Cerita

Sepak Bola sebagai Simbol Kemanusiaan dan Perjuangan

Ada yang menarik di tribun selatan Stadion Sultan Agung, Bantul, ketika PS Tira bertanding. Di antara bendera-bendera suporter yang kini lebih sering berisi eksistensi kelompok mereka dibanding dukungan terhadap klub yang berlaga, terselip bendera hitam bertuliskan “STOP NYIA #SAVEKULONPROGO”.

Belakangan kehadiran bendera hitam tersebut menjadi perbincangan. Segelintir pihak nampak keberatan dengan kehadirannya. Sebagian beranggapan kehadiran bendera hitam tersebut akan membawa klub kebanggaan mereka pada sanksi yang menanti. Sebagian berpendapat sepak bola yang mereka cinta harus dijauhkan dari gerakan-gerakan di luar sepak bola itu sendiri.

Perlu diketahui sebelumnya, STOP NYIA adalah sebuah gerakan mendukung perjuangan petani pesisir Kulon Progo, Yogyakarta Selatan, mempertahankan haknya. Mereka harus terusir dari rumah dan lahan pertanianya, atau lebih tepatnya terusir dari kehidupan mereka demi ambisi pembangunan aero city. Sebuah proyek pembangunan bandara New Yogyakarta Internasional Airport, lengkap dengan kawasan terpadu pendukungnya.

Sebenarnya ini bukan pertama kali simbol-simbol perjuangan hadir di tribun stadion. Beberapa tahun lalu di Jakarta, juga terbentang bendera “Jakarta Tolak Reklamasi”. Tepatnya di Stadion Utama Glora Bung Karno (SUGBK). Namun nasibnya sama, mendapat penolakan dari beberapa pihak. Ada pula yang menganggap gerakan Jakarta Tolak Reklamasi adalah gerakan politis yang tidak boleh hadir di stadion.

Baca juga: Ironi Daerah Istimewa Yogyakarta di Liga 1

Yang perlu digarisbawahi kedua simbol tersebut adalah simbol perjuangan kemanusian, bukanlah pemberontakan pada pihak tertentu atau sibol-simbol politis yang memang diharamkan dalam sepak bola. Jika di Bantul menggambarkan kepedulian kemanusian terhap nasib petani Kulon Progo, di Jakarta menggambarkan kepedulian pada penduduk pesisir yang terdampak reklamasi teluk Jakarta dan juga terancam mata pencahariannya.

Bila ditarik lebih jauh ke belakang, sepak bola sebagai olahraga dan alat perjuangan memang tidak dapat terpisahkan.

Pada 1893 di Afrika Selatan, Mahandas Karamchand Gandhi atau Mahatma Gandhi mengunakan sepak bola sebagi alat perjuangan menentang ketidakadilan sosial dan diskriminasi terhadap kaum non kulit putih. Gandhi memanfaatkan sepak bola untuk menyampaikan pemikirannya kepada banyak orang.

Di Indonesia, tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, M. H. Thamrin, dan Otto Iskandar Dinata melakukan hal serupa. Mereka memilih sepak bola sebagai alat menyebarkan semangat nasionalisme dan semangat perjuangan bangsa.

Bahkan lahirnya PSSI yang kini menjadi induk sepak bola negeri ini juga berangkat dari semangat perjuangan.

Kala itu, sepak bola dikuasi Hindia Belanda, sedangkan para pribumi terpinggirkan untuk dapat bermain sepak bola. Lapangan-lapangan yang ada dikuasi oleh mereka. Bahkan tidak jarang ditemui papan pengumunan bertuliskan “Verboden voor Inlanders en Hounden” atau “Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing”.

Berawal dari situasi  tersebut munculah perlawanan. Para kaum pribumi mendirikan bond untuk menandingi Hindia Belanda. Kemudian bond-bond ini membentuk klub federasi setiap daerah. Bond sendiri adalah perkumpulan orang yang melakukan kegiatan politik hingga olahraga di zaman Hindia Belanda.

Puncaknya, diprakarsai semangat tujuh klub yang ada, lahirlah PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) pada 19 April 1930 di Gedung Sosited HandePryo, Yogyakarta.

Sebagai wadah persatuan klub sepak bola pribumi, PSSI mengusung semangat penggagasnya, Ir. Soeratin Sosrosoegondo. Beliau sadar betul sepak bola adalah salah satu alat mempersatukan bangsa dengan menjunjung tinggi makna Sumpah Pemuda. Beliau percaya, sepak bola dapat mempersatukan semua golongan untuk melawan kolonialisme.

Dari lini masa yang telah ada jelas tergambar sepak bola lahir dan besar dalam perjuangan. Yang perlu dipertimbangkan adalah perjuangan mana yang dapat disuarakan dalam sepak bola. Jika itu perjuangan atas kemanusian jelas para suporter harus turut mendukung. Sebab sepak bola juga tentang rasa, bukan hanya 90 menit pertandingan yang ada.

Baca juga: Wajah Yogyakarta dalam Sepak Bola