Di ujung dekade 1970-an, Jepang mengunjungi Indonesia. Mereka repot-repot kembali ke negeri bekas jajahannya demi satu tujuan: mempelajari sepak bola Indonesia yang telah memiliki Galatama (Liga Sepak Bola Utama). Timnas Indonesia juga menghancurkan mereka dengan skor 4-0, lewat skuat yang dipimpin libero andalannya, Ronny Pattinasarani.
Bukan bermaksud mengenang masa indah yang telah lewat, tetapi lagi-lagi ini merupakan contoh bagaimana suatu bangsa bisa membangun sesuatu dari nol. Mereka tanpa rasa sungkan belajar ke negara seperti Indonesia, demi membangun sesuatu yang mereka pikir perlu dikembangkan.
Ada satu hal spesial dari bangsa Jepang di mata saya: mereka bangsa yang tidak malu mengadopsi produk budaya dari luar, tanpa celetukan macam ‘itu produk asing!’, lalu mengemasnya kembali dengan cara mereka sehingga menjadi sesuatu yang khas Jepang.
Perlu contoh? AKB 48 beserta deretan sister group-nya seperti JKT 48. Kostum yang menjadi identik dengan idol group sebenarnya adalah kostum pelayan Prancis. Begitu pun irama musiknya, meski mengacu kepada shibuya-kei, tetapi jika ditelaah secara mendalam merupakan persenyawaan unsur kawaii dengan pop baroque-nya Serge Gainsbourg atau Phil Spector.
Begitu pun di genre musik lain seperti J-rock, J-shoegaze (yang bahkan menafsirkan ulang genre ini sehingga menjadi salah satu kiblat nu-gaze), hingga belakangan: Babymetal.
Trio yang menyebut musiknya sebagai kawaii-metal ini awalnya memang mendapat cibiran dari kaum metal puritan. Tetapi karena mereka berhasil membuktikannya dengan kualitas, mereka justru mendapat apresiasi (serta endorsement) dari band-band metal top dunia.
Belakangan, virus Babymetal menghajar tanah kelahiran musik metal: Inggris. Mereka memulai tur dunianya dari sana, dan pada 2016 lalu menutup rangkaian konsernya di Wembley.
Berbicara tentang Inggris, yang juga tempat kelahiran sepak bola modern, J.League baru saja mendapat angin segar dari sana. Perusahaan asal Inggris, Perform Group, membeli hak siar digital Liga Jepang senilai 2 miliar dolar (jangka waktu sepuluh tahun).
Anda mungkin tidak familiar dengan nama Perform Group. Tetapi bagaimana jika saya sebut nama-nama seperti Goal.com atau Opta? Ya, mereka adalah induk dari dua nama tersebut yang beroperasi di digital sport. J.League akan bisa dinikmati lewat salah satu anak perusahaan mereka, DAZN, yang khusus menyediakan layanan live streaming.
Kerjasama yang diresmikan pada 20 Juli 2016 ini akan menyiarkan seluruh pertandingan Liga Jepang di tiga kasta liga yang ada. Ini tentu menjadi modal penting melihat tetangga yang juga pernah mereka jajah, Cina, sedang mengalami lonjakan besar sepak bola lewat Chinese Super League-nya.
Sekadar ilustrasi, pada 2010 jumlah rata-rata kehadiran penonton di stadion J.League sejumlah 19.000 orang per laga. Pada 2015, jumlah tersebut mengalami penurunan, di bawah 18.000 orang per laga. Sepak bola merupakan olahraga nomor dua setelah bisbol di negeri Sakura.
Melihat kehebohan transfer pemain di Liga Cina, sebenarnya tidaklah mengagetkan. Jika mengesampingkan kebangkitan ekonomi dan ambisi sang presiden, pola itu juga dilakukan Jepang saat baru memulai J.League di awal 1990-an. Kita mengenal pemain-pemain top dunia seperti Zico dan Gary Lineker yang hijrah berkarier di sana. Yang menjadi fokusnya bukan hanya kehadiran bintang dunia, tetapi bagaimana perekrutan tersebut memberi dampak positif bagi sepak bola Jepang.
Kalau hanya berpatokan pada perekrutan bintang dunia, Mario Kempes dan Roger Milla pun pernah mencicipi kompetisi sepak bola nusantara. Tetapi dampaknya tidak signifikan. Kempes bahkan pernah mencoba karier sebagai pelatih di Pelita Jaya. Sistem dan kemauan seluruh pihak yang membuat sepak bola Jepang menjadi salah satu kekuatan di Asia.
Selain itu, Jepang dan klub-klub yang ada juga piawai dalam mengemas sepak bola sebagai komoditas. Di video ekslusif Football Tribe, Japanese Stadia Pilgrimage episode 1, Anda bisa mengetahui bahwa sepak bola berfungsi sebagai hiburan yang dikemas dengan profesional. Menurut penuturan Cesare Polenghi, tiap tahun mayoritas klub-klub J.League mengumumkan jargon baru tim.
Saya yakin itu pula yang mendasari pihak Perform Group untuk membeli hak siar J.League. Orang-orang Jepang sanggup membuat kompetisi yang berkelanjutan, bahkan dengan sombongnya memiliki sistem penilaian klasemen yang berbeda dengan sepak bola konvensional.
Seperti halnya Babymetal yang di awal kemunculannya mendapat beribu cacian dari metalhead, formula racikan sendiri ditambah kemauan keras, membuat nama mereka wara-wiri di berbagai festival musik dunia. Babymetal bahkan mendapat banyak penghargaan, contohnya dari media ternama seperti Kerrang!, yang mendaulat mereka sebagai Best live acts 2016. Di malam penghargaan pun mereka diberi kesempatan bernyanyi bareng dedengkot metal, Rob Halford (vokalis Judas Priest).
Musik dengan sepak bola memang tidak bisa disamakan. Yang pertama begitu lekat dengan selera subjektif seseorang. Sementara sepak bola adalah hiburan yang dinilai berdasarkan kualitas yang dapat dihitung: skor, poin, peringkat klasemen. Mustahil masyarakat Inggris akan berduyun-duyun meninggalkan Liga Primer Inggris lalu beralih menikmati J.League.
Kerjasama ini saya pikir membuat J.League kembali ‘mencuri’ masa depan. Tayangan streaming diyakini akan menggantikan siaran televisi konvensional. Kita tahu, Netflix telah membuktikannya. Pelanggan era sekarang ternyata tertarik saat mereka diberi keleluasaan dalam memilih dan melihat (lewat TV atau gawai) tontonan.
Cina mungkin baru mencuri perhatian lewat angka transfer yang fantastis. Namun, apakah bakat-bakat sepak bolanya mampu menarik perhatian klub-klub Eropa, atau melonjaknya prestasi timnas, adalah pertanyaan yang belum bisa terjawab. Jepang dengan kurun waktu singkat (sejak J.League pertama kali dihelat) langsung bisa mewakilkan timnya ke Piala Dunia 1998.
Lewat Babymetal dan J.League, Jepang telah sanggup membuat Inggris berpaling. Saya khawatir hal ini akan membuat orang-orang di atas sana juga menargetkan hal serupa. Contohnya, kehendak menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia. Ambisisus, tapi terkesan seperti kelakar! Sama seperti seorang ‘diva’ pop Indonesia yang koar-koar ingin “go International”, atau band-band yang merasa bangga pernah konser di negeri jiran padahal mayoritas penontonnya buruh migran.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com