Kolom Eropa

Daniel Güiza: “Manusia” Terakhir yang Menjadi El Pichichi  

Sejak munculnya duo makhluk bernama Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo di Liga Spanyol, membuat sepak bola di Iberia ini seakan-akan lupa betapa sulitnya bagi seorang pemain mencetak lebih dari 25 gol di satu musim kompetisi.

Torehan gol mereka memang luar biasa. Sejak musim 2010/2011 sampai sekarang, rasio gol El Pichichi (julukan top skor Liga Spanyol) tak pernah lebih rendah dari 1 gol/pertandingan. Rekor tertinggi tercatat atas nama Messi dengan rasio 1,4 gol/pertandingan.

Sebelum era Leo dan CR7, sebutan akrab kedua makhluk tadi, terakhir kali El Pichichi memiliki rasio minimal 1 gol/pertandingan adalah di musim 1997/1998. Christian “Bobo” Vieri yang saat itu berseragam Atlético Madrid mencetak 24 gol dari 24 pertandingan.

Ironisnya, dari nama-nama yang telah disebutkan tadi, tidak ada satupun yang berkewarganegaraan Spanyol. Lalu, kapan terakhir kali El Pichichi dimenangkan oleh pemain asli Spanyol?

Jawabannya ada di musim 2007/2008. Pria bernama lengkap Daniel González Güiza, atau yang lebih dikenal dengan Dani Güiza, mencetak 27 gol dari 37 penampilannya bersama Real Mallorca di La Liga saat itu. Dengan rasio gol 0,73 gol/pertandingan, Güiza kembali mengharumkan nama bangsa di negeri sendiri, setelah gelar El Pichichi yang dimenangkan pemain asli Spanyol terakhir kali direngkuh oleh Diego Tristán pada musim 2001/2002. Tristán saat itu menjadi bagian di masa keemasan Deportivo La Coruna.

Kembali ke Dani Güiza, meskipun memiliki predikat sebagai top skor, dirinya tidak dengan mudah mendapat panggilan dari Luis Aragonés untuk memperkuat timnas Spanyol di Piala Eropa 2008. Pada akhirnya, nama Güiza tercantum di daftar skuat La Furia Roja di Piala Eropa 2008 untuk melapis David Villa dan Fernando Torres.

Meskipun di akhir turnamen La Furia Roja sukses menjadi kampiun, namun partisipasi Güiza tidak banyak. Ia hanya bermain sebanyak tiga kali. Dua diantaranya membuahkan gol saat melawan Yunani di fase grup dan saat melawan Rusia di semifinal. Pada saat melawan Italia di perempatfinal, ia gagal menunaikan tugasnya sebagai algojo dalam babak adu penalti yang dimenangkan Spanyol 4-2.

Setelah gelar top skor yang didapat dan sukses membawa Spanyol juara Euro 2008, harga jual Güiza di bursa transfer pun melonjak. Transfermarkt mencatat bahwa harga jual pemain setinggi 182 sentimeter itu naik menjadi 10 juta euro.

Dengan umurnya yang saat itu telah menginjak 27 tahun dan performa yang sedang menanjak, Mallorca tidak pikir panjang lagi ketika tawaran transfer senilai 14 juta euro datang dari Fenerbahçe. Per tanggal 1 Juli 2008, Güiza resmi berseragam kuning-hitam dan melanjutkan kariernya di Liga Turki.

Selama tiga tahun membela Sari Kanaryalar, julukan Fenerbahçe, Güiza menorehkan 23 gol dari 62 pertandingan. Jumlah yang tergolong sedikit bagi pemain yang pernah menyandang predikat top skor liga domestik.

Performa yang terus menurun membuat manajemen Fenerbahçe tidak memperpanjang kontraknya di akhir musim 2010/2011. Pada tanggal 1 Agustus 2011, Güiza kembali bergabung dengan klub lamanya di Spanyol sebelum membela Real Mallorca, yaitu Getafe.

Karier Güiza memang pernah cemerlang bersama Getafe. Di bawah arahan Bernd Schuster sejak pertengahan 2005 hingga 2007, Güiza tampil trengginas dengan raihan 27 gol dari 70 penampilan. Jumlah yang tidak sedikit bagi pemain yang baru menginjak usia 25 tahun saat itu.

Güiza dan Bernd Schuster memberikan kontribusi besar pada Getafe. Pada musim 2005/2006, Getafe sempat menembus jajaran tujuh besar klasemen, padahal mereka baru saja promosi setahun sebelumnya. Getafe juga sukses menembus final Copa del Rey pada musim 2006/2007 setelah comeback luar biasa melawan Barcelona. Di leg pertama Getafe kalah 2-5, namun di leg kedua mereka melibas Barca dengan skor 4-0. Kesuksesan menembus final Copa del Rey membuahkan tiket masuk sebagai kontestan di Piala UEFA 2007/2008.

Akan tetapi, periode kedua Güiza di Getafe tidak berjalan mulus. Dikontrak selama tiga tahun, pada musim pertama ia hanya mencetak 3 gol dari 15 pertandingan. Pada November 2012, ia dipinjamkan ke Johor Darul Ta’zim FC (JDT), klub kontestan Malaysia Super League. JDT saat itu memang sedang membangun ulang klubnya pascapelantikan presiden klub mereka yang baru, Pangeran Tunku Ismail Idris. Nahas, penampilan Güiza tidak impresif dan ia harus rela masa peminjamannya diputus lebih awal. Güiza pun kembali ke Getafe.

Pada akhir musim 2012/2013, Getafe tidak memperpenjang kontraknya dan melego Güiza ke Cerro Porteno secara gratis. Di klub Paraguayan Primera Division tersebut Güiza menetap selama dua tahun, kemudian kembali ke Spanyol dengan membela Cádiz CF di Segunda Division sampai sekarang.

Perjalanan karier yang memilukan bagi seorang mantan El Pichichi. Jika di umur 36 tahun pemain-pemain top Eropa yang pernah menjadi top skor di liga domestik sedang menikmati limpahan uang di liga-liga pensiunan, Güiza justru meredup. Tenggelam di kompetisi papan bawah jelang masa pensiunnya.

Tapi orang setidaknya layak mengingat betul Güiza, manusia terakhir yang menjadi top skor di liga yang kini bahkan dijejali nama-nama makhluk seperti Gareth Bale, Antoine Griezmann, Neymar hingga predator ulung dari Uruguay, Luis Suarez.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.