Medali emas kembali didapat Indonesia di Asian Games 2018 melalui cabang olahraga (cabor) bulu tangkis. Sebuah pencapaian yang belum bisa disamai oleh cabor sepak bola, dan oleh karena itulah sepak bola Indonesia harus belajar dari bulu tangkis.
Bulu tangkis dan sepak bola memang tidak bisa disamakan begitu saja. Dari jumlah pemain sudah berbeda jauh, ditambah sistem penghitungan skor untuk menentukan pemenang. Namun, ekspektasi penonton Indonesia pada keduanya sama: Kita selalu berharap menjadi juara di sepak bola dan bulu tangkis.
Harapan itu bahkan seringkali berubah menjadi keharusan. Target setinggi langit dipasang, dan apabila atlet gagal menggapainya, hari-hari kelam layaknya musibah nasional seakan menyelimuti negara kita tercinta.
Tapi lihatlah, justru bulu tangkis Indonesia yang hampir selalu bisa mencapai ekspektasi itu, sedangkan sepak bola Indonesia senantiasa disibukkan dengan pencarian kambing hitam. Hampir setiap tahun bulu tangkis bisa membuat kita bahagia, ketika sepak bola konsisten menghadirkan duka.
***
Tepat seminggu yang lalu (22/8) Anthony Sinisuka Ginting terbaring di arena pertandingan sambil memegangi paha kirinya. Ia yang sudah tidak dalam kondisi fit, susah payah berdiri dan berusaha tetap bisa melanjutkan pertandingan. Bahkan ketika kakinya tidak mampu menopang tubuhnya, ia menggunakan raket agar tetap bisa berpijak ke tanah.
Apa yang dilakukan Anthony Ginting adalah sebenar-benarnya perwujudan dari olahraga. Saling beradu menjadi yang terbaik dengan lawan, dan tetap menjaga nilai-nilai sportifitas. Ginting pasti tahu cepat atau lambat ia akan memberikan nilai bagi Shi Yuqi, dan meminta jeda waktu untuk mendapat pertolongan medis. Tapi Ginting tidak melepas game-nya begitu saja.
Ia tetap berjuang, tetap berusaha ada di permainan, sampai benar-benar tidak ada yang bisa dia upayakan lagi untuk melanjutkan pertandingan. Tepuk tangan meriah dari penonton kemudian mengiringi ditandunya atlet berusia 21 tahun itu, walau ia dinyatakan kalah.
Mentalitas seperti Anthony Ginting tidak mudah ditemukan di sepak bola Indonesia. Jangankan berjuang sekuat tenaga menahan cedera, pemain tidak sakit apa-apa saja bisa tiba-tiba tersungkur dan meminta perawatan medis.
Alasannya mengulur waktu agar timnya bisa “bernapas”. Alasannya itu menjadi bagian dari strategi untuk memancing emosi lawan. Tapi sadarlah karena bagaimanapun juga, kelakuan itu tidak menunjukkan poin utama olahraga sebagai perbuatan yang mencerminkan kesehatan, perjuangan, dan semangat.
Coba lihat di bulu tangkis. Apa ada atlet yang setelah mendapatkan poin tiba-tiba berguling-guling di lapangan?
Belajar mendukung dari penonton bulu tangkis
Tidak hanya dari segi aktor lapangannya saja, sepak bola Indonesia juga kudu belajar dari sikap para penonton bulu tangkis. Bagaimana etika yang baik saat menonton, dan bagaimana menyikapi kemenangan dan kekalahan dari pihak yang dibela, bulu tangkis menjadi teladan yang sangat baik.
Coba perhatikan dengan seksama. Adakah yel-yel bernada rasis yang disuarakan penonton? Adakah pelecehan terhadap etnis tertentu? Dan apakah perempuan di bulu tangkis dianggap sebagai pemanis semata layaknya perempuan di sepak bola?
Bulu tangkis tidak mengenal kamu dari Malang atau Surabaya, kamu dari Jakarta atau Bandung. Bulu tangkis tidak peduli kamu etnis Cina atau Afrika, tidak pernah mempermasalahkan kamu orang Papua atau Jawa. Dan bulu tangkis, seingat saya, sangat jarang membingkai perempuan dari fisiknya saja atau sebagai “pemeran pembantu”, seperti ramai pemberitaan pesepak bola tercantik dan para WAGs terseksi.
Di bulu tangkis, siapapun yang berprestasi akan diapresiasi. Siapapun yang menuai kekalahan tidak akan dihujani dengan hujatan. Dan siapapun yang bermain di arena ia akan didukung dengan penuh rasa bangga.
Sepak bola dan bulu tangkis pada hakikatnya sama saja. Cabang olahraga yang melibatkan pemain, sejumlah staf dan perangkat pertandingan, serta penonton. Oleh karenanya, jika sepak bola Indonesia juga ingin berprestasi, tirulah bulu tangkis Indonesia, dari segala aspek positifnya.
Mulailah sekarang, mulai hari ini. Tidak hanya para pemain, pelatih, petinggi klub, dan pengurus federasi, tapi kita juga sebagai pencinta olah raga sebelas lawan sebelas ini.