Bahaya terbesar bagi sepak bola adalah selera untuk “terus mengembangkan dan menciptakan semakin banyak kompetisi, semakin banyak pertandingan,” kata Juergen Klopp saat menjawab salah satu pertanyaan The Independent menjelang final Liga Champions.
Pendukung Manchester United (MU) mungkin mengalami apa yang pernah dirasakan pendukung Liverpool beberapa tahun yang lalu. Melihat tim bermain jauh dari standar atau mungkin standar kompetitor yang meningkat, sedangkan MU mandek dan pembelian pemain yang jauh dari ekspektasi.
Jangankan trofi, melihat rekrutan mahal bermain bagus saja sudah istimewa bagi para Mancunian. Salah satunya adalah Alexis Sánchez.
Pertanyaannya, mengapa sering kali kita melihat performa pemain sepak bola menurun drastis dalam waktu singkat?
Burnout, (mungkin) lebih berbahaya dari cedera
Kasus Alexis Sanchez adalah satu dari banyak kasus terkait kelelahan dan kejenuhan pemain. Dunia psikologi menyebutnya sebagai burnout.
Sanchez datang ke MU dengan harapan tinggi. Label juara Copa America dan permainan ciamik saat di Arsenal, diharapkan mampu menjadi solusi singkat bagi The Red Devils. Itulah mengapa MU berani memberikan banderol serta gaji tinggi padanya.
Padahal sudah sejak lama, tepatnya Desember 2014, Arsene Wenger telah mewanti-wanti anak buahnya tersebut. Sang Profesor menyatakan kekhawatirannya di depan umum akan risiko kejenuhan Alexis. Alasannya, saat itu Sanchez (yang akan genap 26 tahun), menolak untuk beristirahat setelah mengantar Chile juara Copa America.
Wenger menyebut pahlawan Chile itu tengah berada pada red zone karena sifat kompetitif serta komitmennya untuk klub juga negara. Wenger menyayangkan sikap tersebut, karena menurutnya “kamu tidak pernah tahu seberapa jauh kamu bisa mendorongnya.” Peringatan tersebut kemudian Wenger ucapkan berkali-kali, namun gemerlap kompetisi tidak pernah mengindahkannya.
Baca juga: 10 ‘Klub Swalayan’ Terbaik di Eropa
Secara ilmiah, burnout telah menjadi kajian lama dalam psikologi. Keith Kaufman, psikolog Universitas Katolik Amerika, menyebut burnout sebagai fase kejenuhan terakhir akibat tekanan yang dirasakan seseorang terkait kondisi fisik dan mentalnya.
National Athletic Trainers Association (2016) menyebut burnout dapat menjadi mekanisme pemicu dalam mengembangkan atau memperburuk gangguan kesehatan mental, yang berdampak negatif pada kehidupan dan hubungan atlet.
Pada puncaknya, burnout membuat seorang atlet ingin berhenti berpartisipasi dalam olahraga yang menurutnya sudah tidak menyenangkan lagi.
Secara umum psikologi menyebut burnout sebagai bentuk stres akut yang mengarah pada tiga hal utama.
Kelelahan fisik dan emosional adalah hal yang pertama terlihat. Kisah Neymar Jr. hari ini saya rasa bisa menjadi penjelasnya. Cedera berulang dan lebih banyak berita perilaku negatif daripada prestasi di lapangan. Perasaan tertekan secara terus menerus dari pihak luar juga akan membuat seseorang mengembangkan perasaan sinis dan merasa terputus dengan ranah sosial (detasemen).
Baca juga: Beragam Metode Penanganan Cedera
Itulah hal kedua yang terjadi ketika seseorang terserang burnout. Banyak sekali contoh pemain yang pernah mengalami hal tersebut. Sebut saja kondisi Gareth Bale saat ini, perangai buruk Raheem Sterling saat masa awal di Manchester City, juga jangan lupakan perilaku negatif Paul Pogba saat kembali ke MU.
Semua pemain mendapatkan beban berat karena banderol mahal. Hal terakhir adalah saat pemain mulai merasa tidak efektif dan kinerja menurun.
Dalam sepak bola, burnout bisa menyerang siapa saja, termasuk pelatih. Haugen (2015) melaporkan setidaknya terdapat satu dari empat pelatih kompetisi top mengalami burnout pada akhir musim.
Tragedi Gary Speed mungkin gambaran yang cukup mengerikan. Begitu juga dengan banyak pemain muda yang gagal bersinar karena tak kuat dengan tekanan.
Apa yang menyebabkannya?
Secara garis besar, burnout dapat muncul karena hal-hal yang menekan baik dari dalam maupun dari luar. Cerita tentang Alexis yang tidak mau mengambil waktu untuk beristirahat adalah jenis pertama. Keinginan lebih untuk selalu berprestasi (need of achievement), merupakan syarat utama menjadi atlet terkemuka.
Masalahnya akan menjadi lain jika tidak ada kontrol sejauh mana keinginan tersebut, karena dalam kasus sepak bola, prestasi mustahil ditentukan oleh individu.
Kasus Alexis Sanchez, Mesut Oezil, dan Gary Speed, mengajarkan kita betapa pentingnya kontrol atas tekanan jenis kedua, yaitu harapan pihak luar. Mulai dari penggemar, klub sampai negara.
“Kami harus mulai berpikir tentang para pemain,” ujar Klopp memperingatkan.
Melihat industri sepak bola berkembang tanpa kontrol, kompetisi tanpa henti, Klopp menambahkan “Jika kita tidak belajar berurusan dengan pemain melalui cara yang lebih baik, dari segi kompetisi, maka itu (kompetisi) adalah ajang luar biasa untuk membunuh keindahan permainan (sepak bola).”
Klopp bahkan memberikan gambaran bahwa seorang juara tinju dunia tidak mungkin untuk bertanding tiap malam.
Messi adalah sebuah fenomena, termasuk dalam hal burnout. Bukan rahasia bahwa Messi memendam ambisi untuk timnas Argentina. Ambisi tersebut membawanya terus bermain sejak tahun 2014 tanpa libur panjang.
Messi mencapai tiga final bersama tim Tango antara tahun 2014 sampai 2016, dan semuanya berakhir dengan kekalahan. Pada level klub, Barcelona juga selalu mencapai fase akhir dalam satu dekade terakhir hampir pada semua ajang yang diikutinya.
Hal tersebut akan berlanjut jika saja ia tidak pensiun dari timnas sampai Piala Dunia 2022. Wajar jika Cesar Luis Menotti, manajer timnas Argentina, mengkhawatirkan kondisi tersebut.
“Sangat menakutkan bagi saya melihat Lionel Messi bermain”, ujarnya ketus mengomentari partisipasi La Pulga dalam Copa America 2019.
Faktanya, performa Messi secara indvidu masih mengagumkan sampai detik ini. Namun sekali lagi, kita tidak dapat memperkirakan sampai kapan dia mampu memacu performa tersebut.
Apa yang harus dilakukan?
Serikat pesepak bola profesional (FIFPro), telah menyatakan keprihatinan mereka atas beban kerja berat yang ditanggung pemain elite untuk memenuhi kewajiban profesional mereka. Awal musim lalu, FIFPro telah memperingatkan setidaknya ada 15 pemain harus bermain kembali untuk klub mereka kurang dari sebulan setelah akhir Piala Dunia.
Bahkan dua di antaranya, Lasse Schone dan Dusan Tadic, harus bermain sampai akhir kompetisi bersama Ajax. Untuk itu, FIFPro mendesak FIFA untuk mengendalikan tren tersebut dengan mengimplementasikan periode wajib istirahat minimal sebulan penuh di luar kompetisi.
Kaufman dalam Washington Post, menyebut langkah untuk mengantisipasi burnout sangat sederhana namun juga rumit, yaitu pemulihan dan pembaruan. Permasalahannya adalah apakah istirahat atau liburan saja cukup?
Dr. Andrew Hill, neurosaintis terkemuka Inggris, mengatakan perlu bagi atlet mengembangkan keterampilan psikologis untuk mengatasi tekanan. Mari kita lihat, apakah lahir Alexis-Alexis baru dalam industri sepak bola.
Dr Hill melanjutkan, “Jika seseorang masih bisa berfungsi dan bermain, itu kemungkinan besar merupakan tanda-tanda awal kelelahan, yang dapat dicegah dengan istirahat dan mengembangkan keterampilan psikologis yang membuat Anda mampu mengatasi stres.”
*Penulis merupakan dosen psikologi. Bisa ditemui di akun Twitter @AkhmadMu