“Jika ingin sukses, merantaulah.” tentu quote tersebut sangat akrab dengan telinga para pemuda-pemuda yang tinggal di pelosok daerah. Kata-kata tersebut mengalir dari para orang tua, saudara, ataupun sesepuh-sesepuh mereka. Biasanya mereka lansung mengambil rujukan dari saudara-saudara mereka yang berani mengambil resiko berpindah tempat menuju tempat yang asing bagi mereka, menyajikan hal-hal menakjubkan bagi mereka yang baru melihatnya.
Pastinya, kepulangan saudara-saudara yang merantau tersebut selalu ditunggu saudara-saudaranya di daerah asalnya. Bukan hanya sekedar basa-basi menanyakan kabar kesehatan dan pasangan, pastinya para saudara dari perantau tersebut menunggu suatu pertunjukan hal-hal baru dari tempat perantauan, ya minimal mereka mendengar kisah-kisah getir manisnya dari proses merantau itu sendiri.
Tentu, referensi tujuan merantau mereka adalah kota-kota besar, kota yang menjanjikan seribu peluang juga resikonya, yang menawarkan nikmatnya dunia yang fana ini, menampilkan atraksi-atraksi memukau yang tak pernah dilihat para perantau sebelumnya.
Jelas, kota-kota besar selalu menawarkan angan-angan hidup yang enak bagi para pemimpi tersebut. Bahkan tak tanggung-tanggung, banyak para pemimpi tersebut langsung menunjuk ibu kota negaranya sebagai destinasi awal dari pondasi bangunan impiannya.
Mengapa bisa demikian? Karena ibu kota sendiri adalah pusat dari pergerakan suatu negara, yang menampung seluruh perusahaan-perusahaan elite untuk membangun pusat komandonya, menjadikan ibu kota sebagai pusaran dari para mimpi-mimpi para pejuang kehidupan.
Dalam pertunjukan sepak bola sendiri, yang tidak bisa lepas dari putaran ekonomi nasional, tentu membuat para pelaku sepak bola berani menancapkan pul-pul sepatu mereka di tanah ibu kota. Di tengah hiruk-pikuknya aktivitas ibu kota yang 24 jam tanpa henti, sepak bola menjadi sebuah oase di tengah gurun aspal ibu kota, yang penghuninya haus akan hiburan setelah seharian bekerja keras mewujudkan mimpi-mimpi mereka.
90 menit di tribun stadion ataupun di depan layar kaca televisi bagi mereka merupakan waktu yang berharga dan sayang untuk disia-siakan, apalagi ditinggalkan. Terlebih bagi mereka yang berasal dari kampung yang menggemari sepak bola, dimana galadesa di tiap akhir pekan secara tidak sadar mengundang para warga untuk berkumpul menyaksikan para pengolah kulit bundar lokal menampilkan magisnya.
Tentu sepak bola sudah menjadi candu bagi mereka-mereka para penikmat galadesa atau tarkam alias tarung kampung. Bagi pemain sendiri, berusaha untuk bermain bagus bukan hanya demi permainan semata, karena mereka selalu berharap ada seseorang yang biasa kita sebut scout yang menawarkan mereka jembatan menuju klub di kota besar, di mana pendapatan besar dan bermain dengan para pemain terkenal menjadi nyata.
Di era sepak bola modern, banyak klub-klub sepak bola sukses yang bermukim di ibu kota negaranya. Di Belanda, ada Ajax Amsterdam yang merupakan penghasil bibit unggul pesepak bola Negeri Kincir Angin. Di Prancis, ada Paris Saint-Germain yang berhasil mendominasi seluruh kompetisi lokal Prancis dalam beberapa tahun terakhir.
Di Italia, ada AS Roma dan SS Lazio, meski berada di bawah baying-bayang hegemoni Turin, masih stabil menancapkan dominasinya di papan atas. Di Spanyol, dua klub ibu kota yaitu Real Madrid dan Atletico Madrid mendominasi papan atas Liga Spanyol, bahkan dalam kurun 3 tahun terakhir dua klub ini dua kali bertemu di final Liga Champions Eropa, yang selalu menghasilkan Real Madrid sebagai juaranya.
Di Inggris, tiga klub dari kota London selalu mendominasi papan atas, mereka ialah Chelsea, Arsenal, dan Tottenham Hotspur, Walaupun dua nama terakhir sudah lama tidak menjuarai Liga.
Denyut sepak bola di Jabodetabek
Bagaimana dengan Indonesia? Di Jakarta, ibu kota Indonesia sendiri mempunyai satu klub yang bermain di kasta tertinggi Liga Indonesia. Adalah Persija Jakarta, sang juara Ligina 2001 yang sekarang sedang hijrah ke kota tetangga, Bekasi, karena kandang mereka, Stadion Utama Gelora Bung Karno sedang direnovasi untuk penyelenggaraan Asian Games 2018.
Namun walaupun sedang dilanda masalah, Persija tetap konsisten mempersiapkan skuat mereka untuk berlaga di kompetisi nasional. Terakhir, mereka berpartisipasi di Piala Presiden 2017, sayangnya mereka tidak lolos fase grup setelah kalah bersaing dengan Arema FC dan Bhayangkara FC.
Di lingkup yang lebih luas, ada wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Di tempat tinggal penulis sendiri yaitu Bogor, ada dua klub yang bermain di kompetisi profesional. Ada PS TNI yang bermain di Liga 1 dan Persikabo Kabupaten Bogor yang bermain di Liga 2 yang sebelumnya disebut Divisi Utama.
Mereka berbagi homebase yang sama, yaitu Stadion Pakansari yang telah dipercaya federasi AFF menggelar semifinal dan final AFF Suzuki Cup 2016. Beda kasta, beda cerita. PS TNI yang disokong oleh berbagai sponsor dan pertandingannya telah disiarkan oleh televisi nasional pasti mempunyai kekuatan finansial yang baik. Sedangkan Persikabo yang bermain di divisi kedua bahkan tersengal-sengal untuk mengikuti jalannya kompetisi.
Kurangnya perhatian dari badan perusahaan serta sponsor yang minim membuat suatu kondisi di mana Persikabo kesulitan untuk bertanding, untungnya sekarang kepengurusan klub sudah diambil alih oleh pihak baru yang menjanjikan Persikabo yang baru dan profesional.
Bergeser sedikit ke Depok, ada Persikad Depok yang bermain di Liga 2 dan berkandang di Stadion Merpati. Sebelumnya, Persikad sempat berpindah homebase ke Purwakarta. Namun menjelang kompetisi Torabika Soccer Championship (TSC) B 2016, Persikad kembali mudik ke Margonda Raya.
Di Tangerang, sepak bola malah diharamkan untuk dimainkan di Stadion Benteng, sehingga membuat Persita Tangerang terpaksa mengungsi untuk memainkan laga kandang mereka. Terakhir di kompetisi TSC B, mereka berkandang di Stadion Singaperbangsa, Karawang. Bahkan ada kabar terbaru yang menyatakan bahwa event nonton bareng (nobar) sepak bola pun sudah dilarang juga di Tangerang, walau berita ini masih simpang siur.
Terakhir adalah kota Bekasi. Kota ini mempunyai dua stadion yang bisa dibilang mewah untuk skala nasional. Ada Stadion Patriot dan Stadion Wibawa Mukti. Sayangnya, Bekasi sendiri tidak mempunyai klub yang bermain di kompetisi kasta teratas sepak bola Indonesia. Tapi kemewahan dua stadionnya membuat Bekasi bakal menjadi homebase bagi empat atau lima tim sepak bola untuk musim ini, hebat bukan?
Melihat kondisi klub sepak bola di ibu kota dan sekitarnya, memang bisa dibilang relatif memprihatinkan karena seharusnya mereka bergelimang harta dan prestasi karena banyaknya perusahaan-perusahaan besar yang mungkin bisa digoda menjadi sponsor atau investor.
Namun kondisi mereka justru seperti tikus yang kurus di lumbung padi. Semoga klub-klub di atas bisa kembali eksis dan sehat sehingga bisa mengembalikan hakikat sepak bola di ibukota sebagai hiburan semua kalangan, baik itu bagi para Akamsi (Anak Kampung Sini) maupun para perantau.
Author: Ridho JM (@Ridolski)
Penulis merupakan pencinta sepak bola, terutama sepak bola lokal. Pernah mengabdi untuk PSSI dan Liga Indonesia. Saat ini sedang menuntut ilmu di universitas swasta yang menjulang di samping gerbang tol Bogor.