Kolom

Ti Amo, Fantantonio!

Dari sekian cara beberapa penulis mendeskripsikan Antonio Cassano, kolom lawas Glenn Moore di Independent tahun 2012 lalu adalah yang paling saya suka. Ia mendeskripsikan pemuda Bari tersebut dalam tiga kata, gluttony, girls and goals. Makanan, seks dan sepak bola.

Bila Zlatan Ibrahimovic begitu terobsesi dengan gelar juara sampai-sampai ia rela berpose dengan bangga di depan Piala EFL (Piala Liga Inggris) dan memasukkannya dalam rekap gelimang trofi bergengsinya, Cassano bisa dengan santai mengacuhkan trofi juara sembari menghabiskan dua potong burger dan beberapa gelas soda. Ketika Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi mati-matian bermain sempurna demi prestasi tertinggi untuk legacy yang mereka tinggalkan di sepak bola, Cassano, sang Peter Pan, bisa menyela perjuangan dua pemain hebat tersebut sembari bilang, “Ah, yang betul?”

Ia adalah pemain yang beberapa kali menolak tawaran bermain di Juventus sembari bilang, “Saya empat kali menolak tawaran Juventus. Mereka adalah wanita cantik yang sama sekali tidak membuat saya terangsang”. Namun, ia juga pemain yang bahkan sempat mencicipi menjadi bagian dari skuat Galacticos Real Madrid yang tersohor itu. Aneh, ya? Cassano memang surealis, ia seperti corak lukisan Salvador Dali. Bila pemain Italia lekat dengan elegansi, dari Paolo Maldini hingga Andrea Pirlo, dari Roberto Baggio hingga Francesco Totti, Cassano menawarkan dimensi berbeda.

Ia menyukai uang, karena itu memberinya burger dan wanita, tapi ia tak tertarik dengan piala. Lagipula, kalian membeli makanan dengan uang, bukan dengan trofi, betul? Beberapa menganggapnya anti-hero, tapi saya lebih suka menyebutnya: bocah lelaki dengan prinsip. Untuk pria yang pada tahun 2008 lalu mendaku diri telah meniduri lebih dari 600 wanita, kamu tentu harus angkat topi dengan sosok eks penyerang Sampdoria ini. Cassano tak punya banyak trofi untuk dibanggakan, maka, banggakan apa yang bisa kamu banggakan.

Mengawali karier di klub kota kelahirannya, Cassano muda menghentak publik Italia ketika didatangkan oleh Fabio Capello ke kota abadi, Roma, untuk bermain dengan sang pangeran, Totti. Didatangkan dengan dana konon mencapai 30 juta euro, ia menjadi salah satu pemuda dengan biaya transfer termahal kala itu. Usianya bahkan belum genap 20 tahun ketika berpindah ke Olimpico. Saya rasa, itu layak. Cassano memang istimewa. Pemain bengal, sulit diatur, sesuka hati, pemalas, tapi hebat.

Ia salah satu fantasista terbaik di zamannya. Pemain yang bisa ditempatkan di manapun selama itu menopang ketajaman lini serang. Cassano menawarkan elegansi dan fantasi, sesuai julukannya, Fantantonio. Perilakunya memang kekanak-kanakan, tapi sekali ia menetapkan sepenuh isi kepalanya di atas lapangan, Italia memiliki salah satu pemain nomor 10 terbaik di masanya. Ya, ia berada di tempat yang sama dengan Totti dan Alessandro Del Piero. Sangat mudah dibantah memang, tapi, Cassano memang se-istimewa itu.

Sepanjang kariernya, ia hanya dua kali memenangi Piala Super Italia, satu Scudetto (bersama AC Milan) serta satu gelar La Liga di waktu singkatnya bersama Real Madrid. Loyalitas memang tak ada di aliran darahnya. Ia pernah bermain di Roma, sempat singgah di kedua sisi kota Milan, sempat mendapat tempat istimewa di Sampdoria, dan kini, di usia yang sudah cukup gaek (36 tahun), sang pencinta junk food ini kembali ke Serie A bersama tim promosi, Hellas Verona.

Apakah ia akan kembali memukau Serie A musim depan? Bisa saja, tapi bisa juga tidak. Saya tidak suka membebani ekspektasi pada pundak pemain seperti Cassano. Pemain seperti dia adalah tempat kita untuk duduk tenang di depan televisi dan tak perlu punya ekspektasi apapun. Biarkan ia melakukan apa yang ia mau dan kita tak akan kecewa, karena pemain seperti Cassano, tidak pernah peduli apa kata suporter.

Bagi saya pribadi, sulit untuk tak jatuh cinta pada Antonio Cassano. Untuk pencinta burger dan penggila seks, bisa bermain bersama Real Madrid dan kondang di Serie A, rasa-rasanya tidak akan ada pemain dengan isi kepala dan sikap seperti Cassano dalam beberapa waktu mendatang. Untuk pemain seperti ini, saya merasa harus benar-benar memberi hormat. Bukan hormat antara dua pria dewasa, tapi hormat antara manusia biasa dengan manusia biasa lainnya. Ia pesepak bola istimewa, tapi juga manusia biasa. Mencintai makanan berlemak dan memuja wanita cantik, seperti kita, seperti saya. Seorang mortal.

Selamat ulang tahun, Cassano. Ti amo, Fantantonio!

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis