Kamis (23/2) lalu waktu Inggris, menjadi hari yang mengejutkan bagi para pecinta sepak bola. Berita mengenai dipecatnya Claudio Ranieri dari Leicester City menghiasi headline media-media olahraga di seluruh dunia. Bagaimana tidak? 298 hari yang lalu, The Tinkerman, julukan Ranieri, menghebohkan jagat sepak bola dengan membawa Leicester City juara Liga Inggris untuk pertama kalinya. Membalikkan prediksi bursa taruhan dengan koefisien 5000-1.
Mulai hari ini, kita tidak akan melihat lagi sosok bapak berkacamata dan berambut putih yang duduk di pinggir lapangan mendampingi perjuangan The Foxes. Logat Italiano-nya yang kental juga tidak bisa kita dengarkan lagi di wawancara pascapertandingan Leicester City.
Simpati dan dukungan pun datang silih berganti pada Ranieri. Mengungkapkan bahwa ia seharusnya masih diberi waktu. Namun nasi telah menjadi bubur. Keputusan manajemen Leicester City sudah bulat. Kontrak Ranieri diputus di tengah jalan, dengan alasan untuk menghindari degradasi.
Ranieri bukanlah satu-satunya korban ketidakpedulian sepak bola terhadap rasa terima kasih. Hampir empat tahun yang lalu, kisah yang sama juga menimpa Roberto Di Matteo. Kita semua tahu bahwa Di Matteo merupakan pelatih yang membawa Chelsea juara Liga Champions untuk pertama kalinya.
Namun enam bulan setelah pesta di Münich, surat PHK turun dari Roman Abramovich. Lebih menyedihkan lagi, keputusan pemecatan tersebut datang di waktu yang tidak bersahabat, jam empat pagi waktu setempat. Beberapa jam setelah The Blues menelan kekalahan 0-3 dari Juventus di fase grup Liga Champions.
Selain Ranieri dan Di Matteo, banyak nama tenar yang menjadi korban dari “habis manis sepah dibuang” ala sepak bola. Salah satunya adalah produk akademi Real Madrid yang telah mengabdi di klub tersebut selama seperempat abad. Iker Casillas secara mengejutkan memutuskan pergi dari Real Madrid setelah menjadi simbol klub ibu kota Spanyol itu selama 25 tahun. Kalian tentu masih ingat dengan tangisan Casillas saat konferensi pers perpisahannya, bukan?
Di era yang lebih memprioritaskan hasil, sangat sulit menemukan rasa terima kasih di sepak bola saat ini. Jika dilihat dari aspek semiotika, kita bisa mengerti bagaimana kecewanya mereka yang telah membawa klubnya ke masa kejayaan, namun harus tersingkir karena performa yang tak lagi prima.
Semiotika adalah salah satu kajian dalam teori komunikasi. Stephen Littlejohn dalam teorinya, tradisi semiotika, menyebutkan bahwa tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri.
Dalam kajian semiotika, di dalam tanda terdapat makna sebagai bentuk interpretasi pesan yang dimaksud. Konstruksi makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan semiotika.
Sejak beberapa bulan terakhir, raut wajah Ranieri sangat murung. Tak tampak lagi keceriaan serta semangat seperti yang terlihat musim lalu. Cara berjalannya terlihat gontai dan lemas, seakan-akan ia memberi isyarat bahwa sudah tidak ada harapan lagi di klub yang dilatihnya sejak 2015 itu. Gemuruh suporter di King Power Stadium pun tak semeriah musim lalu. Leicester City seakan-akan telah menyiratkan pesan bahwa mereka telah kembali ke jati diri mereka yang sebenarnya: tim papan bawah.
Musim lalu, ketika mendengar kata “Leicester City”, hal yang tersirat di benak kita adalah klub yang akan merengkuh trofi Liga Inggris pertamanya. Kini, nama “Leicester City” kembali identik dengan habitatnya, kandidat degradasi. Fakta-fakta tersebut kemudian menjadi konstruksi makna bahwa harus ada perubahan di tubuh The Foxes, yang berujung pada keputusan manajemen untuk memberhentikan Ranieri.
Hal yang serupa juga menimpa Iker Casillas dan Roberto Di Matteo. Dari tangisannya saat konferensi pers, kita dapat memahami betapa Santo Iker, julukan Casillas, sangat mencintai Real Madrid. El Real telah menjadi rumah keduanya, yang ia huni selama 25 tahun. Namun apa daya, dengan dalih performanya yang menurun selama tiga tahun terakhir, Madrid dengan tega melepasnya ke FC Porto.
Di Matteo pun tentunya juga merasakan hal yang sama. Kabar pemecatan yang ia terima jam empat pagi sudah cukup untuk menginterpretasikan pesan bahwa Abramovich sudah tidak ingin ada dirinya di Chelsea mulai hari itu juga.
Rasa terima kasih dan loyalitas kian sulit ditemukan di era modern saat ini. Tuntutan zaman dan target-target yang semakin tinggi membuat mereka yang tidak mampu berinovasi harus tersingkir dari medan perang, tak peduli betapapun hebatnya mereka dulu.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.