Suara Pembaca

Messi dan Argentina, dalam Bayang-bayang Keagungan Maradona

Alejandro Verón, salah satu pendiri Gereja Maradoniana di Rosario, Argentina, mengungkapkan, “Bagi orang-orang Argentina, sepak bola adalah agama, dan agama memiliki Tuhannya sendiri-sendiri. Tuhan sepak bola adalah Diego (Maradona).” 

Hingga tahun 2017, sejumlah 275 ribu pengikut sudah terdaftar sebagai anggota jamaah Gereja Maradoniana. Tak main-main, di antara ratusan ribu pengikut itu, terdapat nama-nama tenar dari dunia si kulit bundar seperti Ronaldinho, Carlos Tevez, Lionel Messi, hingga mantan pemain timnas Inggris, Gary Lineker, dan eks pelatih Tottenham Hotspur, Mauricio Pochettino 

Pendirian gereja dan penyematan gelar “Tuhan” kepada El Diego adalah sebuah bentuk penghormatan dari rakyat Argentina setelah Maradona berhasil membawa negaranya menjuarai Piala Dunia 1986. Secara lebih spesifik lagi, ia disembah gara-gara aksinya pada laga perempat-final di turnamen tersebut, yang membuat kesal lawan sekaligus mengundang decak kagum banyak orang lainnya. 

Dalam laga yang berakhir dengan kemenangan tipis 2-1 untuk La Albiceleste itu Maradona mencetak satu gol menggunakan tangan. Ketika ditanya oleh media mengenai gol tersebut, ia menjawab: “Itu pasti tangan Tuhan.”

Dari peristiwa inilah sejarah sepak bola mencatat gol “Tangan Tuhan” yang fenomenal itu. Gol tersebut kemudian diikuti oleh gol “Terbaik Abad 20” yang dicetak oleh pelaku yang sama di pertandingan yang sama, yang dieksekusi dengan melewati lima pemain Inggris dari tengah lapangan.

BACA JUGA: Mencari Sosok Luis Scola di Timnas Argentina

Jika publik sepak bola menyanjung gol kedua Maradona dari segi skill saat mengenang peristiwa perempat-final 1986, maka publik Argentina dengan alasan politis justru lebih mengagungkan gol pertama yang dicetak dengan tangan. 

Empat tahun sebelum gol tersebut bersarang di jala The Three Lions, kapal Belgrano milik Argentina ditenggelamkan oleh tentara Inggris pada saat Perang Malvinas. Bagi Fabian Von Quinteiro, seorang musisi yang juga adalah rekan Maradona, penenggelaman kapal itu juga merupakan sebuah “gol yang menggunakan tangan” atau, dengan kata lain, perilaku culas.

Oleh karena itu, gol Tangan Tuhan Maradona dianggap sebagai sebuah simbol pembalasan terhadap keculasan Inggris tersebut. Dari sinilah patriotisme dan kebanggaan rakyat Argentina terhadap negaranya melangit.

Barang kali peristiwa ajaib ini menjadi sebuah fiksasi dalam sejarah sepak bola nasional Argentina. Sayangnya, tampaknya fiksasi ini malah menjadi kutukan bagi pemain-pemain pasca-Maradona. Peristiwa itu membubuhkan beban yang teramat berat bagi generasi penerus untuk mengulang keajaiban, yang pernah dilakukan oleh sosok suci yang dijuluki tuhan sepak bola itu. 

Efek ini jelas terlihat pada Lionel Messi yang digadang-gadang sebagai penerus El Diego. Messi dianggap sebagai Maradona Baru karena ia memiliki beberapa kemiripan dengan pendahulunya, seperti postur tubuh mungil, kaki kiri sebagai kaki andalan, posisi bermain yang sama, nomor punggung yang sama, termasuk dua gol yang mirip dengan gol Tangan Tuhan dan Gol Terbaik Abad 20 milik El Diego yang dicetak oleh La Pulga, julukan Messi, di level klub. 

Ungkapan populer “agama adalah candu” mungkin cocok untuk menggambarkan situasi sepak bola Argentina ini. Ketika publik Argentina menganggap sepak bola sebagai agama dan menuhankan Diego, maka hal-hal rasional seperti pencapaian dan pengorbanan Messi untuk Argentina sejauh ini tiada berarti. 

BACA JUGA: Anomali Timnas Argentina

Di era pasca-Maradona, sepak bola Argentina menganut filsafat sepak bola yang bersifat opositif, yaitu hanya A atau B, “kemenangan” atau “neraka”– seperti analogi agamis atau kafir. Jika Messi mempersembahkan Piala Dunia bagi Argentina, itu berarti dia berada di jalan yang benar. Jika tidak, maka ia dianggap “pengkhianat”.

Pencapaian-pencapaian Leo Messi bersama tim nasional berupa juara Piala Dunia U-20 (2005), runner-up Copa América (2007), medali emas Olimpiade (2008), runner-up Piala Dunia (2014) beserta penghargaan individu Golden Ball di turnamen tersebut, runner-up Copa América (2015) dan runner-up Copa América Centenario (2016) tiada artinya bagi publik Argentina yang menaruh standar setinggi apa yang pernah dicapai Tuhan-nya. 

Rasa cinta Leo Messi bagi Argentina dalam bentuk penolakan untuk bermain bersama timnas Spanyol, kepeduliannya kepada  Federasi Sepakbola Argentina (AFA) dengan membayar gaji beberapa staf dari sakunya sendiri karena AFA sedang dirundung krisis finansial, hingga hattrick-nya kala menghadapi Ekuador untuk meloloskan Argentina ke Rusia 2018 dan sekaligus menyelamatkan wajah negaranya, masih belum cukup di mata publik Argentina.

Baru ketika Messi berhasil mempersembahkan trofi Piala Dunia bagi Argentina—yang tampaknya semakin sulit mengingat Messi makin menua—publik bisa mengiyakan kalau Messi memang sejajar dengan Tuhan Sepak bola.

Akan tetapi, selama ia belum mampu melakukannya, ia akan dianggap ‘menyimpang’ dari jalan Tuhan. Ia akan dilabeli pengkhianat atau orang asing yang bergelimang harta dan gelar di tanah seberang, yaitu Barcelona, tanpa memberi persembahan apa pun pada negaranya sendiri.

Bukan Maradona yang sakit, tapi masyarakat Argentina-lah yang sakit. Begitu kira-kira ujar psikolog olahraga, Marcelo Roffé, mengenai situasi kalut ini. Ia menambahkan, “Bagaimana seseorang bisa tahan secara psikologis terhadap ‘racun’ kesuksesan (Maradona ’86)? Itu tidak mudah.” 

 

*Penulis adalah penggemar berat FC Barcelona. Bukan kidal tapi mampu menyepak bola dengan kaki kiri karena terinspirasi oleh Leo Messi. Bisa disapa di akun Twitter @pratamaesque