Judul di atas sama sekali tidak bermaksud untuk sok jago atau berupaya mengajari jajaran pelatih Persib Bandung tentang pengetahuan sepak bola. Namun, judul di atas adalah sedikit pemikiran saya tentang bagaimana sebaiknya komposisi mewah skuat Persib Bandung benar-benar bermain seperti layaknya tim besar. Bobotoh tentu tak ingin tim semewah Persib bermain medioker, bukan? Jujur saja, laga perdana Persib membuat saya harus membandingkan tim ini dengan Manchester United era the chosen one, David Moyes. Punya skuat mewah ala Lamborghini namun justru bermain seperti Toyota Avanza.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut, saya akan mendongengkan dua tactical fail Djajang Nurdjaman yang paling fatal menurut saya. Turun dengan Shohei Matsunaga sebagai penyerang tengah tunggal, skuat Persib justru mengurung pertahanan Arema dengan umpang silang dari sayap. Kawan-kawan tak perlu belajar taktik sepak bola untuk paham gagalnya skema ini. Di 30 menit awal saja, Shohei yang harusnya menjadi target umpan silang, malah menumpuk bergantian dengan Lord Atep di sisi kiri menjadi aktor yang sering mengirim umpan silang. Sebanyak dua atau tiga kali, kalau saya tidak salah. Itu epic fail pertama dari taktik Djanur.
Yang kedua, tentu saja tentang penugasan pemain asing dari Jepang itu sebagai penyerang tengah Persib. Tinggi Shohei sekitar 174 sentimeter. Duo bek tengah Arema, Artur Cunha dan Bagas Adi Nugroho, masing-masing bertinggi 186 dan 176 sentimeter. Apa yang Djanur harapkan dengan permainan umpan silang melawan duo bek tengah Arema yang tinggi dan kokoh, di kala beliau menurunkan Shohei sebagai penyerang? Tolong bantu saya menjawab misteri ini.
Skema opsional untuk Persib
Skuat Persib musim ini dihuni banyak sekali gelandang berkualitas. Mulai dari nama senior seperti Michael Essien dan Raphael Maitimo, sampai pemuda belia seperti Gian Zola Nasrullah. Pertanyaannya, dengan banyaknya gelandang tengah berkualitas, dan masih belum fitnya dua penyerang tengah murni Persib, kenapa Djanur memaksakan skuatnya menyerang dari sayap?
Alih-alih mengoptimalkan sayap dengan tanpa target man murni di tengah, Djanur harusnya mencoba skema untuk mengoptimalkan barisan gelandangnya. Terlebih, gelandang tengah berambut gondrong idola saya, Hariono, sudah fasih untuk merebut dan kemudian membagi bola dengan cukup baik. Jadi, daripada memaksakan 4-2-3-1 favoritnya sebagai skema utama Persib, yang justru membuatnya tampak seperti Arsene Wenger, alangkah menarik dan patut dicoba bila Djanur turun dengan 4-3-3.
Tiga gelandang tengah sejajar akan memainkan peran sentral. Mereka memegang peran sentral bukan hanya karena mereka berada di tengah, namun juga karena mereka akan menentukan transisi dan ritme serangan Persib. Favorit saya untuk menempati tiga gelandang tengah ini adalah Hariono, Essien dan Gian Zola.
Hariono akan sedikit lebih ke dalam, sedangkan Essien dan Zola mengapit di sisinya, walau tak sepenuhnya sejajar. Adanya tiga pemain di tengah akan membuat skema build-up Persib sedikit lebih waras, daripada harus umpan panjang langsung ke depan atau memaksakan dari bek tengah langsung ke sisi sayap.
Dan luar biasanya skuat ini, di bangku cadangan pun masih ada Dedi Kusnandar, Raphael Maitimo dan Kim Kurniawan yang bisa dimainkan bergantian sebagai tiga gelandang tengah. Sungguh kedalaman skuat yang membuat iri tim seperti Yahukimo FC, bukan?
Menyerang dari sayap dengan baik dan benar
Saya tidak memungkiri bahwa Febri Hariyadi adalah salah satu pemain terbaik Persib dan berkaliber timnas. Tapi ia harus belajar bahwa bermain sepak bola, terlebih di era modern, tidak hanya masalah menekan tombol R1 belaka. Kalau kecepatan lari menjadi syarat mutlak pemain sepak bola yang baik, Antonio Valencia atau Theo Walcott akan menjadi peraih Ballon d’Or, bukan Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi.
Maka dari itu, Febri harus lebih belajar memanfaatkan talentanya dengan efektif dan efisien. Sebagai contoh, Raheem Sterling adalah panutan yang baik. Di tangan Pep Guardiola, Sterling menjadi lebih aktif terlibat di proses build-up karena penempatan posisinya yang baik. Yakni berada di antara bek sayap dan gelandang tengah lawan, tidak mepet dengan garis tepi lapangan seperti semasa ia di Liverpool.
Ketika posisinya lebih enak untuk menerima umpan dan progresi serangan, itulah saat di mana kecepatan lari dan dribel cepatnya menjadi senjata mematikan untuk masuk ke kotak penalti lawan entah untuk membuka ruang tembak bagi dirinya sendiri atau mengirim umpan ke kawan lainnya di kotak penalti. Sterling dan Leroy Sane adalah contoh yang baik bagi Febri.
Selama ini dan di pertandingan kemarin, Febri hampir selalu berada jauh di dekat garis tepi lapangan. Mengajak bek sayap beradu lari sebelum mengirim umpan silang yang sia-sia. Sekali atau dua kali, cara ini bisa berhasil, tapi kalau ada cara lebih masuk akal, kenapa tidak dicoba? Dengan berada di antara bek sayap dan gelandang tengah lawan, Febri akan sangat sulit dijaga. Belum lagi kalau dukungan dari gelandang tengah atau bek sayap bisa membantunya dengan baik. Selain itu, sistem ini akan membuat Febri mampu melatih decision making-nya yang masih kurang baik saat ini.
Dan ini tidak hanya untuk Febri belaka. Di sisi sebaliknya, the one and only, Lord Atep atau Shohei Matsunaga, bisa menerapkan apa yang saya sarankan agar dilakukan oleh Febri di sisi kanan. Dengan tersedianya pemain-pemain sayap Persib untuk menerima umpan dan berperan aktif dalam build-up, kemewahan skuat Persib, utamanya di lini tengah, akan bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.
***
Untuk pos kiper, lini belakang dan lini serang, tidak banyak yang bisa saya keluhkan. Kecuali Henhen Herdiana yang (mungkin) demam panggung dan Shohei yang tak optimal sebagai penyerang tengah, lini belakang dan depan Persib lebih membutuhkan kualitas lini tengah untuk menopang skema bertahan dan menyerang Persib agar lebih stabil dan seimbang serta enak ditonton.