Suara Pembaca

Sepak Bola sebagai Agama dan Radikalisme di Dalamnya

Pernyataan berupa football is religion mungkin sudah tak asing lagi kini. Sepak bola telah menjadi ‘keyakinan’ yang dipeluk lebih dari ratusan juta penduduk bumi. Sejarah klub dijadikan sebagai panduan bak kitab suci, para pemain andalan dipuja laiknya seorang nabi, serta prestasi dan trofi menjadi bukti mukjizat yang hakiki.

Fenomena sosial ini juga merambah ke Indonesia. Setiap akhir pekan, seorang suporter akan duduk manis depan televisi untuk beribadah menyaksikan klubnya bertanding. Sesekali dia bergabung bersama para pemeluk klub yang sama untuk sekadar nonton bersama di kafe atau pos ronda.

Sedangkan untuk penganut klub liga minoritas, mereka biasanya rela streaming walau harus melalui rintangan seperti internet yang pergerakannya lebih lambat daripada seekor kukang. Apapun itu, bagi mereka ibadah harus tetap jalan. Semua ini dilakukan demi harapan mendapat pahala berupa poin setiap minggu. Sungguh kehidupan umat yang taat.

Sayangnya, ketaatan dalam sepak bola ini sangat berpotensi menghadirkan radikalisme. Ya, keyakinan yang kuat bisa membuat seseorang menganggap klubnya lebih benar dan suci dibanding klub lain. Ketika klubnya dihujat oleh seseorang karena sering kalah, maka dia akan naik ke atas mimbar, berceramah dengan semangat berkobar, lalu meminta pembenaran dari sesama pemeluk klub agar si penghujat dihukum.

Mungkin hukuman yang paling lazim adalah persekusi dengan cara mem-bully secara sistematis melalui media sosial. Keroyokan di belakang layar memang lebih mudah, bukan?

Tak hanya itu saja, para suporter radikal beberapa klub tertentu biasanya juga merasa iman mereka sudah sangat tinggi saat klub kesayangan mereka diperbolehkan masuk ke takhta suci Liga Champions. Maklum, jadwal sembahyang mereka jadi bertambah satu hari dibanding pemeluk klub lain. Belum lagi mereka bakal diiringi lagu pujian Liga Champions yang begitu syahdu. Kudus sekali.

Hal yang (hampir) sama juga berlaku bagi pemeluk klub-klub Liga Malam Jumat. Bisa dikatakan iman mereka sudah sedikit meningkat karena berhasil mencapai halaman ‘surga’ Eropa. Menurut kutipan sebuah ayat sepak bola, peringkat lima dan peringkat enam masih halal.

Sangat disayangkan pencapaian dua kelompok suporter ini terkadang membuat mereka menjadi pribadi yang tinggi hati. Tak jarang mereka berperilaku intoleran terhadap suporter klub lain yang imannya masih suam-suam kuku karena hanya sebatas beribadah di liga domestik, begitu juga terhadap klub medioker lain yang harus kena sweeping degradasi. Sungguh terlalu.

Radikalisme pula yang membuat mereka kerap bersikap menghakimi dan meng-kafir-kan individu-individu ateis, yaitu sekelompok orang yang menjalani hidup di jalur luar sepak bola. Padahal, merupakan hak masing-masing setiap orang untuk menjadi religius atau tidak.

Grup ateis tentu tidak bisa disalahkan hanya karena mereka tidak memiliki ketertarikan mendalami spiritualitas olahraga kulit bundar ini. Buat mereka, sepak bola hanya sekadar hiburan empat tahun sekali saja, Piala Dunia contohnya.

Radikalisme yang mengakar tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap orang lain di sekitar, tetapi juga untuk diri mereka pribadi. Beberapa suporter sepak bola terkadang harus mengalami perang batin dan peer pressure akibat klub yang mereka imani, misalnya, mencari pasangan. Mereka secara tak langsung merasa dituntut memiliki pasangan yang sealiran atau satu sekte agar selalu bisa diajak nonton bersama dalam waktu susah dan senang.

Coba bayangkan, kamu seorang Cules yang diundang ke ibadah nonton bersama sambil menggandeng pasangan seorang Madridista. Mau dibilang sesat sama umat?

Walau demikian, untungnya masih banyak pasangan beda ‘sekte’ yang tetap langgeng sampai sekarang. Ada seorang anak di dunia nyata yang memiliki ayah Juventino garis keras serta ibu yang merupakan penggemar berat AC Milan dan Marco van Basten. Meski sang anak harus memilih antara klub tujuh final dan klub tujuh trofi Liga Champions, atau mungkin memilih pilihannya sendiri, dia tetap bersyukur bahwa beda aliran sepak bola tidak membuat keluarganya pecah.

Oke. Balik lagi soal radikalisme dalam sepak bola. Sebenarnya sudah banyak suporter yang merasakan  sendiri efek radikalisme ini, tetapi mereka tetap teguh memeluk sepak bola sebagai kepercayaan. Karena mereka, yang bukan para karbitan, benar-benar tahu, sepak bola merupakan sebuah bagian dari identitas yang mereka tentukan secara sadar sejak dulu.

Sepak bola adalah agama olahraga yang memang mereka gandrungi murni atas dasar cinta, bukan karena tradisi atau paksaan dari keluarga, bukan hanya karena ini adalah semata-mata sebuah agama yang pantas dibela.

Author: Kezia Saroinsong (@Keppuccino)
Penulis dan penikmat cappuccino yang terus optimistis kalau Milan bisa punya presiden wanita dan kembali juara Liga Champions.