Posisinya sama, kewarganegaraannya sama, awal kariernya juga sama-sama dijalani di ibu kota, nomor punggungnya sama, dan gaya bermainnya mirip. Melihat Alessio Romagnoli berdiri di jantung pertahanan Milan memang seperti melihat Alessandro Nesta mengatur lini belakang I Rossoneri.
Kedua pemain tersebut adalah tipe bek yang jarang ditemukan. Mereka lihai merebut bola dan memiliki kemampuan distribusi yang baik. Ball-playing defender merupakan sebutan populer untuk peran yang dijalani keduanya.
Kemampuan langka tersebut tidak langsung mereka dapatkan sejak memulai karier di tim junior. Mengatur ritme permainan dari lini belakang dan melakukan seleksi umpan yang tepat adalah atribut dasar seorang gelandang dan jika seorang bek dapat melakukan hal itu dengan baik, maka bisa dipastikan dia telah mengalami beragam perubahan posisi saat menimba ilmu di akademi.
Ketika bakatnya ditemukan oleh Francesco Rocca, salah satu pemandu bakat Roma, Nesta kecil bukanlah seorang bek. Ia lebih senang mengolah bola di kakinya daripada merebut bola dari kaki lawan. Itu dilakukannya sejak memulai karier juniornya di Lazio pada tahun 1985 hingga menembus skuat senior I Biancocelesti delapan tahun kemudian.
Di masa jayanya, Nesta adalah kepingan pelengkap lini belakang Il Diavolo Rosso. Jika Paolo Maldini dikenal dengan celana bersihnya karena ia jarang melakukan tekel dan lebih memilih untuk merebut bola dengan penempatan posisi yang tepat, Nesta adalah pemain dengan celana penuh noda.
Ia tak ragu melancarkan tekel untuk melakukan cover yang baik apabila sang kapten gagal menahan laju serangan lawan. Akan tetapi, tekel yang dilakukan Nesta bukan sekadar tekel. Dengan timing yang tepat serta gerakan yang halus tapi mematikan, Nesta tidak hanya merebut bola, tapi mengambil alih kepemilikan bola tersebut untuk diberikan pada rekannya. Bukan dengan long pass, tapi umpan pendek, layaknya seorang gelandang.
Alessio Romagnoli sejak kecil bermain sebagai gelandang, tapi di usia 9 tahun, posisinya digeser ke bek tengah oleh Sandro Tovalieri, pelatih tim muda AS Roma. Insting Tovalieri mengatakan bahwa Romagnoli akan lebih berbahaya jika ia bisa mengirim umpan dari lini belakang.
Romagnoli tak keberatan dengan posisi barunya. Ia terus berlatih mengasah kemampuan bertahannya tanpa mengurangi kelihaiannya dalam mengirim umpan. “Elegan, sangat berteknik, dan sanggup membawa bola hingga tengah lapangan”, ujar Tovalieri memuji penampilan Romagnoli.
Ketika bek setinggi 185 sentimeter ini memulai karier juniornya, Nesta sedang berada di masa jayanya. Tidak ada yang memprediksi kalau keduanya akan mengenakan nomor punggung yang sama dengan balutan seragam merah-hitam suatu saat nanti. Hingga akhirnya, di bursa transfer awal musim 2015/2016, Romagnoli datang ke Milanello di masa kepelatihan Siniša Mihajlović.
Ia berada satu gerbong dengan pemain mahal lainnya seperti Carlos Bacca dan Andrea Bertolacci. Dana 75 juta euro dikeluarkan untuk menebus ketiganya, dengan Romagnoli berada di posisi kedua pemain termahal dalam daftar rekrutan anyar Milan saat itu.
Tuntutan di San Siro saat itu sangat tinggi. Milan sedang membangun ulang kekuatan mereka karena tiga tahun sebelumnya selalu menjadi pesakitan di liga domestik dan hanya mampu mendatangkan pemain pinjaman ataupun gretongan. Ketika dana besar itu cair dan Romagnoli datang, harapan sebagai suksesor Nesta pun ikut membayangi.
Ekspektasi besar itu selalu mengiringi pemain kelahiran 12 Januari 1995 ini sejak ia datang ke Milan, layaknya supir pribadi yang selalu menemani majikannya. Di musim sebelumnya, ia meroket bersama Sampdoria di usia yang baru menginjak 21 tahun. Ketenangannya berada di atas rata-rata pemain seusianya dan satu poin penting lainnya: ia bagus dalam mengoper. Namun, harapan sebagai suksesor sang legenda itu belum berbuah kenyataan hingga kini.
Nesta dan Romagnoli adalah dua tipe bek yang serupa tapi tak sama. Sang legenda yang 10 tahun membela Milan adalah bek dengan gerakan yang halus, sedangkan sang penerus nomor punggung 13 ini lebih kasar. Romagnoli sering telat melakukan tekel dan berbuah pelanggaran. Ia juga beberapa kali lebih memilih beradu badan dengan lawannya untuk merebut bola. Meskipun begitu, bukan berarti kualitas Romagnoli berada jauh di bawah idolanya itu.
Menurut saya, ada dua poin yang menjadi keunggulan Romagnoli.
Saat diasuh Mihajlović, Romagnoli belajar bagaimana mengambil keputusan yang tepat. Menjadi ball-playing defender tak selamanya harus merebut bola untuk diolah menjadi serangan balik atau membangun serangan dari bawah. Dalam beberapa situasi, ada kalanya membuang bola jauh ke depan lebih baik daripada memberikannya pada rekan terdekat.
Nasehat Mihajlović ini memang didasari oleh gaya bertahannya semasa aktif sebagai pemain. Legenda Lazio ini terkenal dengan cara bermainnya yang lugas dan pragmatis. Ia tak melulu mementingkan penguasaan bola, meski ia juga mahir memainkan bola di kakinya. Safety first, istilah kerennya.
Pelatih Romagnoli saat ini, Vincenzo Montella, juga turut andil dalam perkembangan kariernya. L’Aeroplanino menanamkan sifat berani pada anak asuhnya ini untuk naik hingga garis tengah lapangan di situasi tertentu. Penguasaan area vertikal ini sangat penting dilakukan Romagnoli karena ia memiliki olah bola yang bagus, untuk menunjang penjagaan area horizontal yang sudah ia lakukan dengan baik.
Alessandro Nesta dan Alessio Romagnoli adalah dua pemain yang berbeda karakter. Meski keduanya memiliki banyak kesamaan seperti yang saya sebutkan di paragraf pembuka, bukan berarti keduanya akan menempuh jalan hidup yang sama.
Satu hal yang pasti, jalan terjal akan dilalui Romagnoli musim ini. Ia baru saja sembuh dari cedera paha, dan harus bersaing dengan Mateo Musacchio dan Cristián Zapata untuk menemani sang kapten, Leonardo Bonucci, di jantung pertahanan Milan.
Karier Nesta sebagai pemain kini telah sampai di garis finis, sedangkan Romagnoli memiliki dua opsi untuk menempuh perjalanan kariernya. Duduk di samping supir pribadinya dan menikmati perjalanan melelahkan mengikuti ekspektasi untuk menyamai level permainan Nesta, atau mengambil alih kemudi untuk dikendarainya sendiri menuju gaya bermain yang sesuai dengan seleranya.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.