Melalui keterangan resminya, pimpinan PSSI, Edy Rahmayadi, mengumumkan bahwa kick-off kompetisi reguler level tertinggi sepak bola Indonesia, Liga 1, akan mundur dari jadwal yang semula direncanakan akan mulai bergulir pada 26 Maret. Ketua umum PSSI yang baru terpilih tersebut menyebutkan bahwa mundurnya jadwal kompetisi karena ingin memberikan waktu kepada seluruh klub peserta agar lebih siap menghadapi kompetisi mendatang.
Sang Jenderal beranggapan bahwa ia tidak mau setengah-setengah menggelar kompetisi. Ia memberikan kesempatan bagi seluruh klub yang dirasa masih belum siap untuk mengarungi kompetisi reguler mendatang. Karena permasalahan lain pun masih belum terselesaikan. Yaitu soal operator yang nantinya akan menggulirkan kompetisi. Ada wacana bahwa nantinya kompetisi reguler sepak bola Indonesia akan dikelola oleh operator yang dipimpin oleh tenaga asing. Meskipun jajaran direksinya tetap diisi oleh warga negara Indonesia.
Mengejutkan? Ya misalnya tidak terkejut ada baiknya kita pura-pura pura saja terkejut. Meskipun kabarnya hanya mundur satu bulan saja. Karena konon, rencananya, kick-off akan diselenggarakan pada 26 April. Penundaan dimulainya kompetisi reguler ini tentu akan memberikan dampak beruntun. Bahkan sebenarnya yang terkena kesulitan bukan saja kesebelasan-kesebelasan yang ada di level tertinggi.
Meskipun yang menjadi bahasan hangat adalah mundurnya kick-off dari Liga 1. Dengan penundaan dimulainya Liga 1, maka otomatis kompetisi-kompetisi lain dibawahnya pun tentu mengalami penundaan. Ini berarti Liga 2, Liga 3, dan kompetisi usia muda pun ikut tertunda. Situasi seperti ini menjadi sangat sulit.
Penundaan ini memungkinkan kompetisi akan berjalan lebih padat karena dimulai lebih terlambat. PSSI pasti mengejar tenggat waktu pengiriman nama tim yang akan berlaga di Liga Champions Asia dan AFC Cup yang bahkan sudah memulai babak kualifikasi mereka pada bulan Januari 2018. Bulan November dan Desember biasanya menjadi waktu bagi setiap negara mendaftarkan para perwakilan negara mereka untuk berlaga di kompetisi Asia. Belum lagi verifikasi tim yang akan memakan waktu. Jangan sampai kejadian yang menimpa Persib Bandung dan Persipura yang kabarnya terlambat didaftarkan ke AFC untuk mengikuti kompetisi Asia kembali terulang di waktu mendatang.
Beberapa kompetisi lain di benua Asia rata-rata memang berakhir pada bulan Desember. Namun mereka sudah menjalankan kompetisi mereka sejak bulan Januari atau bulan Februari. Bahkan tetangga kita di Malaysia Super League dijadwalkan akan mengakhiri kompetisi mereka pada bulan Oktober 2017.
Dengan dimulai efektif pada akhir April, maka hanya akan ada 7 bulan untuk menjalankan kompetisi. Hal ini terbilang padat sekali untuk kompetisi level tertinggi yang akan diikuti 18 tim peserta. Ini berarti akan ada 322 pertandingan dalam 214 hari. Tetapi jumlah hari ini belum belum dikurangi hari libur nasional dan juga tentunya bulan suci Ramadhan yang akan dimulai pada 26 atau 27 Mei.
Padatnya jadwal tentu akan berimbas kepada kebugaran pemain. Dengan perhitungan yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bisa dibuat perkiraan bahwa setiap tim mungkin akan bermain dalam tiga pertandingan per sepuluh hari. Ditambah masalah jarak tempuh yang berbeda ketika setiap tim sedang melakukan laga tandang. Jarak dari Jakarta ke Serui, misalnya, bukan seperti jarak dari London ke Manchester yang bisa ditempuh dengan waktu satu jam saja. Dengan jarak perjalanan yang jauh tentu para pemain membutuhkan waktu istirahat yang lebih agar mencapai tingkat kebugaran yang tepat untuk bermain.
Molornya kompetisi ini juga berpengaruh terhadap keuangan klub. Penundaan ini berarti segala yang berhubungan dengan kontrak mulai dari pemain, pelatih, biaya transportasi, pengunaan lapangan latihan dan bertanding, akan mundur juga dari waktu yang ditentukan sebelumnya. Dengan demikian klub tentu harus mencari dana tambahan untuk pengeluaran berlebih ini.
Penundaan ini memang diharapkan agar setiap klub peserta menjadi lebih siap untuk mengarungi kompetisi. Waktu lebih ini tentu bisa digunakan untuk mencari sponsor, mencari homebase, dan tentunya mencari pemain untuk melengkapi skuat yang sudah ada. Harapan besarnya tentu menyoal kelebihan waktu ini adalah mengantisipasi permasalahan yang sudah-sudah.
Ada satu hal yang menggelitik sekali bagi penulis. Satu dekade lalu, di tangan orang-orang yang konon korup bukan main, Indonesia mampu menggelar dua kompetisi domestik sama seperti kebanyakan negara di Eropa. Satu kompetisi reguler panjang berbentuk liga dan satu kompetisi lain berbentu piala (Copa Dji Sam Soe/Piala Indonesia). Bahkan satu dekade lalu, kompetisi dengan berbagai tingkat (setidaknya) bisa berjalan.
Sekarang, mengurus satu kompetisi saja rasanya sulit bukan main, ya?
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia