Timnas Argentina menggunakan skema yang tidak biasa ketika mereka menekuk Singapura dengan skor mencolok, 6-0. Pelatih baru Argentina, Jorge Sampaoli, memang salah satu pelatih dengan fantasi luar biasa terutama soal taktik dan gaya bermain. Juru taktik yang pernah menukangi Sevilla ini membuat Angel Di Maria dan kawan-kawan bermain dengan formasi 2-3-5.
Formasi ini sebenarnya bukan barang baru. Skema ini justru bisa disebut vintage karena datangnya dari masa-masa klasik sepak bola. Formasi 2-3-5 ini berkembang pada tahun 1890-an. Sering disebut sebagai formasi “Piramida”, yang awalnya merupakan standar yang dipakai tim-tim asal Inggris hingga kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Formasi ini juga dipakai ketika Uruguay berhasil memenangkan Piala Dunia edisi perdana pada tahun 1930. Bisa dibilang formasi 2-3-5 ini adalah salah satu formasi paling awal di dunia sepak bola.
Mari kita sedikit berimajinasi. Dalam hal ini objeknya adalah timnas Indonesia U-22 yang dipersiapkan untuk mengarungi ajang SEA Games 2017 di Malaysia, Agustus nanti. Bagaimana seandainya skuat asuhan Luis Milla ini menggunakan skema 2-3-5? Kita mulai dengan susunan pemain.
Para pemain dalam skema ini kita ambil dari daftar pemain Timnas U-22 yang diikutsertakan dalam dua uji coba melawan Kamboja dan Puerto Riko. Kurnia Meiga tentu menjadi pilihan utama di bawah mistar gawang, apalagi nyatanya, kini ia menjabat sebagai kapten kesebelasan.
Dua pos di sektor pertahanan akan diisi oleh Bagas Adi Nugroho dan Fachrudin Wahyudi yang terus mendapatkan kepercayaan dari Luis Milla. Sementara di posisi halfback, akan diisi oleh Rezaldi Hehanusa, Hanif Sjahbandi dan Hargianto. Sementara lima pemain di posisi penyerangan adalah Saddil Ramdani, Irfan Bachdim, Marinus Manewar, Gian Zola dan Febri Hariyadi.
Dari jumlah pemain di sektor penyerangan saja sudah bisa diasumsikan apabila ini adalah skema berani untuk menyerang habis-habisan. Tetapi pertanyaannya kemudian, seberapa efektifkah formasi ini? Apakah akan cocok dengan gaya bermain Hanif Sjahbandi dan kawan-kawan?
Menyerang total dengan garis pertahanan tinggi
Banyaknya jumlah pemain di area penyerangan sudah tentu menjadi keuntungan tersendiri. Ada banyak opsi dan sudut yang bisa dieksploitasi dengan lima orang di lini serang. Tim bisa membangun serangan secara terus menerus, karena jumlah lima penyerang tersebut memungkinkan tim untuk meredam serangan lawan lebih cepat dan dengan segera mengambil kembali penguasaan bola. Kiri, kanan, tengah, semua area bisa dimaksimalkan dan dieksploitasi.
Marinus Manewar dengan kekuatan tubuhnya sangat cocok bermain sebagai penyerang tengah. Ia bisa menjadi ujung tombak atau dalam situasi lain menjadi pemantul bola bagi rekan-rekannya. Sementara Saddil dan Febri “Bow” menjadi senjata di untuk menyisir sisi sayap. Peran Irfan Bachdim dan Gian Zola bisa menciptakan dimensi penyerangan yang berbeda.
Bachdim dengan kemampuan dan penempatan posisinya bisa sangat baik beroperasi sebagai inside forward. Ia bisa merangsek area tengah pertahanan lawan, sekaligus menjadi penyerang bayangan ketika Marinus ditempel ketat oleh lawan. Bachdim bisa muncul dari lini kedua sebagai opsi lain penyerangan.
Sementara Zola, dengan kualitas operannya, akan membuat bola terus mengalir di area sepertiga akhir bagian penyerangan. Apalagi kemampuannya memindahkan bola bisa menjadi senjata ampuh untuk membongkar pertahanan lawan.
Tetapi segala keputusan selalu ada resiko yang mesti diambil. Memainkan skema seberani ini dengan memainkan lebih banyak pemain di area penyerangan. Tentu membuat ada celah terbuka di area pertahanan. Dengan memainkan skema seperti ini, lini pertahnan kemungkinan hanya akan menyisakan dua bek tengah dan satu atau dua pemain yang berada di posisi gelandang bertahan.
Penyerang lawan mungkin akan kesulitan bergerak karena pengawalnya berjumlah empat sampai lima orang. Akan tetapi dengan garis pertahanan yang tinggi, kemungkinan besar ada celah ketika terjadi serangan balik. Bola langsung dari lini pertahanan lawan, akan langsung mempertemukan penyerang lawan dengan dua pemain yang berperan sebagai bek tengah.
Apalagi dengan area sayap yang relatif berlubang karena tidak ada pemain yang benar-benar bermain di posisi tersebut. Hal ini tentunya berbahaya. Masih segar dalam ingatan bagaimana sisi sayap Indonesia dieksploitasi oleh Vietnam dan Thailand di Piala AFF 2016 lalu. Memakai fullback saja sudah kepayahan, apalagi ini secara kasat mata tidak dipakai sama sekali.
Maka cara terbaik tentunya adalah bagaimana lima pemain depan bisa langsung meredam atau memutus serangan lawan. Salah satunya, dengan menugaskan Febri dan Saddil untuk sesegera mungkin memutus serangan lawan yang dibangun di area sayap atau melakukan trackback ke belakang.
Para gelandang bertahan memang bisa melakukanya, tapi itupun hanya sebatas covering. Bukan memang melakukan tracking terhadap pergerakan lawan di area sayap.
Luis Milla memang menginginkan anak asuhnya bermain lebih cepat dan penuh determinasi. Maka sebenarnya skema ini bisa saja sesuai untuk Timnas U-22. Apalagi mengingat adanya catatan kurang baik soal produktivitas mereka, maka memainkan lima orang di posisi penyerangan seperti di skema 2-3-5 tampaknya adalah sesuatu yang masuk akal.
Pertanyaannya, beranikah Luis Milla bermain lebih terbuka?
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia