Setelah sekian purnama tidak pernah mendengar kabar tentang sepak bola wanita di Indonesia, beberapa hari yang lalu saya cukup senang ketika melihat sosok Zahra Muzdalifah, penyerang dari tim putri Persija Jakarta, muncul di beberapa laman berita bola terkenal.
Akan tetapi, kesenangan itu langsung berubah menjadi kekecewaan ketika melihat isi dari berita yang ada. Isinya kurang lebih membahas tentang sosok Zahra yang sempat diantar pulang oleh salah satu pemain timnas Indonesia di bawah usia 19 tahun.
Yup, alih-alih mendapatkan kabar tentang perkembangan sepak bola wanita yang macet semenjak Liga 1 Putri 2019, saya justru dipaksa menikmati gosip receh seputar percintaan pemain.
Memang, dalam dua tahun terakhir, gambaran Zahra Muzdalifah sebagai ikon sepak bola wanita di Indonesia melekat cukup erat. Saya pertama kali melihat tayangan permainannya di akun media sosial ketika ajang Asian Games 2018.
Saat itu saya cukup senang melihat Zahra ditunjukkan sebagai sosok yang piawai dalam mengolah si kulit bundar. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sosok yang melekat pada Zahra semakin bergeser menjadi sosok jelita yang mencintai sepak bola.
Pergeseran stigma tersebut juga seolah menggeser topik utama media terkait sepak bola wanita, dari yang awalnya tentang perkembangan sepak bola wanita, menjadi gosip-gosip murahan terkait pribadi pesepak bola wanita di Indonesia.
Sejatinya sejak awal perkembangannya, sepak bola wanita di Indonesia memang sangat kurang mendapatkan sorotan dari media. Tidak, bukan hanya di Indonesia saja, melainkan di seluruh dunia.
Bukan hanya perkembangan di luar lapangan, bahkan permainan di dalam lapangan pun sangat minim sorotan. Berkaca dari akun sosial media para pencinta bola, hampir selalu yang mendapatkan sorotan adalah pesepak bola laki-laki.
Wajar memang, karena olehraga ini tumbuh dan terkenal awalnya memang berasal dari Kaum Adam. Namun yang patut disayangkan adalah, ketika satu akun media sosial mengunggah cuplikan tentang sepak bola wanita, entah itu dari segi strategi permainan atau skill dari si pemain, komentar yang muncul, alih-alih membicarakan tentang permainannya, justru malah membicarakan fisik dari pemain.