Cerita

Menghentikan Liga Tidak Cukup untuk Mengubah Perilaku Buruk Suporter

Satu lagi kabar duka muncul dari ranah suporter sepak bola. Tewasnya Haringga Sirila akibat dikeroyok secara sadis oleh oknum suporter lawan, memperpanjang daftar perilaku buruk suporter sepak bola. Sebuah tren negatif yang memerlukan kerja sama banyak pihak untuk mengakhiri atau minimal menekan angka kejadiannya.

Sepak bola dan suporter tak bisa dipisahkan, tapi sayangnya suporter dengan tindak kekerasan juga sudah menjadi stereotip negatif tersendiri. Terutama di negara-negara dengan kultur sepak bola kuat seperti Indonesia, Italia, Inggris, dan Argentina, kerusuhan suporter bukanlah hal baru.

Perilaku buruk suporter sepak bola tentunya sangat meresahkan masyarakat. Dengan niatan awal menyaksikan pertandingan klub kesayangan, di tengah perjalanan justru berubah haluan menjadi tawuran masal. Jelang dan atau usai pertandingan jadi ajang pertarungan, darah bercucuran, dan nyawa jadi taruhan.

Sudah tak terhitung lagi manusia yang pulang tinggal nama akibat insiden itu. Jika rivalitas Persib Bandung dan Persija Jakarta saja sudah menewaskan belasan orang, ada berapa jika ditambah pertikaian Bonek dan Aremania, atau suporter klub-klub lain di divisi bawah? Puluhan, mungkin juga ratusan sejak dimulainya sepak bola profesional di Indonesia.

Perbedaan klub idola menjadi alasan utama terjadinya pertikaian. Jersey biru di Kota Kembang bermusuhan dengan jersey merah/oranye di kota seberang, kaus hijau di Kota Pahlawan adalah rival abadi kaus bertuliskan Singo Edan, atau yang mendukung klub berjuluk Super Elang Jawa mustahil berbaur dengan suporter klub berslogan Warisane Simbah.

Sebuah pemahaman konyol, yang dengan lancangnya menodai Bhinneka Tunggal Ika serta Sila Kedua dan Ketiga Pancasila. Semboyan bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan susah payah oleh para pahlawan kemerdekaan.

Atas nama harga diri, memandang suporter lawan dengan penuh rasa benci. Atas nama rivalitas, kemudian menghalalkan kriminalitas. Dan atas nama sepak bola, nyawa jadi tak berharga.

Baca juga: Bentrok Suporter, Kriminalitas Terbalut Rivalitas

Jenderal Edy Rahmayadi

Tidak bisa satu cara

Insiden Haringga Sirila membuat PSSI melakukan tindakan tegas. Federasi memutuskan liga dihentikan sementara sampai waktu yang belum ditentukan, dan diperkirakan selama dua minggu. Apakah itu cara yang tepat untuk mengobati pertikaian suporter yang sudah menjadi wabah menahun?

Bentrok suporter adalah penyakit kronis yang sudah turun-menurun menular ke berbagai generasi. Untuk mengatasinya, butuh obat yang tidak hanya menuju inti persoalan itu saja yaitu suporter, tapi juga ke cabang-cabangnya.

Suporter berbuat anarkis bukan terjadi begitu saja. Pasti ada yang memberi contoh, dan ada sebabnya mereka mau mencontoh. Rendahnya tingkat pendidikan salah satu sebabnya, yang membuat para oknum suporter dengan entengnya berpikir kalau rival abadi adalah musuh yang harus dibasmi.

Padahal, di sepak bola yang disebut adalah lawan bukan musuh. Bahasa Inggris juga membedakan, antara opponent (lawan) dan enemy (musuh). Pemahaman ini yang sering luput atau disalahartikan di sebagian kalangan suporter.

Meluruskan pemahaman yang salah memang butuh waktu, tapi tidak mustahil dilakukan. Memberi contoh dukungan yang baik jadi salah satunya, seperti tidak menyanyikan chants “dibunuh saja” atau yang bernada provokatif lainnya. Tifo dan desain pernak-pernik klub juga bisa jadi cara lain untuk menyingkirkan jauh-jauh doktrin bahwa rival adalah manusia yang harus dienyahkan.

Akan tetapi membenahi perilaku negatif suporter sepak bola tidak bisa hanya dari lingkup sepak bola itu saja. Pendidikan juga memegang peranan penting, disertai budaya santun yang dibiasakan di kehidupan sehari-hari. Perilaku orang dewasa juga memiliki andil, mengingat sebagian besar pelaku kerusuhan adalah usia pelajar yang gemar mencontoh perbuatan para seniornya. Faktor-faktor tersebut bisa membentuk perilaku suporter yang baik, yang sebenarnya jumlahnya juga tidak sedikit.

Itulah mengapa kebijakan menghentikan liga perlu dipertanyakan. Langkah ini tidak menyasar sasarannya secara langsung, yakni suporter. Justru, penghentian kompetisi secara mendadak bisa menimbulkan efek samping bagi kontestan liga.

Baca juga: Suporter adalah Nyawa, Bukan Pemburu Nyawa

Klub perlu mengatur ulang jadwal latihan dan segala rutinitasnya, lalu pemain juga harus bersiap melakoni laga tengah pekan dadakan agar liga bisa selesai tepat waktu. Dikhawatirkan, kebijakan ini dapat berdampak negatif ke persiapan tim nasional jelang Piala AFF 2018 yang akan digelar dua bulan lagi.

Situasi ini memang mirip dengan peristiwa kematian pemain, yang juga membuat kompetisi harus dihentikan sementara waktu. Tapi itu tidak sama dengan dihentikan akibat kematian suporter, karena hal ini seharusnya bisa dicegah sejak dini.

Oke kalau menghentikan liga bisa menjadi titik balik menuju perdamaian suporter, tapi peluang untuk gagal kan juga ada. Oleh karenanya, jeda kompetisi ini jangan dijadikan satu-satunya obat untuk menghilangkan atau minimal menekan angka kerusuhan suporter. Harus disiapkan obat-obat lain untuk membasmi perilaku buruk ini mulai dari akarnya sampai cabang-cabangnya.

Ingat, mereka yang luka-luka dan terenggut nyawanya sebagai suporter sepak bola, tidak hanya terjadi karena pertandingan, tapi juga karena perbedaan logat bahasa kedaerahan, plat nomor kendaraan, atribut kesebelasan, dan petasan.

Sepak bola Indonesia tidak selamanya bercitra buruk. Lihat saja di Asian Games 2018 yang lalu, kita bisa larut bersama dalam kebahagiaan, meskipun terdiri dari beragam perbedaan. Kita pernah berada di masa-masa itu, dan kita pasti bisa mengobarkan kembali semangat itu, berbekal keinginan bersama untuk bersatu.

Baca juga: Andaikan Asian Games 2018 Bisa Diperpanjang…