Generasi saat ini mengenal Persipura Jayapura sebagai tim terbaik di Indonesia. Kehebatan kesebelasan asal Papua tersebut bahkan sudah diakui hingga daratan Asia. Anda bisa bertanya kepada seluruh tim di Indonesia di seluruh level kompetisi, soal siapa tim yang paling ditakuti. Mayoritas, atau mungkin semua, akan menjawab satu nama: Persipura Jayapura.
Persipura benar-benar digdaya di milenium baru ini. Mereka sudah menjadi juara nasional sebanyak empat kali. Ditambah satu gelar lagi yang diraih pada tahun 2016 lalu, bahkan bisa dibilang diraih dengan cara yang mengesankan.
Tim berjuluk Mutiara Hitam tersebut berhasil keluar sebagai Torabika Soccer Championship (TSC). Padahal, mereka memiliki start yang buruk bahkan sampai melakukan pergantian pelatih. Kesuksesan tersebut juga seakan menggambarkan bahwa Persipura sudah menguasai betul arena sepak bola Indonesia.
Tapi jauh sebelum era superioritas seperti sekarang ini, Persipura awalnya tidak terlalu diperhitungkan. Tim dengan nama Persipura Jayapura pun bisa dibilang baru. Mereka baru berdiri pada tahun 1963. Meskipun tim PON Papua beberapa kali meraih medali emas, nyatanya Persipura Jayapura di era klasik tidak terlalu terdengar gaungnya. Prestasi terbaik mereka adalah menjadi runner-up kompetisi Perserikatan pada tahun 1980.
Perlu menunggu hingga 10 tahun sejak unifikasi kompetisi (Perserikatan dan Galatama) hingga kemudian Persipura berhasil menjadi juara. Keberhasilan Persipura menjuarai Liga Indonesia pada tahun 2005 menggambarkan banyak hal. Bukan saja memperkenalkan Persipura sebagai kekuatan baru sepak bola Indonesia, tetapi juga menunjukan bahwa tim dari wilayah timur pun juga hebat.
Persipura mendobrak dominasi dan superioritas dari kesebelasan-kesebelasan asal Pulau Jawa. Gelar juara di tahun 2005 ini juga merupakan yang pertama kali diraih Persipura di level tertinggi sepak bola Indonesia. Gelar yang menjadi titik awal dominasi Mutiara Hitam di kancah sepak bola Indonesia.
Peran besar MR Kambu
Karena sangat terinspirasi oleh peran besar Acub Zaenal ketika menjadi Gubernur Irian Jaya (nama Papua di era orde baru) terhadap bidang olahraga di sana, walikota Jayapura kala itu, Menase Robert Kambu atau yang biasa disebut MR Kambu memiliki harapan bisa meneruskan apa yang dilakukan oleh Acub Zaenal.
Dengan semangat yang sama ia berharap melalui olahraga bisa meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Papua yang selama ini sering didiskreditkan karena tidak meratanya pembangunan dan kurangnya perhatian pemerintah pusat untuk Papua.
Karena kala itu klub masih merupakan bagian dari pemerintah daerah, otomatis MR Kambu saat itu juga merangkap sebagai ketua umum Persipura. Ia merasa kesuksesan tim PON Papua berhasil meraih medali emas di PON XVI Palembang mesti dilanjutkan kembali ke level klub. Langkah awal yang diambil oleh MR Kambu adalah mengamankan bakat-bakat terbaik eks punggawa PON seperti Christian Worobay, Ian Louis Kabes dan Korinus Fingkrew. Dan juga, sang wonderboy saat itu, Boaz Solossa yang memperkuat Indonesia di Piala Tiger (kini Piala AFF) 2004.
Langkah tersebut diambil karena menurut pandangan MR Kambu, Persipura sulit juara karena para pemain berbakat mereka banyak “dicuri” oleh tim lain selepas membela PON Papua.
Terhitung hanya Ricardo Salampessy, bintang tim PON Papua yang tidak masuk gerbong yang dibawa oleh MR Kambu. Ricardo kemudian bermain di Persiwa Wamena di Divisi Satu pada musim tersebut. Membawa tim Badai Pegunungan promosi ke Divisi Utama. Sekaligus menyabet gelar pemain terbaik.
Untuk pelatih, MR Kambu kemudian mengontrak Rahmad Darmawan. Mantan asisten pelatih timnas tersebut sukses membuat Persikota Tangerang menjadi tim yang sulit ditaklukkan. Terlebih, Rahmad dikenal sebagai pelatih yang mampu mengasah bakat-bakat muda.
Awalnya tidak ada satupun pihak yang mengunggulkan Persipura, lantaran tergabung di Wilayah Timur. Di sana sudah ada banyak tim-tim kuat lain seperti Petrokimia Putra, PSM Makassar, Persik Kediri, dan sang juara bertahan Persebaya Surabaya.
Namun, keberhasilan tim yang kala itu dipimpin oleh kapten flamboyan, Eduard Ivakdalam, saat mengalahkan Petrokimia di pekan pertandingan kedua dengan skor tipis 1-0, mengirimkan sinyal ancaman bahaya bagi tim-tim lain.
Sempat kalah dari PSM Makassar di stadion Mattoangin pada 21 Mei 2005 dengan skor 2-1, Persipura selanjutnya bisa memperbaiki hasil pertandingan dan melesat jauh. Sepanjang bulan Juni dan Juli, Persipura tidak terhentikan. Mereka kemudian keluar sebagai juara Wilayah Timur dengan selisih perbedaan satu poin saja dari peringkat kedua, PSM Makassar.
Di babak delapan besar, Persipura yang tergabung dengan PSMS Medan, Persik Kediri, dan Arema Malang, melakukan sapu bersih. Mereka tidak terkalahkan sepanjang babak delapan besar. Atas hasil ini mereka berhak atas tiket lolos ke partai puncak yang digelar di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.
Banyak yang menyebutkan bahwa kesuksesan Persipura di musim tersebut adalalah bukti dari kecerdasan taktikal seorang Rahmad Darmawan. Di era tersebut, formasi 3-5-2 sedang sangat populer di Indonesia. Bak kacang goreng yang laris, hampir semua tim menggunakan skema ini ketika bertanding. Sayangnya, kebanyakan tim hanya menggunakan skema ini hanya sekadarnya saja.
Sementara skema 3-5-2 milik Rahmad Darmawan pada musim tersebut bisa dibilang lebih variatif dan adaptif. Ia tidak menempatkan tiga gelandang tengahnya secara sejajar. Seringnya dalam beberapa kesempatan, ia menempatkan gelandang bertahannya entah Marwal Iskandar atau David Da Rocha di posisi yang lebih dalam. Ini membuat posisi tersebut sentral karena akan menjadi poros utama ketika tim menghadang serangan lawan dan juga bersiap untuk melakukan serangan balik.
Dalam beberapa kesempatan lain juga, posisi Eric Mabenga atau Eduard Ivakdalam akan ditempatkan tepat di belakang dua penyerang. Yang memungkinkan daya serang tim menjadi lebih baik berbahaya lagi.
Terbukti, sang kapten Edu Ivakdalam bisa dibilang cukup produktif di musim tersebut. Total ia menyarangkan sembilan gol dan dua diantaranya disarangkan di babak delapan besar yang kemudian meloloskan Persipura ke partai puncak.
Malam sensasional di Gelora Bung Karno
Lawan Persipura di partai final Liga Indonesia 2005 adalah Persija Jakarta. Sama seperti Persipura, Persija melaju ke partai final dengan mengesankan. Mereka adalah pemuncak klasemen Wilayah Barat. Dan berhasil mengalahkan semua lawan-lawan mereka di babak delapan besar.
Mereka kemudian menjadi favorit untuk membawa pulang piala. Apalagi karena laga dilangsungkan di Jakarta. Mayoritas penggemar yang datang kala itu memang lebih banyak didominasi oleh tim yang berseragam oranye tersebut.
Hal tersebut kemudian menjadi kenyataan karena Agus Indra kemudian berhasil membawa Macan Kemayoran unggul pada menit ke-10. Persipura kemudian berhasil menyamakan kedudukan melalui aksi Boaz Solossa. Persija kemudian kembali unggul pada menit ke-55 setelah sepakan keras Francis Wewengkang tidak mampu dihentikan oleh Jendri Pitoy. Persija sepertinya akan keluar sebagai juara, karena bahkan hingga menit 80 upaya Persipura untuk menyamakan kedudukan selalu kandas.
Rahmad kemudian melakukkan keputusan berani. Ia kemudian mengganti Boaz yang selalu kesulitan melewati hadangan sang abang, Ortizan Solossa. Rahmad mengganti Boaz dengan penyerang muda lain, Korinus Fingkrew. Hasilnya, Korinus berhasil menyamakan skor untuk Persipura. Tandukkannya memanfaatkan sepak pojok Eduard Ivakdalam berhasil menjebol gawang Hendro Kartiko.
Pertandingan kemudian harus berlanjut ke babak tambahan waktu. Edu Ivakdalam kembali berperan untuk gol Persipura. Eksekusi bola matinya kali ini berhasil dimanfaatkan oleh penyerang muda lain, Ian Louis Kabes.
Melalui tendangan bebas, Edu mengirimkan bola ke tiang jauh. Para pemain Persija menyangka bola akan keluar. Tapi kemudian terhenyak, karena Ian Kabes tiba-tiba muncul dan menyambar bola. Hingga wasit meniupkan peluit tanda pertandingan berakhir, Persija tidak mampu menyamakan kedudukan dan pertandingan berakhir dengan skor 3-2 untuk anak-anak Papua.
Peluit panjang dari wasit Purwanto seakan menjadi penanda bahwa juara baru telah lahir. Sekali lagi, final yang digelar pada 25 September 2005 itu juga menjadi pertanda lahirnya kekuatan baru sepak bola Indonesia. Yang pasti, pesta juara yang dilakukan di Gelora Bung Karno pada tahun 2005 lalu memang adalah yang pertama kalinya bagi Persipura. Tetapi, itu juga bukanlah pesta juara terakhir yang mereka lakukan.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia