Akuilah. Kebanyakan dari kita memamah sepak bola lewat sajian Serie A yang tayang pada era 1990-an di stasiun TV milik kroni FPI di sengkarut Pilkada DKI itu. Anda tentu masih ingat rasa senang yang menggemuruh saat mendengar suara Rayana Djakasurya yang menelepon langsung dari Italia sana. Terkadang bung Ray, panggilan akrab beliau, menyebut berapa suhu di Italia saat itu, dan kita semua membayangkannya menggigil ketika menelepon studio TV. Canggih betul.
Saat itu khalayak bola sepertinya sepakat bahwa sepak bola terbaik ada di tanah Italia. Tempat bakat-bakat terbaik dunia beradu sepak. Saat di mana juragan-juragan macam Masimmo Moratti dan Silvio Berlusconi saling bersaing memecahkan rekor transfer pemain.
Italia era itu, seperti era-era sebelumnya, didominasi tiga klub dari dua kota: Juventus dari Turin, dan kedua tim kota Milan, AC Milan dan Internazionale Milan. Meski Milan sedikit kurang bisa mengimbangi dua tim lain, mereka nyatanya sanggup juga menjuarai Liga Champions sebanyak dua kali di milenium ketiga.
Tetapi dominasi dua kota sempat digoyang oleh dua tim asal ibu kota, Lazio dan AS Roma. Keduanya menjuarai Seria A secara berurut, 1999/2000 dan 2000/2001. Saya ingin mengajak Anda mengenang satu sosok yang jarang dibicarakan dari Serigala Roma.
Pemain ini dikenang bukan karena prestasinya. Gelontoran golnya untuk Roma tak seberapa. Tapi ia sedang berulang tahun hari ini. Saya pikir ada baiknya kita sedikit mengenang beliau, sambil meraba ingatan dari masa yang telah lewat itu. Namanya, Marco Delvecchio.
***
Final Euro 2000, Italia melawan Prancis kala itu. Ajang ini banyak disebut-sebut sebagai ajangnya Franscesco Totti. Momen bagi Totti untuk bersinar, merengkuh juara, dan menyempurnakan kariernya di usia yang masih belia (24 tahun waktu itu). Meski melawan sang kampiun dunia dua tahun sebelumnya, tim Azzuri dinilai mampu menggondol trofi.
Dino Zoff, pelatih Italia, menempatkan Marco Delvecchio sebagai pemain inti. Sebuah keputusan berani karena sebelum final, Delvecchio hanya tampil dua kali. Itu pun sebagai pemain pengganti. Sebuah perjudian dari Zoff karena penyerang utama La Nazionale, Alessandro Del Piero dan Filippo Inzaghi, sedang sehat-sehat saja. Zoff ingin menghadirkan elemen kejut bagi tim lawan yang pemain-pemainnya banyak membela klub Serie A.
Jikalau waktu itu telah ada Twitter, sudah barang tentu keputusan Zoff akan menjadi trending topic. Apa dia gila?!! Stok penyerang Italia begitu berlimpah. Selain duet maut “Del-Pippo”, masih ada nama L’Aeroplanino, Vincenzo Montella.
Tanpa dinyana, sang pemain dengan kontan membungkam keraguan. Berawal dari aksi Totti di sisi kanan pertahanan Les Bleus, dengan sedikit mengulur waktu, ia membalikkan badan demi menunggu Gianluca Pessotto merengsek ke depan. Lewat momen ajaib, Totti mencungkil bola dengan tumitnya. Pessotto praktis tak terjaga karena dua pemain Prancis sibuk mengawasi Totti.
Umpan lesakkan Pesotto menyasar Delvecchio. Meski dikawal empat pemain Prancis, ia sanggup juga mengoyak gawang lawan. Di menit ke-55, Italia unggul atas Prancis lewat sepakan kaki kiri pemain yang awalnya diragukan.
Tapi akhirnya kegembiraan itu hanya sementara. Lewat peraturan sudden death, Prancis menjadi tim pertama yang mampu mengawinkan trofi Piala Dunia dan Eropa secara urut.
Sendu itu tak berlangsung lama, khususnya bagi penggawa Roma karena tahun berikutnya berhasil menjadi kampiun Italia. Pencapaian ini menjadi kali yang ketiga bagi mereka, dan belum terulang sampai saat ini.
Banyak yang bilang, selain keberadaan pelatih andal Fabio Capello, Roma tertolong dengan adanya sang pengkhianat kota Florence, Gabriel Batistuta. Batigol memang vital, ia menjadi top skor klub lewat 20 golnya. Tetapi penyerang Argentina itu begitu kental berwarna ungu. Sosoknya bahkan telah dibikin patung emas oleh Fiorentina.
Tanpa bermaksud mengesampingkan Totti dan Montella, Delvecchio mempunyai kadarnya sendiri. Bukan lewat sumbangsih gol, melainkan karena kemampuannya bermain di berbagai posisi serang. Bertinggi badan hampir 1,9 meter, ia menjadi salah satu figur kunci sebelum akhirnya dilepas ke Brescia pada 2005. Sebagai penyerang tunggal ia sanggup, dimainkan di sayap pun tak masalah.
Bagi sebagian orang, kadang jumlah gol bukan menjadi hal utama. Ada penyerang bertipe “not a great goalscorer, but a scorer of great goals”. Riwayat Delvecchio terpatri berkat ini: ia begitu senang menjebol gawang sang rival sengit, Lazio. Jangan lupakan juga selebrasi pegang kupingnya itu.
***
Sebelum menulis ini, dorongan impulsif membuat saya mampir ke sebuah warung bubur di Jatinegara. Saya dulu pernah dibawa bapak mengunjungi warung bernama Bubur Ayam Gang Kelor ini. Ingatan saya samar-samar. Yang jelas, bapak mengaku bahwa dulu ia juga sering dibawa ke sini oleh bapaknya.
Bubur ini pernah begitu laris karena berposisi persis di depan bioskop Jaya. Bioskop ini dibangun pada masa kolonial, yang awalnya bernama Centraal. Bapak bilang, sehabis menonton film-film Rano Karno, ia selalu menyantap bubur Gang Kelor. Saat menceritakan kisah itu (medio 1990-an akhir, saat Serie A masih berjaya) bioskop Jaya sendiri telah sepi. Bangunannya masih ada, tetapi jika ingatan tidak mengkhianati, gedung itu terbengkalai. Tempat jin buang anak.
Lebih dari 20 tahun kemudian, saya mengunjungi Warung Bubur Gang Kelor. Tak ada lagi sosok bapak penjual bubur. Sudah pasti hidupnya telah tamat. Saya bertanya kepada ibu penjaga warung. Terkuak bahwa ialah anak penjual bubur yang telah ada sejak jalanan Jakarta masih dilalui trem.
Kini warung ini begitu sepi. Andalannya adalah kuah bubur tak bervetsin, yang tidak dijaga panasnya. Hanya bubur yang dihangatkan, itu pun bersenjatakan tungku klasik zaman baheula. Satenya besar-besar. Sepotong dihargai 10 ribu rupiah. Cukup mahal memang.
Saya bertanya mengapa mempertahankan metode klasik tersebut. Bubur yang panas adalah salah satu tujuan orang memakan bubur. Apalagi warung ini buka di waktu-waktu orang butuh kehangatan, sore sampai tengah malam.
Sang anak menjawab singkat, “Saya hanya ingin menjaga kenangan terhadap bapak saya, mas.”
Sial. Mau tak mau sedih sekaligus bahagia juga saya mendengarnya! Bangunan bioskop Jaya telah menjelma menjadi ruko-ruko berkilauan. Warungnya begitu sepi dan ia tetap tak peduli. Mungkin ia merasa batinnya telah cukup. Yang terpenting adalah menjaga semangat mendiang ayahnya. Untuk menjawab perkara-perkara soal hati, kita memang mesti mengenyahkan logika untung-rugi.
Saya langsung terkenang Delvecchio dan Serie A era 1990-an. Hidup kini begitu gaduh. Pilihan menonton sepak bola begitu berlimpah. Dahulu kita tak perlu menyombongkan suatu liga yang kita ikuti. Pendukung Serie A tidak perlu menggebuk dada, berkata bahwa permainan di Liga Italia adalah yang terbaik. Bersama Roma, Delvecchio telah menyumbang kenangan kepada kita, sebagaimana para pahlawan sepak bola dari dua dekade silam.
Selamat ulang tahun ke-44, Marco. Izinkan kami mengenangmu lewat cara kami masing-masing.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com