merupakan salah satu pemain terbaik yang pernah Chelsea miliki sepanjang sejarah klub ini berdiri.
Tapi dua ‘dosa’ yang ia pernah lakukan di karier gemilangnya, akan selalu diingat orang sebagai nila setitik, yang walau tak merusak susu sebelanga, tetap membuatnya dikenang sebagai manusia yang tak sepenuhnya baik dan sempurna.
Dan tepat di titik itu, saya rasa, kita semua harus belajar dari John Terry. Tidak selamanya karier pesepak bola akan sesempurna trah Maldini di Milan atau sesuci karier Santo Iker di Madrid. Dari Terry, mungkin, kita bisa belajar memaklumi bahwa benar adanya kalau manusia itu tak semuanya sempurna.
Farewell, John.