Kolom Eropa

Liga Super Eropa yang Terus Merongrong UEFA

Wacana mengenai pelaksanaan Liga Super Eropa kembali menghangat. Setelah pertandingan antara Celta Vigo melawan Real Madrid dibatalkan karena masalah cuaca buruk, media Spanyol AS melaporkan bahwa presiden Madrid, Florentino Perez marah karena hal ini dan mengancam akan keluar dari La Liga.

Pertandingan tersebut dibatalkan karena hujan besar yang melanda wilayah Galicia yang mana Celta Vigo berada di wilayah tersebut. Hujan besar ini telah melanda kawasan selama beberapa hari.

Pertandingan antara Deportivo La Coruna dan Real Betis juga ditunda karena atap stadion rusak oleh cuaca buruk ini. Hujan deras yang disertai angin kencang ini sampai merenggut dua nyawa.

Pihak La Liga tidak bisa memberi kepastian kepada Madrid terkait keberlangsungan laga. Pihak Madrid telah mengajukan beberapa opsi agar pertandingan tetap berjalan sehingga tidak mengganggu jadwal ketat Madrid, di antaranya untuk memindahkan venue pertandingan ke tempat lain yang tidak terdampak cuaca buruk.

Sid Lowe dari Guardian (6/2) menerangkan bahwa kekecewaan tersebut dikarenakan Madrid hendak merenggangkan jarak dengan Barcelona di klasemen sementara La Liga. Barcelona, yang berhasil menang atas Athletic Bilbao, kini hanya terpaut satu poin dengan anak-anak asuhan Zinedine Zidane tersebut.

Madrid sangat yakin bisa memenangi pertandingan karena Celta Vigo diperkirakan akan menurunkan skuat lapis kedua mengingat mereka akan menjalani partai semi final melawan Alaves di ajang Copa Del Rey besok (8/2). Celta Vigo bisa melenggang ke fase tersebut setelah menumbangkan Madrid di babak perempat final.

Ini disinyalir menjadi peluang untuk Perez menggaungkan kembali ide pelaksanaan Liga Super Eropa. Bencana ini menjadi sasaran empuk kubu Madrid untuk menunjukkan kepada publik bahwa La Liga tidak kompeten menjalankan liga untuk klub sebesar Madrid.

Mainan orang kaya

Dalam sejarahnya, usul pelaksanaan Liga Super Eropa telah terkuak sejak tahun 1998. Kompetisi ini akan mempertemukan setiap klub terbaik di Eropa dan hanya diikuti 16 tim. Ide tersebut kemudian mentok karena UEFA memperbesar jangkauan Liga Champions sehingga diikuti lebih banyak klub.

Pada 2009, setelah kembali menduduki jabatan Presiden klub, Perez kembali berkomentar tentang pelaksanaan Liga Super Eropa.

Dikutip dari Telegraph (5/7/2009), Perez memberi pernyataan, “Kita harus menyetujui Liga Super Eropa yang menjamin bahwa yang terbaik akan bertemu dengan yang terbaik, hal yang tidak terjadi di Liga Champions.”

Ide tersebut terus ‘dibicarakan’ di belakang layar karena sudah pasti klub-klub yang memiliki hasrat untuk membentuk liga tersebut akan mendapat perlawanan dari penyelenggara liga maupun federasi sepak bola Eropa, UEFA.

Tak pelak ini menjadi tekanan bagi UEFA. Per Agustus 2016, telah diputuskan prosedur baru Liga Champions yang mulai berlaku musim depan. Prosedur tersebut menjamin empat pemuncak klasemen di empat liga dengan koefisien terbaik (La Liga, Bundesliga, Premier League, dan Serie A) langsung mendapat tempat di fase grup Liga Champions.

Sebelumnya, klub yang menempati urutan ke-4 di EPL harus menjalankan babak play-off dengan perwakilan negara-negara Eropa dengan nilai koefisien di bawah empat liga tersebut. Sementara untuk Serie A, babak play-off berlaku untuk klub di posisi 3 dan 4.

Dengan adanya peraturan baru ini, maka kesempatan bagi klub Eropa antah berantah seperti FC Midtjylland (Denmark) dan FC Astana (Kazakhstan) untuk mencicipi kemewahan Liga Champions semakin sulit tercapai.

Peraturan ini juga membuat tim yang menjuarai Liga Europa langsung memasuki fase grup, tidak perlu menjalani babak kualifikasi seperti yang berlaku selama ini.

Banyak pengamat yang mengatakan bahwa langkah ini dibuat UEFA untuk menyenangkan klub-klub teratas dari keempat negara pemuncak koefisien UEFA tersebut.

Sebagai informasi, di balik gemerlap Liga Champions, uang yang didapat klub-klub dari kompetisi ini masih dianggap belum proporsional (dengan penghasilan yang didapat UEFA dari sponsor).

Marca (6/2) menyebut bahwa dari nilai kontrak hak siar televisi saja, Liga Champions memiliki nilai sebesar 1,5 milyar euro. Masih menurut Marca, klub-klub yang diindikasikan berhasrat untuk menyelenggarakan kompetisi ini adalah: Barcelona, Real Madrid, Atletico Madrid dan Sevilla dari LaLiga; Manchester City, Chelsea, Manchester United, Arsenal dan Liverpool (Premier League); Juventus, Milan, Inter dan Napoli (Serie A); Bayern Munchen, Borussia Dortmund dan Bayer Leverkusen (Bundesliga) dan PSG, Marseille serta Lyon (Ligue 1).

Kajian pasar (market studies) yang dilaksanakan klub-klub menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2 miliar pecinta olah raga di seluruh dunia. 1,6 miliar merupakan penggila si kulit bundar, sementara  American Football hanya ditonton oleh 150 juta kepala. Pasar sepak bola memang begitu besar.

Pemain termahal Arsenal, Mesut Ozil turut memberikan komentarnya terkait hal ini. Ia berkata bahwa Liga Champions harus terus menjadi kompetisi dengan persaingan terbuka, sehingga peraturan anyar UEFA berlawanan dengan hal yang diyakini Ozil.

Seperti yang dikutip dari ESPN FC (7/2), Ozil berkomentar, “Tim-tim kecil sebaiknya harus tetap memiliki kesempatan untuk dapat bertarung melawan tim-tim besar.

“Ini mesti tetap dijaga bahwa setiap negara dapat mengajukan klubnya bermain di Liga Champions maka dengan demikian memiliki kesempatan untuk menyaksikan bintang-bintang dunia (di negaranya).”

Dalam bisik-bisik

Lebih lanjut, gelandang keturunan Turki ini juga mengomentari Liga Super Eropa yang menurutnya tidak baik untuk sepak bola secara umum. Dalam kesempatan yang sama, Ozil menandaskan, “Jika Anda mengubah terlalu banyak hal, itu akan membahayakan sepak bola. Yang sekarang sudah bagus.”

Berkebalikan dengan pendapatnya, Arsenal tercatat telah mengikuti pertemuan dengan klub-klub top Liga Primer yang konon dianggap sebagai upaya untuk membicarakan Liga Super Eropa.

Pada 2 Maret 2016, Guardian melaporkan bahwa perwakilan dari lima klub top Inggris (Man. United, Arsenal, Chelsea, Man. City, dan Liverpool) telah mengadakan pertemuan di sebuah hotel di London.

Pertemuan tersebut diadakan oleh miliarder asal Amerika Serikat Stephen Ross yang tahun lalu menyelenggarakan turnamen pra-musim bertajuk International Champions Cup.

Dari kelima klub yang hadir, hanya Arsenal yang memberikan pernyataan resmi kepada pers untuk menjawab kecurigaan publik ini. Juru bicara Arsenal yang tidak disebutkan namanya itu menolak dugaan ini dan berkata, “Kami menolak keras upaya apapun untuk minggat dari liga yang ada. Tidak Arsenal, tidak pula klub-klub yang ada di pertemuan, berupaya untuk mengubah Premier League dan lanskap kompetisi Eropa serta tidak ada pula pembicaraan seputar Premier League atau menyelenggarakan Liga Super Eropa.”

Hal-hal di atas tentu membuat UEFA kelabakan. Legitimasi mereka sebagai badan tertinggi sepak bola di Eropa terus dirundung ancaman dari kekuasaan klub-klub yang semakin besar.

Sederhana saja, tanpa klub-klub top ini, Liga Champions tentu tak semenarik seperti saat ini. Hal itu akan berpengaruh pula pada pendapatan yang dapat dicapai UEFA.

Rupanya tren Euroscpetic yang mengancam masyarakat Uni Eropa juga melanda masyarakat sepak bolanya. Kita tunggu saja bagaimana kelanjutan gonjang-ganjing ini. Apakah klub-klub besar turut mengambil langkah Inggris, yang keluar dari Uni Eropa tahun lalu dan memberi kejutan yang membuat pusing kepala UEFA?

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com