Rasanya kita perlu memahami lebih jauh mengenai konteks ucapan negrito di Amerika Latin setelah tudingan kasus rasisme yang dilakukan Edinson Cavani. Untuk memahami masalah ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna dari kata yang dilontarkan oleh penyerang asal Uruguay tersebut.
Dalam pertandingan menghadapi Southampton pada 29 November 2020 lalu, Cavani bermain sangat baik dengan melesakkan satu asis dan dua gol. Performa cemerlang itu juga mendapat pujian dari salah satu temannya di Instagram yang kemudian diunggah ulang oleh Cavani yang kemudian ditambahkan tulisan “gracias negrito”.
Melihat konten ini, FA melakukan investigasi yang kemudian menghasilkan putusan bahwa Cavani tak boleh bermain dalam tiga pertandingan ditambah dengan denda 100 ribu poundsterling.
Melihat putusan yang dijatuhkan ini banyak orang yang bereaksi dengan memberikan dukungan kepada Cavani. Salah satunya adalah Diego Godin yang merupakan kapten dari timnas sepak bola Uruguay.
Dalam gambar yang dicuit oleh Godin terlihat bahwa federasi sepak bola Uruguay (UFA) memberikan dukungan dan bahkan menilai bahwa FA sebagai federasi sepak bola Inggris sudah bertindak terlalu jauh dan terkesan tidak menghargai, subjektif dan diskriminatif terhadap budaya orang-orang Uruguay. Bahkan FA dinilai rasis dengan perilaku tersebut.
Selain itu dukungan juga keluar dari Ander Herrera yang juga mantan rekan satu tim Cavani di Paris Saint-Germain yang juga pernah bermain untuk Manchester United.
Perbedaan pemahaman mengenai rasisme membuka pertanyaan besar, “Bagaimana perbedaan budaya yang terjadi di Amerika Latin secara umum membuat terjadinya perbedaan tafsir mengenai rasisme di sana?”
Kasus ucapan negrito yang disangkutpautkan dengan rasisme ini bukanlah kasus pertama yang terjadi di Liga Inggris. Sebelumnya pernah terjadi ketika Luis Suarez menggunakan panggilan negrito kepada Patrice Evra di tahun 2014 saat Manchester United berjumpa Liverpool.
Pablo, Pablito, Arturo dan Arturito
Untuk memahami negrito, terlebih dahulu kita harus memahami sistem penamaan yang digunakan pada bahasa Spanyol. Dalam bahasa Spanyol sangat umum memanggil nama seseorang yang sangat dekat dengan akhiran -ito dan -cito untuk laki-laki dan -ita dan -cita untuk perempuan.
Akhiran tersebut biasanya untuk menyebut ukuran yang lebih kecil atau umur yang lebih muda, contohnya adalah Javier “Chicharito” Hernandez yang berarti ‘Si Kacang Kecil’ karena sang ayah Javier Hernandez Sr. mendapatkan panggilan Chicaro.
Atau tokoh yang paling dibenci di dalam serial La Casa de Papel (Money Heist), Arturo Roman, yang dipanggil dengan sapaan Arturito. Akhiran -ito, -cito, -ita dan -cita juga digunakan untuk menjelaskan suatu kata kerja yang dilakukan dalam skala kecil seperti despacito yang berarti perlahan atau agak pelan yang diambil dari despacio yang berarti pelan.
Selain itu sistem pemberian panggilan dalam bahasa Spanyol sering digunakan untuk menggambarkan bentuk fisik atau untuk mendeskripsikan seseorang dengan kata sifat atau kata benda.
Christian Gonzales, pemain Indonesia yang dinaturalisasi dari Uruguay, mendapatkan panggilan El Loco karena dinilai permainanya sangat gila, atau Lionel Messi yang mendapatkan panggilan La Pulga atau ‘Si Kutu’ karena kelincahannya disamakan dengan kutu.
Berdasarkan panggilan negrito yang digunakan Cavani kepada temannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa Cavani memanggil temannya berdasarkan warna kulit atau ras.
Jika menggunakan standar FA tentunya ini dinilai rasis tapi tentunya, berbeda jika kita menilai perkataan ini jika menggunakan sudut pandang budaya yang berlaku di Uruguay yang menilai bahwa panggilan ini menunjukan kedekatan bahkan rasa sayang Cavani terhadap temannya tersebut.
Lantas apakah ini bisa menjadi pembelaan terhadap kasus yang terjadi pada Luis Suarez maupun kasus yang terjadi pada wasit keempat pada pertandingan PSG melawan Istanbul Basaksehir di mana kedua pihak mempunyai pembelaan yang hampir mirip dengan Cavani?
Konteks dan situasi sangat berperan dalam penilaian kasus tersebut. Suarez menyebutkan kata negrito kepada Evra dalam situasi yang sangat panas dan tanpa konteks yang jelas dalam pertandingan Liverpool melawan Manchester United, sehingga ucapan Suarez dapat dinilai sebagai hinaan.
Sedangkan dalam kasus wasit keempat Sebastian Coltescu pada pertandingan PSG melawan Istanbul Basaksehir sebutan ala negru yang terlontar untuk menyebutkan Pierre Webo terkesan menyebutkan ras tanpa konteks dimana Coltescu bisa saja menyebut Webo dengan panggilan lain seperti that guy, that man dan lainnya.
Ada pepatah yang sangat terkenal: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, maka penilaian arti rasisme juga harusnya juga dipahami dalam berbagai pandangan tidak hanya berdasarkan tafsiran pihak tertentu saja.
Penilaian ini juga harus berdasarkan pemahaman bersama atau setidaknya memahami apa konteks dari ucapan tersebut dikeluarkan.
Penulis merupakan Fans Chelsea yang juga mengagumi olahraga rugby. Dapat ditemui di akun Twitter dan Instagram @mderial.