Nasional Bola

Perpisahan Selalu Menyakitkan bagi Darije Kalezic

Kalimat mengejutkan keluar dari mulut Darije Kalezic dalam konferensi pers pra-laga melawan PSS Sleman. Pelatih yang lahir di Swiss dari keturunan Bosnia-Herzegovina tersebut menyatakan diri mundur dari tampuk kepelatihan PSM Makassar.

“Besok (Minggu) adalah pertandingan terakhir saya di PSM Makassar sebagai pelatih. Saya memiliki banyak pengalaman menghabiskan waktu di sini. Saya senang, bahwa saya bisa melakukan tugas saya dengan baik sebagai pelatih dan membawa trofi setelah 19 tahun lamanya, terima kasih,” ucap sang pelatih di depan awak media pada Sabtu (14/12), sebagaimana dikutip dalam situs resmi Liga 1.

Kalezic pun meminta para pemain untuk tampil menyerang dan berjanji memberikan tiga poin dalam laga kandang terakhir musim ini. Ia ingin membuat kado perpisahan yang manis diberikan kepada para suporter, yang telah mendukung Juku Eja tanpa henti sepanjang musim.

Manusia memang hanya bisa berencana, dan Tuhan yang mengatur segalanya. Happy ending yang dicita-citakan Darije Kalezic pupus ketika PSM Makassar harus puas mengakhiri laga kandang terakhirnya musim ini dengan hasil imbang kontra Super Elja.

Marc Klok dan kolega bahkan tertinggal lebih dulu lewat gol yang dicetak striker Ukraina, Yevhen Bokhashvili, di injury time babak pertama.

Tuan rumah kemudian diselamatkan handball Purwaka Yudhi di babak kedua. Aaron Evans yang ditunjuk sebagai eksekutor sukses menjaringkan bola ke gawang Try Goentara, dan menyamakan kedudukan di menit ke-66.

Hingga wasit meniup peluit akhir, tak ada pemenang yang keluar di laga malam itu. Perpisahan Darije Kalezic dengan Stadion Mattoanging pun terasa hambar, tanpa suka cita.

BACA JUGA: Menerka Isi Kepala Darije Kalezic Soal Komposisi Lini Depan PSM

Kredit: M. Iqbal Ichsan/Bola.com

Suka duka Kalezic di PSM

Pada konferensi pers pra-laga terakhirnya musim ini, eks pelatih Wellington Phoenix tersebut menyampaikan keluh kesahnya semasa menangani PSM. Ada rasa kesal bercampur jengkel, ketika proyek jangka panjang yang ia rencanakan harus terhenti bahkan sebelum akhir musim tiba.

“Saya ingin mengembangkan tim ini untuk waktu jangka panjang. Ini adalah proses jangka panjang, namun faktanya, saya datang ke sini tidak terlibat sama sekali dalam pemilihan pemain untuk (Liga 1) musim 2019,” ucapnya sebagaimana dikutip melalui Bolasport.com.

Kalezic bahkan sudah mengantongi nama-nama pemain, baik lokal maupun asing, yang menurutnya mampu mengangkat performa tim dan yang tidak, untuk tahap lanjutan pengembangan tim di musim depan.

Pelatih berusia 50 tahun ini juga terbilang berhasil mengorbitkan satu talenta baru pujaan publik Mattoanging, dalam diri Muhammad Rizky Pratama. Namun sayangnya kemauannya tak sejalan dengan yang diinginkan manajemen.

“Tetapi di akhir Oktober 2019, saya tahu bahwa kami tidak bisa merealisasikan (kemajuan itu) di PSM. Oleh karena itu saya memutuskan untuk tidak bertahan,” katanya seolah menyimpan rasa kesal bercampur jengkel menerima nasib kurang mengenakkan ini.

BACA JUGA: Mattoanging, Si Tembok Tua Penentu Juara

Sepanjang kariernya, ini bukan pertama kali Kalezic mengakhiri masa jabatan lebih cepat dari kontraknya. Sejak pensiun sebagai pesepak bola pada 2006, Kalezic yang menghabiskan sebagian karier kepelatihannya di Belanda berhasil mengangkat tim yang tengah terpuruk, terutama yang ingin lolos dari jerat degradasi, seperti De Graafschap dan Roda JC.

Bukan pertama kali pula seorang Darije Kalezic “menyemprot” manajemen klub yang tak sejalan dengannya. Pada 10 Mei 2016, di hari terakhirnya melatih di Eropa, ia dipecat oleh Roda JC lantaran bersitegang dengan direktur teknik klub, Ton Caanen.

Dikutip dari football-oranje.com Kalezic bahkan membuat pernyataan yang menyindir Caanen usai timnya menerima kekalahan dari Willem II.

“Saya memiliki hubungan baik dengan Caanen, tapi sayangnya sepanjang hidupnya ia tak terlalu banyak bersentuhan dengan tim ini atau sebuah klub sepak bola profesional di Belanda. Mungkin dia sudah terlalu lama menjadi seorang sales mobil,” ujar Kalezic menyindir masa lalu Caanen saat masih menjadi sales Toyota sambil mengurus klub amatir FC Geleen Zuid.

Karier Darije Kalezic pun memburuk usai keluar dari Eropa. Menangani dua klub berbeda di Asia, Al-Taawoun (Arab Saudi) dan Wellington Phoenix (klub Selandia Baru yang bermain di A-League Australia), semuanya selalu berakhir menyakitkan baginya.

Ia dipecat Al-Taawoun setelah hanya menangani tim dalam lima laga, dan gagal mencapai kesepakatan kontrak dengan Wellington Phoenix untuk kembali melatih di musim 2018/2019.

Setelahnya, Kalezic sempat menemukan cerita indah di Makassar. Ia datang sebagai sosok yang mencoba memperbaiki PSM yang ditinggal Roberts Rene Alberts.

Seperti yang ia sampaikan dan banggakan di awal tulisan ini, ia berhasil memenangkan trofi Piala Indonesia sebagai trofi pertama Juku Eja dalam 19 tahun terakhir, dan tentu trofi pertama dirinya sepanjang karier kepelatihannya.

BACA JUGA: Cerita Cinta dari Final Piala Indonesia yang Tertunda

Stadion Mattoanging yang dikenal angker musim ini juga menjadi senjata andalannya. Julukan “Si Jago Kandang” pun melekat di tim asuhan Darije Kalezic, karena mereka sama sekali tak pernah kalah di laga kandang musim ini.

Sayangnya, julukan tersebut tak cukup membuat PSM berjaya di Shopee Liga 1 2019. Hingga pekan ke-33 PSM Makassar masih tertahan di posisi kesembilan dengan koleksi 44 poin.

Usai berpisah, Kalezic pun tak akan bisa melihat Stadion Mattoanging lagi. Kabarnya stadion ini akan dipugar agar PSM tak kembali jadi musafir kalau berlaga di kompetisi Asia.

Ya, sekali lagi memang manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan yang mengatur segalanya. Zbogom, Darije Kalezic!