Meskipun mengundang banyak pro dan kontra, PSSI berencana untuk melakukan naturalisasi setidaknya terhadap enam pemain yang bermain di luar negeri namun memiliki keterikatan dengan Indonesia. Jumlah enam ini sendiri nyatanya membengkak karena PSSI berencana melakukan naturalisasi terhadap tujuh pemain lain yang sedang melakukan trial bersama klub asal Spanyol, Valencia.
Ezra Walian, produk akademi Ajax Amsterdam ini menjadi salah satu pemain yang sudah memberikan lampu hijau untuk memperkuat timnas Indonesia. Ezra yang berdarah Manado dan berposisi sebagai penyerang ini sebelumnya sudah memperkuat Belanda di level usia 15 hingga 18 tahun. PSSI juga berencana menaturalisasi dua pemain yang berkarier di Italia, Leonardo Pace (Lazio) dan Emil Audero Mulyadi (Juventus).
Ketimbang Pace yang asing di telinga publik sepak bola Indonesia, nama Emil Audero Mulyadi sudah lama terdengar gaungnya. Ia kini tercatat sebagai kiper ketiga Juventus setelah Gianluigi Buffon dan Neto. Sejak terkuak pada tahun 2012 bahwa Emil memiliki darah Indonesia, karier hingga kehidupan pribadinya mendapatkan pantauan khusus dari Indonesia. Ia kini menjadi salah satu pemain yang diinginkan PSSI untuk dinaturalisasi. Lalu bagaimana peluang Emil untuk memperkuat Indonesia?
Dalam beberapa kesempatan, meskipun mengakui sangat rindu keluarganya di Indonesia, terutama Lombok yang menjadi tempat tinggal ayahnya. Emil dengan tegas menyatakan bahwa ia hanya akan memperkuat timnas negara ibunya, Italia.
Emil tercatat sudah memperkuat Italia di berbagai level usia. Kini ia memperkuat timnas Italia di kelompok usia 19 tahun. Dengan usia yang sangat muda dan saat ini memperkuat tim terbaik di Italia, akan absurd melihat Emil Audero berminat berpanji merah putih ala timnas Indonesia. Karena sudah sangat wajar Emil memilih untuk memperkuat timnas negara ibunya ketimbang negara sang ayah yang bahkan peringkat 100 besar FIFA pun tak sampai. Tapi, celah untuk itu masih ada.
Salah satu alasan yang utama adalah soal kesempatan bermain yang dimiliki oleh Emil kalau kelak ia naik kasta di kelompok senior. Emil mungkin saat ini masih sangat muda dan merasa bisa bersaing dengan siapapun. Apalagi ia kini merupakan salah satu penggawa tim tersukses di Italia dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Namun persaingan menuju posisi kiper utama Italia tidak semudah itu. Ia mesti bersaing dengan banyak sekali kiper hebat lain. Gianluigi Buffon mungkin baru akan menanggalkan posisi kiper utama Italia bertepatan dengan waktu pensiun dirinya. Namun selepas Buffon, masih ada kiper senior lain yang akan memperebutkan posisi kiper utama Italia.
Mulai dari Salvatore Sirigu, Federico Marchetti, Emilio Viviano, dan Andrea Consigli. Di kategori usia muda pun Emil tidak sendirian. Sudah ada Mattia Perin, Pierluigi Gollini, dan tentunya sang kiper berbakat Milan, Gianluigi Donnarumma. Terlebih lagi, Emil jelas paham bagaimana sulitnya mendongkel posisi Gigi Buffon yang sudah melegenda di Juventus dan Italia. Ini masih ditambah dengan sederet kiper muda yang akan bersaing dengannya kelak.
Peluang memang ada meskipun agak sulit. Karena nyatanya, perjalanan panjang dari level usia muda ke level senior seringnya memakan korban. Para penikmat sepak bola sendiri sudah sangat mengetahui banyak sekali wonderkid yang kemudian padam dan gagal mekar seketika mereka bermain di level senior. Dan tidak ada yang tahu bagaimana masa depan Emil, apakah ia mampu selamat ketika sudah bermain di level senior atau tidak.
Mereka yang kemudian mengubah keputusannya
Kasus Emil sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya sudah ada nama-nama lain yang awalnya menolak untuk memperkuat salah satu dari dua tim nasional yang tersedia untuk mereka. Karena alasan yang hampir serupa dengan Emil. Negara yang lain bukan merupakan negara besar terutama dalam urusan sepakbola. Kasus seperti ini memang sering terjadi bagi pemain yang memiliki orang tua dengan dua kewarganegaraan atau mereka-mereka yang melakukan migrasi.
Salah satu yang terbaru adalah Wilfried Zaha yang memperkuat Pantai Gading di Piala Afrika lalu. Zaha sebenarnya sudah lama dipanggil oleh negara Afrika tersebut. Namun ia menolak karena masih menunggu kesempatan untuk dipanggil oleh timnas Inggris. Negara tempat ia dan keluarganya menetap sejak lama. Karena dirasa kesempatan tak kunjung datang, Zaha akhirnya menerimpa panggilan dari Pantai Gading.
Kawan seangkatan Samir Nasri di Marseille, Karim Ziani pun melakukan hal yang serupa. Ia sempat memperkuat timnas Prancis usia muda. Berbeda dengan Nasri yang kemudian berkesempatan terus tampil hingga level senior, Ziani kemudian memutuskan untuk memperkuat Aljazair negara asal orang tuanya.
Kasus serupa juga terjadi kepada banyak sekali pesepak bola putra imigran yang menetap di Jerman seperti Roman Neudstater yang kemudian memperkuat Rusia, Omer Toprak yang kemudian memperkuat Turki, dan Eric Maxim Choupo-Mouting yang kemudian memperkuat Kamerun.
Meskipun menyatakan bahwa memperkuat Ghana adalah panggilan hati sekaligus menghargai asal muasalnya, apabila diperhatikan kembali, alasan Kevin-Prince Boateng yang akhirnya memperkuat Ghana juga bisa jadi hal yang serupa.
Sementara itu di kawasan Asia juga sempat ada kasus serupa. Jong Tae-Se, yang oleh beberapa media di Asia dilabeli sebagai Wayne Rooney-nya Asia, kemudian memilih memperkuat timnas Korea Utara karena tak kunjung dipanggil untuk memperkuat timnas Jepang.
Maka, Emil Audero Mulyadi mungkin saja memperkuat timnas Indonesia andai ia tak kunjung mendapatkan panggilan dari timnas senior Italia. Atau nanti, ketika ia sudah berusia 30 tahun ke atas dan karier sepak bolanya sedang sangat stagnan dan tidak kemana-mana.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia