Firman Utina dapat dikatakan sebagai salah satu pemain sepak bola terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Dan menilik dari tanah kelahirannya, tak salah rasanya menyebut Firman sebagai salah satu produk terbaik sepak bola Indonesia dari Sulawesi.
Semasa karier bermainnya, Firman dikenal sebagai salah satu gelandang serang terbaik Indonesia. Tak banyak di negeri ini ditemukan gelandang serang dengan kualitas seperti Firman. Di Liga Indonesia pun, posisi gelandang serang biasanya diisi oleh pemain asing. Wajar apabila sematan itu layak diberikan untuk sosok yang sekarang berusia 38 tahun tersebut.
Lahir di ibu kota Sulawesi Utara, Manado, pada 15 Desember 1981, mantan pemain Timnas Indonesia itu menjelma menjadi legenda. Siapa sangka, di provinsi ujung utara Indonesia itu, mampu melahirkan bakat hebat dalam diri Firman Utina.
Memulai karier mudanya, Firman bergabung dengan tim lokal yang berbasis di Manado, Persma Manado. Kita patut berterima kasih dengan sosok yang menemukan bakat pemain yang identik dengan nomor 15 itu, Benny Dollo, pelatih yang berjasa besar bagi karier Firman Utina.
Pada tahun 2000, Benny Dollo mempromisikan Firman ke tim senior Persma. Dan keputusan pelatih yang pernah menangani Timnas Indonesia itu sama sekali tak salah. Firman Utina mampu membayar kepercayaan Bendol (sapaan akrab Benny Dollo) dengan penampilan apiknya.
Semusim bermain untuk tim kampung halaman, Firman resmi merantau ke Pulau Jawa bersama Persita Tangerang pada tahun 2001. Bersama Pendekar Cisadane inilah nama Firman mulai mengudara dan dikenal penikmat sepak bola. Di tahun yang sama, Firman juga mendapat panggilan pertamanya untuk memperkuat Timnas Indonesia.
Ia juga dapat dikatakan sebagai salah satu bintang bagi Persita. Walau hanya beberapa musim bermain di sana, torehan Firman tak bisa dipandang sebelah mata karena di tahun 2002 ia mampu membawa Persita menembus peringkat dua Liga Indonesia. Prestasi apik Firman mengantarkannya pada jabatan PNS Tangerang.
Dilema mulai menyerang mantan pemain Timnas Indonesia itu kala pelatih yang mengorbitkan namanya, Benny Dollo, bergabung Arema. Sejatinya, keputusan Firman bergabung dengan Persita juga buah hasil dari bujukan Bendol yang lebih dulu merapat ke Stadion Benteng.
Alhasil, Firman memutuskan melepas status PNS-nya di Tangerang dan resmi mengikuti sang mentor ke Malang pada 2004. Sebuah keputusan yang juga mengagetkan Benny Dollo. Perjudian mantan kapten Timnas Indonesia itu nyatanya berbuah manis. Bersama Singo Edan, Firman mampu meraih 2 gelar Copa Dji Sam Soe 2005 dan 2006.
Duet Firman dan Bendol semakin menguatkan keserasian mereka. Keserasian itulah yang membawa Firman mendapat sebutan sebagai “anak emas” Benny Dollo. Di mana pun Benny Dollo melatih, di situlah Firman Utina bermain. Setelah usai menangani Arema, Benny Dollo memutuskan kembali ke Persita Tangerang, Firman Utina kembali mengikuti jejaknya.
Setelah Benny Dollo diangkat sebagai pelatih Timnas Indonesia, Firman Utina mencoba peruntungan dengan memperkuat Pelita Jaya sebelum kembali bertemu dengan Benny Dollo di Persija pada 2010.
Cerita unik terjadi kala Firman memperkuat tim ibu kota di mana ia tak mendapatkan nomor punggung 15, nomor yang sudah terlanjur melekat padanya. Hal itu lantaran nomor 15 di Persija digunakan oleh Aliyudin dan penyerang mungil itu enggan melepas nomornya untuk Firman Utina.
Tak habis akal, Firman lantas mengenakan nomor punggung 8+7 yang jika dijumlahkan menghasilkan angka 15. Sebuah hal yang juga dilakukan penyerang Inter Milan, Ivan Zamorano, yang mengenakan nomor 1+8 karena pada saat itu nomor 9 Inter Milan menjadi kepunyaan legenda Brasil, Ronaldo.
Firman Utina baru benar-benar berpisah dengan Benny Dollo pada tahun 2012 di mana sang mentor memutuskan menangani Mitra Kukar sedangkan Firman memilih berlabuh bersama Sriwijaya FC.
Bersama tim kebanggaan warga Sumatra Selatan itu, Firman meraih gelar juara Liga Indonesia 2012 sebelum mengulanginya bersama Persib pada 2014 setelah bergabung dengan Maung Bandung di tahun yang sama. Tahun 2015, Firman juga berhasil membawa Persib juara Piala Presiden yang mana pada partai final mengalahkan sang guru Benny Dollo, yang kala itu menangani Sriwijaya FC.
Selepas menjalani musim apik bersama Persib, Firman sekali lagi mampu menjadi juara Liga Indonesia karena pada 2017 ia berhasil mengantarkan Bhayangkara FC menjuarai kompetisi untuk kali pertama. Kabar terakhir, Firman Utina bergabung dengan tim kasta kedua Liga Indonesia, Kalteng Putra pada 2018 sebelum memutuskan gantung sepatu di tahun yang sama.
Karier timnas Firman juga tak bisa dipandang sebelah mata. Menjalani debut di tahun 2001, Firman adalah pilihan utama skuad Garuda hingga tahun 2014. Sulitnya mencari penerus mantan pemain kelahiran 1981 ini jadi sebab utamanya.
Tampil di 67 pertandingan untuk Indonesia, walau gagal mengangkat trofi mayor satu pun, eksistensi Firman untuk timnas Indonesia sangat dibutuhkan. Prestasi terbaiknya adalah mengantarkan Indonesia menjadi runner-up Piala Tiger 2004 dan Piala AFF 2010. Piala AFF 2010 dapat dikatakan sebagai puncak karier Firman bersama Timnas Indonesia karena di kompetisi tersebut, Firman tampil sebagai kapten dan mengakhiri kompetisi sebagai pemain terbaik.
Kini karier Firman Utina telah usai sebagai pesepak bola. Duet maut Sulawesi Utara bersama sang guru Benny Dollo telah mampu menorehkan cerita tersendiri bagi persepak bolaan nasional. Di provinsi ujung utara Indonesia inilah tumbuh bakat bernama Firman Utina. Nama Firman Utina akan dikenang sebagai salah satu gelandang serang terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan dia adalah putra terbaik Sulawesi Utara. Semoga akan ada penerus tonggak baru Sulawesi Utara di persepak bolaan nasional dan Timnas Indonesia.
Setelah pensiun, Firman mulai fokus dengan akademi bentukannya yakni Firman Utina 15 Football Academy dan dirinya telah mengantongi lisensi kepelatihan A AFC yang membuatnya dapat mengawali karier manajerial.
Di samping itu, Firman juga didapuk sebagai Presiden APPI periode 2017-2021. APPI adalah asosiasi yang melindungi hak-hak pemain profesional Indonesia yang mana urusan tunggak menunggak gaji pemain masih sangat umum di Indonesia.
Sudah selayaknya kita sebagai penikmat sepak bola nasional mengangkat topi untuk Firman Utina yang terus bergelut di dunia yang membesarkan namanya melalui akademi dan bentuk perjuangannya sebagai Presiden APPI.