Saya beberapa kali ikut kegiatan nonton bareng atau jamak disebut “nobar”. Biasanya kegiatan ini diselenggarakan oleh basis suporter tertentu atau korporasi dalam rangka pemasaran produk.
Kegiatan utamanya adalah menonton pertandingan sepak bola, namun bisa diselingi oleh ragam hiburan lain seperti games, kuis, bahkan menyaksikan aksi panggung penyanyi dan grup band tertentu.
Oleh karena sifatnya yang menghibur, para peserta nobar terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari orang tua, remaja, bahkan anak kecil pun dapat terlibat secara penuh dalam perhelatan nobar. Sejauh pengamatan saya, aktivitas nobar memang didominasi oleh kaum pria.
Namun, jumlah perempuan di tempat nobar juga tidak sedikit. Bahkan di salah satu kedai kopi kawasan Yogyakarta, perempuan menjadi penanggung jawab acara nobar. Ia merupakan otak di balik sukses atau tidaknya gelaran acara nonton bareng.
Kaum Adam sudah tak dapat lagi memberi klaim bahwa sepak bola sebagai milik laki-laki. Dewasa ini, perempuan sudah jauh terlibat dalam urusan sepak bola. Mulai dari pemain, wasit, asisten wasit, pelatih, hingga menjadi dewan direksi sebuah klub sepak bola.
Jadi jangan heran, jika ada perempuan yang rela menempuh jarak puluhan kilometer dari rumahnya demi nonton bareng pertandingan sepak bola. Jangankan untuk nobar, kekuatan perempuan bisa bikin sebuah klub untung besar atau pun jatuh ke dalam jurang pailit.
Sebagai sebuah kegiatan, tentunya nobar punya maksud dan tujuan. Pada akun Twitter beberapa komunitas suporter, mereka menulis kegiatan nobar sebagai ajang silaturahmi. Dengan adanya nobar, diharapkan para suporter semakin kompak dan solid.
Tidak hanya itu, nobar jadi alternatif bagi anak indekos yang tidak mampu berlangganan teve berbayar, tetapi tetap ingin menyaksikan klub kesayangan berlaga.
Saya pernah mendengar langsung seorang pembawa acara nobar berkata: “Selamat datang di acara bla bla bla, bagi yang belum punya pasangan, silakan dimanfaatkan momentum ini sebaik mungkin.” Hal tersebut mengindikasikan, nobar juga berfungsi sebagai ajang pencarian jodoh.
Mengapa pembawa acara bisa berkata seperti itu? Tidak lain karena peserta nobar yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sangat mustahil hal itu dikatakan ketika seluruh hadirin berjenis kelamin laki-laki.
Perlu diketahui, nobar adalah kegiatan yang bertumpu pada interaksi antar-individu dalam suatu komunitas suporter sepak bola tertentu. Di dalam komunitas itu terdapat nilai-nilai, yang menurut Claudia Wood, mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Sosiolog asal Inggris tersebut menambahkan bahwa nilai-nilai sosial tidak dapat terbentuk begitu saja. Butuh waktu agar masyarakat dapat menerima sekaligus mengimplementasikan suatu nilai dalam komunitas tertentu.
Lantas, apakah nilai-nilai yang terdapat dalam komunitas nobar sudah ramah terhadap perempuan?
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, terekam 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2016. Adapun 22 persen di antaranya terjadi di ranah komunitas.
Kekerasan tersebut mencapai angka 3.092 kasus, yang mana jenis kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74 persen), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16 persen), dan kekerasan lain di bawah angka 10 persen; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3 persen), buruh migran 90 kasus (3 persen); dan trafficking 139 kasus (4 persen).
Dilihat dari subjek pelakunya, Komnas Perempuan membagi jenis kekerasan terhadap perempuan ke dalam 3 (tiga) ranah.
Pertama, ranah personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.
Kedua, ada ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Ketiga, ranah komunitas jika pelaku dan korban tidak ada hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
Dalam kegiatan nobar, kondisi perempuan rentan menjadi korban pelecehan orang-orang tidak dikenal. Saya pernah mendapati dua perempuan menahan buang air kecil. Alasan mereka bukan karena lokasi toilet yang jauh, namun dikarenakan risih harus melewati barisan para lelaki yang berkerumun.
Demi terhindar dari hal-hal yang tidak dinginkan, mereka sampai harus menahan itu. Hal ini cukup membuktikan, bahwa kegiatan nobar masih belum ramah terhadap perempuan.
Belum lagi celotehan seksis yang sebetulnya tidak perlu dilontarkan, tapi entah mengapa keluar dengan mulusnya dari mulut para lelaki di tempat nobar. Seperti contoh saat menyaksikan pemain jatuh karena kalah duel, sontak peserta nobar (yang umumnya laki-laki) berkata: “lemah banget lu kaya cewek”.
Atau komentar lain yang menyuruh si pemain tadi mengenakan rok, yang mana rok tersebut dimaknai sebagai simbol lemah gemulai. Fragmen itu semakin menarik sebab saat seorang pemuda bilang begitu, di sampingnya ada seorang pemudi yang juga memakai rok.
Bayangkan jika perempuan di sampingnya ialah Alex Morgan atau Ronda Rousey. Apakah lelaki itu masih menganggap rok sebagai simbol atau aksesoris yang mengisyaratkan kelemahan?
Fenomena lain yakni kekerasan seksual dalam bentuk verbal. Dengan bir di tangan kanan dan sebatang rokok di tangan kirinya, pemuda “X” dengan mantap menggoda hampir setiap perempuan yang lewat.
Saya kebetulan duduk tak jauh dari pelaku. Saya perhatikan, dia malah lebih takzim melihat sekitarnya, ketimbang menatap layar besar yang menayangkan pertandingan sepak bola. Beruntung, pelayan senior lewat lalu menegur si pemuda.
Coba bayangkan bagaimana rasanya jadi perempuan yang berada di sekitar pelaku. Tentu fokus akan beralih dari semula menonton pertandingan, menjadi reaksi bagaimana menyelamatkan diri.
Dalam budaya yang kerap menjadikan laki-laki sebagai tokoh utama, posisi perempuan hanya sebagai pelengkap. Hal ini yang tanpa sadar dipraktekkan ketika berlangsungnya nobar.
Perempuan berhak ikut nobar, bahkan tak jarang beberapa komunitas menetapkan harga masuk di bawah standar. Namun, posisi mereka hanya sebagai pelengkap. Tidak kurang dan tidak lebih.
Salah seorang kawan saya pernah beberapa kali nobar bersama pacarnya. Saat saya tanya apakah si perempuan menyukai sepak bola, jawabannya “tidak”. Ternyata, ia diajak hanya untuk menemani. “Tidak lengkap rasanya jika tidak menonton bersama pasangan,” begitu katanya.
Bagaimana jika si perempuan sebenarnya tidak mau ikut? Di tempat nobar, suasana pasti riuh jika terjadi gol. Bilamana ada manusia yang hanya terdiam terpana terbata, kemungkinan klub favoritnya kebobolan atau ia tidak mengerti sepak bola sama sekali.
Butuh waktu memang untuk menciptakan perubahan sosial di masyarakat. Perjuangan kaum perempuan di Arab Saudi untuk dapat menonton langsung di dalam stadion adalah bukti bahwa hak-hak perempuan dapat diafirmasi.
Di tempat nobar, tampaknya bukan perkara sulit jika kita lebih sedikit perhatian ke masalah keamanan dan kenyamanan. Hal ini tentunya jadi pekerjaan serius semua pihak yang terlibat. Baik itu pengelola tempat, pengurus komunitas, juga pastinya para peserta nobar, khususnya kaum lelaki.
Apa jangan-jangan, memang perlu dibuat tempat khusus nobar bagi perempuan karena kita masih sulit berlaku adil dan setara sebagai manusia?
*Artikel ini diunggah ulang dengan penyesuaian dari tulisan kiriman Agung Putranto Wibowo.