Kolom Nasional

Surat untuk Raphael Maitimo

Dear Raphael Maitimo,

Bagaimana kabarmu? Semoga kamu baik-baik saja. Semoga semua beban yang mengganggu pikiranmu beberapa minggu terakhir sudah hilang. Ya, saya rasa setelah mengucapkan salam perpisahan dengan PSM, kamu sudah merasa tenang. Kamu tinggal berkonsentrasi untuk memilah-milah tawaran dari klub-klub lain.

Saya dengar kamu sangat cinta Indonesia dan sangat ingin membawa klub yang kamu bela untuk menjadi juara Liga Indonesia. Saya juga mendengar bahwa ini dipicu rasa patah hati karena kamu gagal membawa Arema juara di liga musim lalu.

Beruntunglah klub baru yang akan mendapatkan kamu nanti.

Saya juga berharap karier kamu sukses ke depannya. Kamu pemain hebat yang punya masa depan cerah. Apalagi kamu lulusan akademi Feyenoord bareng Robin van Persie. Wah, kurang apa lagi kehebatan kamu, ya?

Saya sebagai seorang penggemar sebenarnya ingin mengakhiri surat saya di sini saja. Namun, saya harus melanjutkan karena saya merasa punya kewajiban moral tertentu.

Saya lahir di Ujung Pandang. Sekarang Ujung Pandang sama seperti Atlantis, keduanya sudah tak ada lagi di muka bumi. Tidak setragis Atlantis, Ujung Pandang cukup berganti nama saja. Nama kota itu sekarang adalah Makassar. Kota ini kota pelabuhan juga, persis seperti Rotterdam, kota kelahiranmu. Bahkan, di Makassar ada benteng peninggalan Belanda bernama Fort Rotterdam.

I totally understand it’s going to be Rotterdam first, but can we please just say Makassar second?

Oh ya, saya seharusnya bilang di awal bahwa saya pendukung setia PSM. Saya ingin mewakili ribuan pendukung PSM yang heran, bingung, dan tak sedikit yang kesal atau marah. Kenapa kamu tak betah di Makassar?

Padahal berdasarkan hasil wawancara prestisius dengan salah satu media sepak bola nasional terkemuka, kamu bilang PSM adalah tim terbaik di Indonesia. Kamu juga senang karena saat ini PSM dilatih seorang ahli taktik hebat yang sama-sama berasal dari Belanda bernama Robert Rene Alberts.

Lantas, kenapa kamu pergi meninggalkan latihan terpusat PSM di Bali? Kamu bahkan pergi tanpa permisi seperti seekor kucing, padahal di Makassar kamu bukan hanya disambut hangat oleh jajaran manajemen, pelatih dan pemain PSM, melainkan oleh semua warga Makassar.

Akhirnya, saya dan rekan-rekan pendukung PSM menyadari alasan kepergianmu, wahai Antimo.

Eh maaf, tadi saya typo, ya? Tadinya saya ingin menulis ‘Maitimo’, tapi malah yang tertulis ‘Antimo’. Ah, kebanyakan pendukung PSM yang kesal dengan kelakuanmu memang sudah mengganti namamu menjadi Antimo. Mungkin bagi PSM dan segenap pendukungnya, memang kamu pil pahit yang mau tidak mau harus ditelan, seperti Antimo, obat anti mabuk perjalanan itu.

Kami akhirnya menyadari alasan kepergianmu. Kau sebutkan dalam penyataan perpisahanmu bahwa, “ada perbedaan teknis bagaimana saya akan dimaksimalkan oleh PSM.” Dari penyataan yang terkesan arogan itu sudah terlihat bahwa dirimu ternyata tidak siap menerima peran apabila peran itu bukan ‘peran maksimal’. Saya bukanlah seorang pesepak bola, tapi yang saya tahu, pemain profesional mau tidak mau haruslah siap diberi porsi peran seperti apa pun, meskipun peran itu ‘minimal’.

Lagipula, dirimu sudah menekan kesepakatan yang tertuang resmi di atas kontrak. Entah bagaimana kelanjutan nasib kontrakmu yang hanya berjalan sebulan itu, biarkanlah menjadi urusanmu dengan manajemen PSM. Kami sebagai pendukung dan pemerhati PSM sudah menyimpulkan satu hal.

Sebagai pemain yang mengaku profesional, sikapmu mengecewakan. Lini tengah PSM memang sudah dipadati pemain-pemain nasional berkualitas. Ada Rasyid Bakri, ‘pangeran Juku Eja’ yang dianugerahi penghargaan bergengsi Pemain Tengah Terbaik kompetisi musim lalu. Lalu ada Rizky Pellu dan Syamsul Chaeruddin yang sama-sama pernah membela tim nasional. Belum lagi Asnawi Mangkualam, gelandang berusia 18 tahun yang sekarang sedang mengikuti seleksi tim nasional U-22.

Belum lagi jika kita membahas Wiljan Pluim, playmaker kami asal Belanda. Namun, bukan berarti tak ada tempat bagimu jika kamu berkerja keras untuk bersaing. Atau, apakah lulusan akademi Feyenoord sepertimu memang enggan bersaing dengan Pluim yang lulusan akademi Vitesse Arnhem?

Ah, berarti memang sudah saatnya kamu pergi dari PSM. Masyarakat Sulawesi Selatan percaya kekuatan kerja keras. Tak ada gunanya pendukung PSM meratapi kepergianmu. Jika bersaing untuk merebut posisi inti saja sudah tidak mau, bagaimana mau bersinergi bersama tim untuk bersaing merebut gelar juara?

Saya sempat respek ketika kamu menyatakan kesediaan membela tim nasional Indonesia untuk Piala AFF 2012. Terlebih lagi ketika kamu mencetak gol ke gawang Laos pada pertandingan pertama. Di saat kualitas pemain-pemain naturalisasi pada saat itu serendah Toni Cussel dan Johnny Van Beukering, penampilanmu cukup memberi angin segar.

Sayang, kepergianmu tanpa permisi mencemari respek yang sudah terbina itu. Setahun terakhir, PSM sedang berbenah dengan mengurus kontrak dan pembayaran gaji pemain secara profesional. Kepergianmu mencoreng nama baik klub kami seolah klub kesayangan kami yang tak mampu memenuhi hak-hakmu, padahal CEO PSM sudah mengklarifikasi kenyataannya bukan begitu.

Selain itu, kamu selalu mengaku bangga menjadi orang Indonesia, padahal sikapmu yang kabur tanpa permisi sama sekali tak mencerminkan kesopanan yang dijunjung tinggi masyarakat negeri ini. Sudahlah, memang lebih baik kamu dan PSM berpisah jalan saja.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.