Sepak bola dipadukan dengan budaya kawaii, bagaimana bisa? Mungkin itu yang ada di benak Anda. Sebagai salah satu cabang olahraga, sepak bola bukanlah kontes kecantikan atau bakat seni, yang penilaiannya didasari oleh kualitas subjektif. Sepak bola ditentukan oleh hasil akhir, yang terakumulasi oleh seberapa banyak suatu tim melakukan operan sukses, jitunya taktik pelatih, dan gol yang tercipta.
Maka ketika sepak bola disandingkan dengan budaya kawaii yang identik dengan sesuatu yang imut, dan girly, tentu kita bertanya-tanya. Tetapi sebagai salah satu negara dengan industri sepak bola yang maju dan menggeliat, bagi Jepang hal tersebut sah belaka. Budi Windekind telah memaparkan kepada kita bagaimana seriusnya klub-klub Jepang dalam menciptakan elemen komersial dalam bentuk maskot tim guna mendekatkan klub kepada khalayak luas.
Saking seriusnya, ada beberapa klub J.League yang mempunyai lebih dari satu maskot, seperti Albirex Niigata, Jubilo Iwata, dan Cerezo Osaka yang menjadikan sosok serigala imajiner Lobby dan Madame Lobby sebagai maskot.
Cerezo, yang merupakan rival sekota Gamba Osaka inilah yang pernah memanfaatkan budaya kawaii untuk mendongkrak popularitas klub. Selain memiliki seragam kandang berwarna pink, klub ini memang dikenal memiliki basis penggemar perempuan yang banyak.
Dalam upaya memopulerkan klub kebanggaan, banyak strategi marketing yang mereka buat. Beberapa strategi tersebut antara lain, situsweb resmi yang tidak hanya menggunakan bahasa Jepang (mereka menyediakan bahasa Inggris dan Indonesia), mengadakan promosi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia (yang dihelat tahun lalu di mana penggemar bisa melakukan video conference dengan penggawa Cerezo), dan bekerja sama dengan idol group.
Sebelumnya, kita perlu menilik ulang bagaimana budaya kawaii bisa tumbuh subur dan menjadi fenomena global. Selain idol group, budaya kawaii tanpa kita sadari telah merengsek ke berbagai produk yang kita gunakan. Produk yang paling populer, tentu saja Hello Kitty.
Antropolog Sharon Kinsella menjabarkan bahwa budaya kawaii pada mulanya merupakan bentuk resistensi kultural yang sejarahnya dapat dilacak sejak dekade 1970-an. Di masa itu, gadis-gadis usia sekolah di Jepang memiliki budaya distingtif di mana mereka menyelipkan ikon-ikon nonkonvensional dalam tulisan tangan mereka. Ikon-ikon tersebut biasanya bergambar hati, alis, bintang, dan sebagainya.
Setiap klub J.League biasanya memiliki figur publik yang mereka jadikan brand ambassador. Cerezo Osaka sendiri mendaulat nama Ikeda Aeri sebagai reporter klub, seorang penyanyi yang juga berprofesi sebagai model. Cerezo juga tidak ragu untuk membuat produk-produk merchandise klub yang berbau kawaii, di syalnya bahkan mereka menyelipkan simbol hati.
Prestasi Cerezo sendiri sebenarnya berada di bawah bayang-bayang Gamba Osaka. Meski begitu, klub ini terkenal sebagai pencetak bakat-bakat muda Jepang. Di klub inilah nama-nama seperti Hiroaki Morishima, Shinji Kagawa, Hiroshi Kiyotake, dan Yoichiro Kakitani memulai karier dan melejit namanya.
Pada 2012, Cerezo bekerja sama dengan suatu program TV bernama Idoling!!! (アイドリング!!!), program reality show yang menampilkan anggota idol group bentukan Fuji TV yang melakukan berbagai macam kegiatan. Acara ini telah tayang sejak 2006 lalu. Kerja sama antara keduanya terjadi pada 20 September 2012 di mana lima anggota Idoling!!! menyanyikan tiga lagu sebelum laga antara Cerezo Osaka melawan F.C. Tokyo.
Idol group, di Indonesia saja lewat JKT 48, telah membuktikan pada industri musik bagaimana mereka tetap mampu menjual rilisan fisik di tengah gencarnya digitalisasi dan pembajakan. Dengan kerja sama sepak bola lewat produk bercitra kawaii, niscaya klub akan semakin atraktif dalam mengemas sepak bola sehingga finansial klub tetap terjaga.
Kerjasama Cerezo Osaka seperti ini adalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana sepak bola Jepang berupaya menjadikan sepak bola sebagai industri yang berkelanjutan. Segenap cara dilakukan demi merebut pangsa pasar olahraga yang mesti bersaing dengan bisbol dan voli.
Klub-klub J.League kebanyakan disponsori oleh suatu perusahaan di kota tempat klub itu bernaung. Meski belakangan kering prestasi (baik di level klub ataupun timnas), Jepang tidak pernah khawatir mengenai keberlanjutan sistem kompetisi karena mereka mampu mengemas sepak bola menjadi industri hiburan yang menarik, kompetitif, sehat, dan inklusif.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com