Apa yang kamu rasakan tatkala sedang sayang-sayangnya kepada seseorang, namun dia justru mengkhianatimu?
Segenap perasan tidak enak, mulai dari amarah, benci, patah hati hingga sedih pastilah mengisi relung jiwa. Keadaan itu juga kerapkali membuatmu tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Segala sesuatunya terasa buruk, kacau dan tak elok lagi. Pada titik frustasi yang akut, hidup bahkan (mungkin) tak lagi berarti.
Hanya beberapa hari selepas pagelaran Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia, sebuah kabar yang terasa bak angin puting beliung diterima oleh pendukung Barcelona. Salah satu pemain kesayangan publik Catalonia, Luis Figo, secara resmi berlabuh ke rival bebuyutan, Real Madrid.
Jebolan akademi Sporting Lisbon dan termasuk sebagai anggota Golden Generation tim nasional Portugal di era 1990-an tersebut, mulai mengenakan kostum biru-merah khas Barcelona pada musim 1994/1995. Manajemen Los Cules pada saat itu harus merogoh kocek sebesar 2,25 juta euro agar jasa Figo bisa diamankan.
Nominal yang tergolong masif pada era tersebut rela dikeluarkan Barcelona guna memastikan bahwa tidak ada klub lain yang bisa menggamitnya. Sebab kala itu, Figo juga diminati oleh beberapa kesebelasan lain di penjuru Eropa, mulai dari Juventus dan Parma di Italia sampai Manchester City di Inggris.
Selama merumput di Stadion Camp Nou, kontribusi Figo memang begitu paripurna. Bermain sebagai winger kanan (kadangkala ditempatkan pula di kiri), sosok kelahiran Almada sanggup menghadiahi Los Cules masing-masing dua titel La Liga Spanyol plus satu buah Piala Super Spanyol, Piala Winners dan Piala Super Eropa.
Dirinya juga tampil pada 249 pertandingan serta mencetak 45 gol dalam kurun lima musim. Berkat penampilan ciamik dan gelimang prestasi yang diperoleh Barcelona saat itu, sosok Figo pun jadi idola publik Catalonia.
Salah satu alasan yang bikin suporter Barcelona begitu mencintai Figo adalah kebisaannya menjawab segala harapan yang dibebankan kepadanya. Publik Catalonia bahkan menyebut jika Figo adalah malaikat yang dipersembahkan khusus untuk mengangkat citra dari kawasan yang begitu membenci sentralitas di Spanyol itu.
Namun apa yang terjadi pada pertengahan tahun 2000 itu merusak segala cerita manis yang Figo bubuhkan di Barcelona. Fakta bahwa salah satu pemain andalannya pindah ke tim saingan, membuat rasa kesal di dada pendukung Barcelona mengalami eskalasi. Tanpa malu-malu, mereka menyumpahi Figo dengan beraneka macam kata-kata kotor. Pria berkewarganegaraan Portugal ini juga disebut sebagai sampah, tentara bayaran, hingga pengkhianat.
Apa yang terjadi pada Figo pada saat itu sebenarnya amat menarik. Diakui atau tidak, pemain yang menyabet gelar Ballon d’Or pada tahun 2000 serta Pemain Terbaik Dunia FIFA setahun berselang itu, merupakan salah satu kepingan dari ‘proyek’ Florentino Perez yang mengincar kursi presiden Madrid dan membentuk tim penuh bintang.
Konon, Perez dan pihak Figo (melalui agennya), terikat sebuah perjanjian pra-kontrak. Klausul di dalam kontrak tersebut menyatakan bahwa jika Perez berhasil menduduki kursi presiden Madrid, maka Figo wajib pindah ke ibu kota. Namun bila kalah dalam proses pemilihan, Figo bakal mendapat uang senilai 1 juta euro.
Dilihat dari perspektif manapun, situasi ini jelas menguntungkan pihak Figo karena mereka akan tetap mendapat suntukan dana yang cukup masif jika Perez gagal menggantikan Lorenzo Sanz sebagai presiden.
Ciamiknya, selama masa kampanye, Perez mengungkapkan kepada suporter Los Blancos jika dirinya berhasil memperoleh jabatan presiden klub, maka bintang sepak bola dalam wujud Figo akan didatangkan ke Stadion Santiago Bernabeu. Sadar bahwa hal itu amat menjanjikan, para pendukung Madrid pun terpikat.
Benar saja, hasil pemungutan suara ketika itu menyatakan bahwa Perez secara sah menjadi presiden Madrid yang baru. Kenyataan ini sendiri membuat kubu Figo terhenyak lantaran tak menduganya sama sekali.
Lebih sialnya lagi, dalam klausul pra-kontrak yang disepakati Perez dan agen Figo, konon terdapat pula poin yang menyebutkan jika sang pemain menolak hijrah ke Madrid usai Perez memenangi proses pemilihan presiden, maka dirinya harus membayar ‘denda’ senilai 30 juta euro.
Paham bahwa keadaannya terjepit, kabarnya Figo juga sempat mendatangi presiden Barcelona yang baru kala itu, Joan Gaspart. Sang pemain meminta kepada pihak manajemen Los Cules untuk membayarkan ‘penalti’ itu supaya bisa bertahan di Barcelona.
Usut punya usut, proses pemilihan presiden baru di kubu Barcelona yang nyaris bersamaan dengan Madrid juga menjadi salah satu penyebab mengapa Figo tak kunjung mendapat kontrak baru dari Los Cules.
Namun nahasnya, Gaspart bergeming dengan permintaan tersebut. Dirinya menganggap jika uang senilai 30 juta euro tak perlu digelontorkan manajemen hanya untuk mempertahankan Figo. Dengan kocek sebesar itu, Barcelona pasti bisa membeli dua atau bahkan tiga pemain anyar yang kualitasnya setara.
Karena tak berdaya, Figo pun akhirnya sepakat untuk menjadi pemain Madrid per musim 2000/2001. Harga tebusnya yang mencapai 62 juta euro dan masuk dalam kategori termahal di zaman tersebut, dipenuhi oleh kubu Los Blancos.
Seperti yang kita ketahui bersama, usai menjadi pemain Madrid, sambutan publik Catalonia terhadap Figo begitu penuh dengan rasa benci. Atmosfer laga El Clasico di Stadion Camp Nou seperti film horor. Setiap kali Figo mendapat bola, siulan dan cemoohan bakal dikirim pendukung Barcelona kepadanya. Insiden lemparan kepala babi di tahun 2002 yang fenomenal itu pun jadi salah satu bukti kebencian masyarakat Catalonia terhadap sang pengkhianat.
Baca juga: Barcelona, Catalan, dan Referendum: Segala Hal Tentangnya yang Kamu (Mungkin) Ingin Tahu
Bersama Real Madrid, Figo bermain selama lima musim. Tampil di 239 pertandingan dan membobol gawang lawan sebanyak 57 kali menjadi torehannya. Lebih manisnya lagi, Figo ikut membantu Los Blancos mencaplok masing-masing dua titel La Liga dan Piala Super Spanyol serta satu gelar Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Interkontinental (sekarang Piala Dunia Antarklub).
Setelah kontraknya habis bersama Madrid, Figo melanjutkan kariernya selama empat musim (sampai pensiun) bareng kesebelasan Italia, Internazionale Milano. Seperti yang dilakukannya bareng Barcelona dan Madrid, Figo juga sukses memberikan sejumlah titel kepada I Nerazzurri, antara lain empat Scudetto, satu Piala Italia dan dua Piala Super Italia.
Usai pensiun, lelaki yang punya 127 caps dan 32 gol untuk timnas Portugal ini ditunjuk sebagai salah satu duta Inter. Dirinya kerapkali hadir dalam sejumlah program yang dirancang manajemen I Nerazzurri di seluruh dunia.
Meski tak lagi aktif sebagai pesepak bola, namun kisah perpindahan Figo dari Barcelona ke Real Madrid yang sangat kontroversial itu pasti akan hidup selamanya di telinga penikmat sepak bola. Pendukung Los Cules akan selalu membencinya, namun pendukung Los Blancos senantiasa bakal memujanya.
Figo, disadari atau tidak, memang seorang pengkhianat terbaik di abad ini.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional